Skip to content

909

Selepas pulang sekolah, aku langsung melempar tas dan jaketku ke dalam kamar. Sejurus kemudian, aku sudah berada di atas atap rumah. Entah apa yang kulakukan. Matahari sudah berada di ufuk barat. Dalam pemandanganku, semua benda tampak memantulkan sinar jingga.

Sebenarnya aku tak suka melihat pemandangan seperti ini. Semua benda yang termandikan sinar jingga itu terlihat seperti akan musnah. Semakin lama, sinar itu semakin pekat sampai aku tak dapat melihat apapun yang tak jingga. Sinar jingga itu akhirnya membuatku tak bisa lagi membedakan benda-benda di sekitarku.

Senja itu semisal sekarat. Ia membatasi hari yang hidup dengan malam yang mati. Matahari seolah hendak mencabut nyawaku seraya terus terbenam. Aku bisa melihat bunga-bunga yang mekar di taman tetanggaku sebentar lagi akan layu. Rumah-rumah, gedung-gedung tinggi, dan menara-menara semuanya akan lapuk dan hancur dimakan usia suatu hari kelak. Ya, ternyata semua yang ada di dunia ini fana!

Aku mulai berpikir tentang impian, keberhasilan, dan cinta yang dipaksa menunggu. Semuanya kelak akan musnah seiring aku mendekati kematian. Aku pun tentu takkan tahu kapan kematian itu akan tiba.

Angin yang sepoi ditambah matahari yang sedang kembali ke peraduannya membuat kesadaranku semakin kabur. Seiring hilangnya kesadaranku, aku mulai menggumam soal hidup dan mati.

Sudah hampir maghrib, entah siapa nanti yang membangunkanku.

Published inFictional works

Be First to Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

In word we trust