Skip to content

Tamu

Pagi ini aku menerima seorang tamu. Namanya Alim Hardiman. Ia sedang menulis buku, yang kalau tidak salah judulnya ‘Cara Mendapatkan Perkerjaan Bergaji Di Atas 50 Juta + Naik Pangkat Tiap Bulan’. Sebenarnya aku sama sekali tidak suka dengan buku-buku semacam itu. Tapi tuntutan pekerjaanku sebagai editorlah yang mewajibkanku meladeni permintaannya untuk mengonsultasikan buku itu.

Tamu itu datang dengan berpakaian safari. Caranya menyalamiku dan gaya bicaranya menunjukkan bahwa ia adalah tipe orang yang tidak begitu kusukai. Orang yang merasa tahu segalanya tentang hidup, orang yang yakin bahwa ia bisa menyelesaikan masalah-masalah mendasar dengan logika anak SD. Setelah duduk, aku membawakannya kopi yang sudah kubuat beberapa menit yang lalu. “Maaf, boleh saya merokok?” ia sudah berani merokok bahkan sebelum mulai bicara tentang kepentingannya denganku. “Tentu,” jawabku yang sebenarnya hanya formalitas saja.

Aku mengambil sebuah asbak kayu dari lemari di gudang dan meletakkannya di atas meja. “Ah, terima kasih,” kata tamu yang betul-betul sopan itu (ini sarkasme). Yah, sebenarnya aku tidak pernah menganggap orang yang merokok itu sopan. Tapi seorang tuan rumah yang baik tak seharusnya merendahkan tamu.

“Meskipun kopi itu pahit, tapi harus diberi gula,” katanya sembari menyeruput kopi yang disajikan. Entah maksudnya menyindir atau memuji betulan, aku tak peduli. Sekarang tamu ini mulai tak tahu diri.”Begitu pula hidup. Meski hidup itu menyengsarakan ia tetap harus dipermanis, bahkan sekalipun pemanisnya buatan!” Ia tertawa lalu meletakkan cangkir kopi yang diminumnya.

Aku diam dan menunggu. Selagi orang ini masih mengoceh dengan obrolan (sok) filosofisnya, aku sesekali melihat ke jam tanganku. Benar saja, dalam lima menit ceramah tamuku semakin melantur sampai akhirnya ia tertidur. Tapi di sini aku bukan seorang penjahat yang berniat menganiaya tamunya yang terhormat. Oleh karena itu aku mengambil sedikit air dari kamar mandi lalu memercikkannya ke muka tamuku.

Ia terbangun dengan raut muka bingung. Aku memulai pembicaraan dengan nada sopan, mengabaikan apa yang baru saja terjadi, “Maaf, saya lupa nama Anda.”

Ia terlihat memendam malu. Tamu itu berdehem lalu menjawab, “Alim Hardiman,”

“Ah, iya. Pak Alim ya,” tukasku. “Begini, Pak. Tadi kan Anda ke sini mau meminta pendapat saya soal draf buku Anda ini, benar?”

“Betul. Jadi bagaimana pendapat Anda?” ia bertanya sambil membenahi posisi duduknya.

Aku meraih draf yang diberikan Pak Alim, membacanya sekilas hingga habis, lalu membuka sebuah halaman,”Menurut saya, banyak penjelasan yang harus bapak perbaiki. Terutama cara bapak menggunakan perumpamaan. Misalnya ini: ‘hanya sedikit orang yang bisa melihat luar angkasa dengan mata kepala mereka sendiri’. Menurut saya ini terlalu remeh, bahkan anak TK pun tahu kalau bepergian ke luar angkasa tidak semudah di film kartun.

“Bapak terlalu banyak menggunakan analogi dan perumpamaan yang sebenarnya bermakna dangkal. Mungkin sebagian besar pembaca akan oke-oke saja dengan penataran yang seperti itu. Tapi di mata pembaca yang lebih terdidik dan para kritikus, buku bapak ini bisa jadi bulan-bulanan atau malah bahan tertawaan,” aku memperhatikan mata tamuku itu. Ia tampak serius memperhatikan penjelasanku.

“Tapi kalau dilihat dari aspek lainnya, sebenarnya karya bapak ini sudah layak untuk diterbitkan. Tapi bapak harus bisa memperdalam lagi gagasan-gagasan yang bapak utarakan itu. Berikan lebih banyak argumentasi logis, bukan analogi. Nah, mungkin itu dari saya. Ada yang mau bapak tanyakan lagi?” Aku mengakhiri penjelasanku dan meletakkan draf yang kupegang, lalu meminum kopiku.

“Ah, sepertinya sudah tidak ada lagi,” ia sepertinya terlihat buru-buru. Entah malu karena tertidur di ruang tamu rumah orang atau apa, aku tak lagi peduli,
“Kalau begitu saya pamit dulu. Terima kasih atas saran-sarannya ya.” Pak Alim memasukkan draf tulisannya ke dalam tasnya, lalu berdiri. Kami kemudian berpamitan.

Aku merasa sedikit bersalah mencampurkan obat tidur ke dalam kopinya, meski dalam dosis sangat ringan (sehingga ia bisa bangun hanya dengan percikan air). Tapi mau bagaimana lagi, memang seperti itu caraku ‘menangani’ orang yang kurang kusukai perangainya. Yang penting aku tidak melukai perasaan mereka, kan?

Published inFictional works

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

In word we trust