Skip to content

Tag: cerpen

Yuki

Saya punya teman, Yuki namanya.

Sebenarnya saya tidak tahu bagaimana harus memanggil dia, jadi saya namai saja dia Yuki. Toh dia tak bakal protes. Setahun yang lalu, saya membawanya ke rumah. Di sini perlu saya tambahkan bahwa saya seorang penjahit. Sehari-hari, Yuki membantu saya menyelesaikan garapan-garapan saya. Kemampuannya sangat mengagumkan. Saya sangat terbantu dalam menjahit dan mengobras pakaian karena dia.

Yuki punya kebiasaan buruk. Saat sedang menjahit bersama saya, dia suka meraung-raung. Kadang-kadang raungannya keras sekali sampai telinga saya berdengung. Tapi saya tak mengacuhkan tabiatnya ini. Kalau dia saya biarkan berhenti, garapan saya tak akan selesai jadinya.

Ternyata yang punya masalah dengan raungan Yuki bukan cuma saya. Saat raungan Yuki sedang keras-kerasnya, tetangga kiri-kanan saya yang kesal malah ikut-ikutan menjerit marah. Puncaknya, suatu hari, kaca rumah saya dilempari batu kecil-kecil oleh salah satu tetangga. Saat itu saya sedang menjahit dan seperti biasa diiringi Yuki yang meraung-raung. Tak lama kemudian, Pak RT datang dan berbicara pada saya. Katanya, sebaiknya saya mencari pengganti Yuki yang tidak meraung-raung saat diajak menjahit. Dia juga memberi saya sedikit uang untuk membantu saya mencari gantinya.

Dengan berat hati, saya merasa melepaskan Yuki. Yuki saya relakan pada seorang tengkulak barang bekas. Sekarang, untuk sementara saya mesti berhenti menjahit dulu untuk mencari pengganti yang tepat.

Mungkin sampai di sini perlu saya tambahkan lagi bahwa Yuki adalah mesin jahit saya.

Leave a Comment

Telepon Misterius

Terinspirasi dari kisah nyata. Beneran.

“Anda bisa mulai menceritakan masalah anda.”

Jones duduk ongkang-angking di bangku kerjanya sambil menguap. Hari ini adalah hari yang aneh baginya. Biasanya, pagi-pagi sekali orang sudah berkerumun di depan pintu rumah/kantornya. Tapi hanya bapak-bapak berkostum jas dengan rambut klimis dan kumis tipis ini yang datang. Itu pun tidak pagi-pagi, tapi sudah menjelang waktu makan siang.

“Baiklah. Begini,” kata bapak-bapak berjas itu sembari membenarkan kerah bajunya. Ia menarik napas panjang, lalu berkata, “Akhir-akhir ini saya banyak menerima panggilan aneh.”

“Dari orang misterius?” tanya Jones, seolah tahu ke mana arah cerita kliennya itu.

“Tidak sepenuhnya, sih,” jawabnya mendesah. “Beberapa malah kenalan dan teman jauh saya. Hampir tiap malam ponsel saya berdering, tapi ketika diangkat tidak ada yang menyahut,” lanjutnya. Ia berdehem sebentar, kemudian melanjutkan,”Yang ada hanya suara ruangan yang sepi, dan kadang-kadang ada suara anak kecil cekikikan.”

Jones membetulkan posisi duduknya lalu menyeruput sedikit teh dari gelas Cinanya. Setelah memuji-muji teh yang diminumnya, ia lalu bertanya, “Apa Anda sudah bertanya ke pemilik nomor-nomor yang menelepon itu? Minimal menelepon balik atau mengirim pesan, lah.”

“Saya bukan orang yang suka begitu,” jawab bapak itu dengan agak gelisah. “Saya pikir mungkin hanya terpencet saja, jadi saya biarkan. Toh kalau mereka benar-benar ada perlu dengan saya, mereka akan menelepon lagi atau mengirim pesan bahwa mereka ada perlu dengan saya. Tapi setiap mereka menelepon lagi, yang saya dapatkan tetap sama: suara ruangan kosong dan cekikikan anak kecil,” jawabnya diikuti dengan helaan nafas yang cukup panjang. “Apalagi, mereka menelepon saya tidak hanya waktu saya senggang. Tapi juga ketika saya sedang mengajar, ketika ada rapat penting dengan Kepala Otoritas Pendidikan, dan yang paling parah ketika saya tidur!

“Semua itu tidak hanya terjadi sekali dalam sehari, tapi berkali-kali. Tolonglah, Pak Jones. Ini sangat mengganggu saya,” pinta orang itu. Sekali lagi ia memegang-megang kerah bajunya.

“Em, Pak…” Jones lupa siapa nama kliennya. Mungkin malah bapak-bapak itu belum memperkenalkan diri pada Jones. Yang jelas, dia tahu bahwa bapak ini adalah seorang pengajar.

“Aabye. Aabye Hildegard,” jawab bapak itu dengan agak kikuk. Mungkin dia baru sadar kalau dia belum memperkenalkan diri.

“Anda orang Denmark?” tebak Jones dengan nada yang dibuat-buat, seperti ketika Sherlock Holmes menggurui asistennya Watson.

“Bukan, saya orang Norwegia,” jawab Pak Aabye.

“Yah, sama-sama Skandinavia lah,” Jones berusaha menyelamatkan harga dirinya. Pak Aabye tampak tak acuh. Jones kembali menyeruput tehnya, kali ini hingga habis. Ia lalu bertanya, “Bisakah Anda memastikan kalau penelepon Anda itu semuanya menggunakan ponsel?”

“Oh, tentu. Di zaman sekarang, siapa yang masih memakai telepon rumah?” Pak Aabye menjawab dengan meyakinkan.

“Nah, sekarang saya bisa yakin dengan penjelasan saya,” kata Jones mantap. “Anda tahu sendiri, alfabet dimulai dengan huruf A diikuti B, C, D, E, dan seterusnya,” Jones mulai menerangkan. Pak Aabye mendengarkan dengan seksama. “Dan rasanya daftar kontak di semua ponsel akan dimulai dengan nama orang berhuruf depan A. Saya tidak yakin di dunia ini ada orang yang namanya berupa angka atau tanda pagar dan bintang,” Jones tertawa sendiri. Bapak-bapak itu hanya melihat keheranan dan terus memperhatikan, seolah-olah menegaskan bahwa lawakan Jones tadi sama sekali tidak lucu.

“Nama Bapak Aabye Kirstengaard, dan itu berarti orang akan menyimpan kontak Bapak dengan nama ‘Aabye’. Kemungkinan besar, nama Bapak ada di urutan pertama daftar kontak rekan-rekan Bapak atau siapapun lah yang mengenal Anda. Dan di rata-rata ponsel ada tombol yang menghubungkan halaman utama langsung ke daftar kontak, ” Jones melanjutkan. “Saya rasa Bapak harus mengingatkan rekan-rekan Bapak itu untuk mengunci ponselnya dan tidak meminjamkannya untuk mainan anak-anak. Apalagi, nama Bapak yang sialnya diawali dua huruf A itu memang tidak jamak ditemukan di sini. Maklumlah, masih lebih banyak orang Hispanik atau Afrika di sini ketimbang orang-orang dari daerah Anda,” terang Jones.

“Ah, begitu ya Pak Jones,” Pak Aabye tersenyum puas. Tanpa ba-bi-bu, Pak Aabye segera memberi Jones uang sepantasnya lalu menyalami Jones dan pergi.

Jones melirik jam dinding di bangkunya, sudah waktunya makan siang. Tapi sebelumnya ia ingin keluar ke pekarangan rumahnya sekadar untuk meregangkan badan. Saat hendak membuka pintu rumah, ia melihat plang bertuliskan kata ‘BUKA’ masih belum dibalik. Jones menepuk dahinya, menggeleng-geleng masygul, dan berjingkat ke ruang makan.

2 Comments

Tamu

Pagi ini aku menerima seorang tamu. Namanya Alim Hardiman. Ia sedang menulis buku, yang kalau tidak salah judulnya ‘Cara Mendapatkan Perkerjaan Bergaji Di Atas 50 Juta + Naik Pangkat Tiap Bulan’. Sebenarnya aku sama sekali tidak suka dengan buku-buku semacam itu. Tapi tuntutan pekerjaanku sebagai editorlah yang mewajibkanku meladeni permintaannya untuk mengonsultasikan buku itu.

Tamu itu datang dengan berpakaian safari. Caranya menyalamiku dan gaya bicaranya menunjukkan bahwa ia adalah tipe orang yang tidak begitu kusukai. Orang yang merasa tahu segalanya tentang hidup, orang yang yakin bahwa ia bisa menyelesaikan masalah-masalah mendasar dengan logika anak SD. Setelah duduk, aku membawakannya kopi yang sudah kubuat beberapa menit yang lalu. “Maaf, boleh saya merokok?” ia sudah berani merokok bahkan sebelum mulai bicara tentang kepentingannya denganku. “Tentu,” jawabku yang sebenarnya hanya formalitas saja.

Aku mengambil sebuah asbak kayu dari lemari di gudang dan meletakkannya di atas meja. “Ah, terima kasih,” kata tamu yang betul-betul sopan itu (ini sarkasme). Yah, sebenarnya aku tidak pernah menganggap orang yang merokok itu sopan. Tapi seorang tuan rumah yang baik tak seharusnya merendahkan tamu.

“Meskipun kopi itu pahit, tapi harus diberi gula,” katanya sembari menyeruput kopi yang disajikan. Entah maksudnya menyindir atau memuji betulan, aku tak peduli. Sekarang tamu ini mulai tak tahu diri.”Begitu pula hidup. Meski hidup itu menyengsarakan ia tetap harus dipermanis, bahkan sekalipun pemanisnya buatan!” Ia tertawa lalu meletakkan cangkir kopi yang diminumnya.

Aku diam dan menunggu. Selagi orang ini masih mengoceh dengan obrolan (sok) filosofisnya, aku sesekali melihat ke jam tanganku. Benar saja, dalam lima menit ceramah tamuku semakin melantur sampai akhirnya ia tertidur. Tapi di sini aku bukan seorang penjahat yang berniat menganiaya tamunya yang terhormat. Oleh karena itu aku mengambil sedikit air dari kamar mandi lalu memercikkannya ke muka tamuku.

Ia terbangun dengan raut muka bingung. Aku memulai pembicaraan dengan nada sopan, mengabaikan apa yang baru saja terjadi, “Maaf, saya lupa nama Anda.”

Ia terlihat memendam malu. Tamu itu berdehem lalu menjawab, “Alim Hardiman,”

“Ah, iya. Pak Alim ya,” tukasku. “Begini, Pak. Tadi kan Anda ke sini mau meminta pendapat saya soal draf buku Anda ini, benar?”

“Betul. Jadi bagaimana pendapat Anda?” ia bertanya sambil membenahi posisi duduknya.

Aku meraih draf yang diberikan Pak Alim, membacanya sekilas hingga habis, lalu membuka sebuah halaman,”Menurut saya, banyak penjelasan yang harus bapak perbaiki. Terutama cara bapak menggunakan perumpamaan. Misalnya ini: ‘hanya sedikit orang yang bisa melihat luar angkasa dengan mata kepala mereka sendiri’. Menurut saya ini terlalu remeh, bahkan anak TK pun tahu kalau bepergian ke luar angkasa tidak semudah di film kartun.

“Bapak terlalu banyak menggunakan analogi dan perumpamaan yang sebenarnya bermakna dangkal. Mungkin sebagian besar pembaca akan oke-oke saja dengan penataran yang seperti itu. Tapi di mata pembaca yang lebih terdidik dan para kritikus, buku bapak ini bisa jadi bulan-bulanan atau malah bahan tertawaan,” aku memperhatikan mata tamuku itu. Ia tampak serius memperhatikan penjelasanku.

“Tapi kalau dilihat dari aspek lainnya, sebenarnya karya bapak ini sudah layak untuk diterbitkan. Tapi bapak harus bisa memperdalam lagi gagasan-gagasan yang bapak utarakan itu. Berikan lebih banyak argumentasi logis, bukan analogi. Nah, mungkin itu dari saya. Ada yang mau bapak tanyakan lagi?” Aku mengakhiri penjelasanku dan meletakkan draf yang kupegang, lalu meminum kopiku.

“Ah, sepertinya sudah tidak ada lagi,” ia sepertinya terlihat buru-buru. Entah malu karena tertidur di ruang tamu rumah orang atau apa, aku tak lagi peduli,
“Kalau begitu saya pamit dulu. Terima kasih atas saran-sarannya ya.” Pak Alim memasukkan draf tulisannya ke dalam tasnya, lalu berdiri. Kami kemudian berpamitan.

Aku merasa sedikit bersalah mencampurkan obat tidur ke dalam kopinya, meski dalam dosis sangat ringan (sehingga ia bisa bangun hanya dengan percikan air). Tapi mau bagaimana lagi, memang seperti itu caraku ‘menangani’ orang yang kurang kusukai perangainya. Yang penting aku tidak melukai perasaan mereka, kan?

2 Comments

909

Selepas pulang sekolah, aku langsung melempar tas dan jaketku ke dalam kamar. Sejurus kemudian, aku sudah berada di atas atap rumah. Entah apa yang kulakukan. Matahari sudah berada di ufuk barat. Dalam pemandanganku, semua benda tampak memantulkan sinar jingga.

Sebenarnya aku tak suka melihat pemandangan seperti ini. Semua benda yang termandikan sinar jingga itu terlihat seperti akan musnah. Semakin lama, sinar itu semakin pekat sampai aku tak dapat melihat apapun yang tak jingga. Sinar jingga itu akhirnya membuatku tak bisa lagi membedakan benda-benda di sekitarku.

Senja itu semisal sekarat. Ia membatasi hari yang hidup dengan malam yang mati. Matahari seolah hendak mencabut nyawaku seraya terus terbenam. Aku bisa melihat bunga-bunga yang mekar di taman tetanggaku sebentar lagi akan layu. Rumah-rumah, gedung-gedung tinggi, dan menara-menara semuanya akan lapuk dan hancur dimakan usia suatu hari kelak. Ya, ternyata semua yang ada di dunia ini fana!

Aku mulai berpikir tentang impian, keberhasilan, dan cinta yang dipaksa menunggu. Semuanya kelak akan musnah seiring aku mendekati kematian. Aku pun tentu takkan tahu kapan kematian itu akan tiba.

Angin yang sepoi ditambah matahari yang sedang kembali ke peraduannya membuat kesadaranku semakin kabur. Seiring hilangnya kesadaranku, aku mulai menggumam soal hidup dan mati.

Sudah hampir maghrib, entah siapa nanti yang membangunkanku.

Leave a Comment

Flash (?) Fiction #1

Mukanya kusam, seolah-olah habis dipecat atasannya. Orang dipecat di zaman seret seperti ini memang bukan sesuatu yang langka lagi, dengan demikian orang-orang yang mukanya kusam pun semakin mudah ditemukan. Kesimpulannya, orang ini orang biasa.
Tapi dari mana aku tahu kalau orang ini punya atasan? Bahkan, dari mana aku mengira kalau orang ini punya pekerjaan? Kalau diamati, orang yang duduk di bangku seberang itu mengenakan sejenis jas berwarna merah yang sepertinya sering dipakai mahasiswa. Kalau tidak salah namanya jas almamater. Aku bukan mahasiswa sih, tapi aku sering melihat mahasiswa berjaket almamater lalu-lalang di sekolahku.

Ah, aku tahu. Sepertinya orang ini bukan habis dipecat. Dia mungkin seorang sarjana yang sedang mencari pekerjaan, tapi nasib tak kunjung berpihak padanya. Kita doakan saja agar orang ini segera mendapat penghidupan yang layak.

Menunggu itu sungguh pekerjaan yang membosankan, apalagi jam biologisku ditambah dengan udara dingin air conditioner yang semakin menusuk membuat rasa kantuk semakin menguasai tubuhku. Agar aku tidak tertidur, aku sudah membaca semua koran yang tersedia di ruang tunggu bandara ini. Dan yang lebih buruk lagi, aku tidak bisa memainkan handphone-ku karena daya baterainya yang sudah melemah dan harus disimpan kalau-kalau aku butuh menelepon atau mengirim pesan.

Karena itulah aku selama beberapa menit ini mengamati orang ini. Aku tak peduli apa pendapatmu, yang jelas menebak-nebak orang seperti yang kulakukan ini terasa agak… menyenangkan.  Laki-laki itu beranjak, kukira ia akan pergi. Ternyata ia hanya pindah ke deretan kursi di belakangnya, tak tahu kenapa.

Perkiraan terakhirku menyebutkan bahwa orang ini adalah sarjana pengangguran. Tapi sebelum aku mempercainya, sebuah pertanyaan usil kembali terlintas di pikiranku: dari mana aku tahu kalau orang ini sudah lulus dari kuliahnya? Siapa tahu, kan, dia masih mahasiswa? Bisa saja mukanya yang suram itu disebabkan karena studinya yang belum juga usai karena harus terus-terusan mengulang kuliah atau karena skripsinya tak kunjung diluluskan.

Dan sebelum pikiranku yang liar menanyakan program studi apa yang membuatnya sampai tak lulus, aku kembali dihantam sebuah pertanyaan lain: apa yang dilakukan mahasiswa (?) seperti ini dengan ekspresi seperti ini di tempat seperti ini? Saat aku mencoba mengalihkan fokusku sejenak, sepertinya bandara ini bertambah sepi, dan di antara orang-orang yang masih menunggu hanya aku dan dia yang duduk sendirian.
Kemudian, kerumumunan orang mulai terlihat di balik gerbang kedatangan. Aku segera mencari orang-orang yang sedang kutunggu, dan mereka ada di sana. Aku segera melambaikan tangan pada mereka, dan mereka membalas lambaianku. Segera setelah mereka keluar dari gerbang, aku menghampiri mereka.

“Ayah, ibu!” Aku memeluk mereka satu per satu, lalu membawa tas jinjing yang mereka bawa. Kami segera menuju ke tempat pengambilan bagasi. Tapi sebelum kami meninggalkan ruang tunggu, aku melihat ke arah tempat mahasiswa (?) itu duduk. Aku mencoba melihat sekitar, tapi orang itu sepertinya sudah pergi. Dan aku kembali memunculkan pertanyaan: siapa yang ia tunggu?
Sambil menunggu pengambilan bagasi, aku dan kedua orang tuaku saling berbagi cerita.

“Eh, tahu nggak, tadi di pesawat yang kita naiki ada peti mayatnya lho. Sampai takut jadinya,” kata ibuku, yang sebenarnya menurutku kurang penting untuk diceritakan.

“Oh ya? Tahu dari mana, bu?” tanyaku, seolah-olah penasaran.

“Ya, pas sebelum berangkat kan biasanya bagasi pesawatnya diisi dulu. Eh ternyata ada mobil jenazah yang ngeluarin peti dan dinaikkan ke pesawat kita,” tutur ibu.

Tentu saja, peti jenazah itu tidak akan diambil oleh yang berkepentingan di tempat ini. Dan aku sadar bahwa mahasiswa itu tidak kulihat berada di sini. Mungkin diakah yang akan mengambil peti jenazah itu? Aku tak tahu, aku tidak yakin kalau tebakanku ini sudah benar.

3 Comments
In word we trust