Skip to content

Month: May 2013

Syukur

Sebuah pesan dari seorang kawan masuk ke ponselku. Aku lekas-lekas membukanya dan terheran-heran. Isinya ucapan selamat. Benarkah ini? Aku bingung antara harus bersyukur atau masygul. Terlebih lagi, sialnya, aku sedang berada di kelas bimbel mengerjakan tryout. Konsentrasi yang sudah lama kubangun buyar. Hari itu aku lebih memilih untuk mengikuti tryout dahulu ketimbang langsung membuka pengumuman SNMPTN. Boro-boro punya ranking bagus, ulangan saja aku tidak pernah lolos. Nilai UN pun kepala empat. Mana mungkin diterima?

Sekitar satu setengah jam kemudian aku sudah berada di rumah. Setelah panik beberapa saat karena kehilangan kartu peserta, akhirnya pengumuman kelulusan itu berhasil kubuka. Ternyata benar. SMS-SMS yang menanyakan kabar kelulusan dan juga yang memberi selamat tadi kubalas. Alhamdulillah.

Alhamdulillah?

Terdengung-dengung lagi apa yang diingatkan temanku. Rasa syukur seseorang bisa menjadi penyakit hati bagi yang lain. Dan ya, memang sedari awal aku akan memilih untuk bersikap semadyanya. Ini bukan sesuatu yang perlu selebrasi. Ada yang bilang ini semacam undian, malah. Yang jelas, ada baiknya kalau kita yakin bahwa semua ini ada hitung-hitungannya: hitung-hitungan orang-orang di depan komputer dan terlebih lagi hitung-hitungan dari Yang Maha Menghitung. Dan sekali lagi, kejadian ini tidak istimewa.

Tapi, salahkah sekadar memuji-Nya jika Ia memang menyuruh yang demikian?

Walau kataku tak terdengar, tapi semoga lisan ini tetap dijaga.

Leave a Comment

Yuki

Saya punya teman, Yuki namanya.

Sebenarnya saya tidak tahu bagaimana harus memanggil dia, jadi saya namai saja dia Yuki. Toh dia tak bakal protes. Setahun yang lalu, saya membawanya ke rumah. Di sini perlu saya tambahkan bahwa saya seorang penjahit. Sehari-hari, Yuki membantu saya menyelesaikan garapan-garapan saya. Kemampuannya sangat mengagumkan. Saya sangat terbantu dalam menjahit dan mengobras pakaian karena dia.

Yuki punya kebiasaan buruk. Saat sedang menjahit bersama saya, dia suka meraung-raung. Kadang-kadang raungannya keras sekali sampai telinga saya berdengung. Tapi saya tak mengacuhkan tabiatnya ini. Kalau dia saya biarkan berhenti, garapan saya tak akan selesai jadinya.

Ternyata yang punya masalah dengan raungan Yuki bukan cuma saya. Saat raungan Yuki sedang keras-kerasnya, tetangga kiri-kanan saya yang kesal malah ikut-ikutan menjerit marah. Puncaknya, suatu hari, kaca rumah saya dilempari batu kecil-kecil oleh salah satu tetangga. Saat itu saya sedang menjahit dan seperti biasa diiringi Yuki yang meraung-raung. Tak lama kemudian, Pak RT datang dan berbicara pada saya. Katanya, sebaiknya saya mencari pengganti Yuki yang tidak meraung-raung saat diajak menjahit. Dia juga memberi saya sedikit uang untuk membantu saya mencari gantinya.

Dengan berat hati, saya merasa melepaskan Yuki. Yuki saya relakan pada seorang tengkulak barang bekas. Sekarang, untuk sementara saya mesti berhenti menjahit dulu untuk mencari pengganti yang tepat.

Mungkin sampai di sini perlu saya tambahkan lagi bahwa Yuki adalah mesin jahit saya.

Leave a Comment

1172

Hujan sudah berhenti. Matahari telah kembali terbit. Kubuka tirai, lalu jendela kamarku. Titik-titik air masih menetes dari atap. Daun-daun pohon berkilau kebasahan. Di atas jalan beraspal, terlihat satu-dua orang berjalan menghindari kubangan. Aku mengusap mataku, lalu meregangkan punggung sambil mengerang semampuku.

Tiba-tiba terdengar dering ponsel. Di mana kutaruh benda itu? Kuamati sekeliling kamarku. Ternyata ia ada di atas tempat tidur. Aku sempat berpikir untuk mengabaikan panggilan itu. Kulihat siapa yang menelepon. Ah, orang ini. “Hai,” sapa suara di ujung telepon dengan ramah.

“Siapa kau?” aku bertanya, pura-pura tak tahu. Kupikir setelah kejadian tadi malam, dia takkan sudi merecoki hidupku lagi. Aku memang seorang pendosa. Tapi apakah kata-katanya yang mempermalukanku itu masih belum cukup? Dengan cara apa lagi dia akan mempertontonkan kebatilan-kebatilan yang telah kulakukan?

“Kau ini lucu ya. Sudah cukup terganggu, kan, dengan pernyataanku di televisi kemarin? Aku sungguh bangga, akhirnya kebenaran terungkap juga,” dia berkata dengan santai, separuh berkelakar malah. Sementara itu, sakit hatiku makin hebat. “Terlaknat kau! Harus kusebut apa dirimu, setan yang bekerjasama dengan malaikat?”

Dia juga pendosa sepertiku. Kukira kami akan tetap setia untuk saling menutupi kejahatan yang telah aku dan dia lakukan. Dan sekarang, dia mengkhianatiku semata-mata agar dirinya selamat. Dia terdiam agak lama. “Ah, itu tak penting,” kilahnya dengan nada yang jernih, “lihatlah keluar!”

Aku berjalan menuju jendela. Kuintip keadaan di luar. Tanpa kusadari, dua mobil Avanza hitam sudah terparkir di depan rumah persembunyianku. Ada beberapa orang di depan pekarangan rumahku. Beberapa mengenakan rompi coklat dengan simbol di dada yang sudah sangat kukenal. Beberapa yang lainnya mengenakan topi putih dan seragam abu-abu.

KPK, polisi.

Aku terdiam. Ponsel yang kupegang jatuh. Tidak lama kemudian, kudengar suara ketukan di pintu.

Leave a Comment

1165

/1/
tentang sandiwara yang hampir berakhir harus kukatakan bahwa pada peran yang kumainkan
aku
membencinya

/2/
pygmalion
walau perupa telah mati
karyanya tetap kucintai

/3/
orkes brass orkes melayu
biar keras tapi mendayu

/4/
di dalam kepalanya
bayang berkelebat
maujud dalam kata

Leave a Comment
In word we trust