Skip to content

Month: March 2013

Telepon Misterius

Terinspirasi dari kisah nyata. Beneran.

“Anda bisa mulai menceritakan masalah anda.”

Jones duduk ongkang-angking di bangku kerjanya sambil menguap. Hari ini adalah hari yang aneh baginya. Biasanya, pagi-pagi sekali orang sudah berkerumun di depan pintu rumah/kantornya. Tapi hanya bapak-bapak berkostum jas dengan rambut klimis dan kumis tipis ini yang datang. Itu pun tidak pagi-pagi, tapi sudah menjelang waktu makan siang.

“Baiklah. Begini,” kata bapak-bapak berjas itu sembari membenarkan kerah bajunya. Ia menarik napas panjang, lalu berkata, “Akhir-akhir ini saya banyak menerima panggilan aneh.”

“Dari orang misterius?” tanya Jones, seolah tahu ke mana arah cerita kliennya itu.

“Tidak sepenuhnya, sih,” jawabnya mendesah. “Beberapa malah kenalan dan teman jauh saya. Hampir tiap malam ponsel saya berdering, tapi ketika diangkat tidak ada yang menyahut,” lanjutnya. Ia berdehem sebentar, kemudian melanjutkan,”Yang ada hanya suara ruangan yang sepi, dan kadang-kadang ada suara anak kecil cekikikan.”

Jones membetulkan posisi duduknya lalu menyeruput sedikit teh dari gelas Cinanya. Setelah memuji-muji teh yang diminumnya, ia lalu bertanya, “Apa Anda sudah bertanya ke pemilik nomor-nomor yang menelepon itu? Minimal menelepon balik atau mengirim pesan, lah.”

“Saya bukan orang yang suka begitu,” jawab bapak itu dengan agak gelisah. “Saya pikir mungkin hanya terpencet saja, jadi saya biarkan. Toh kalau mereka benar-benar ada perlu dengan saya, mereka akan menelepon lagi atau mengirim pesan bahwa mereka ada perlu dengan saya. Tapi setiap mereka menelepon lagi, yang saya dapatkan tetap sama: suara ruangan kosong dan cekikikan anak kecil,” jawabnya diikuti dengan helaan nafas yang cukup panjang. “Apalagi, mereka menelepon saya tidak hanya waktu saya senggang. Tapi juga ketika saya sedang mengajar, ketika ada rapat penting dengan Kepala Otoritas Pendidikan, dan yang paling parah ketika saya tidur!

“Semua itu tidak hanya terjadi sekali dalam sehari, tapi berkali-kali. Tolonglah, Pak Jones. Ini sangat mengganggu saya,” pinta orang itu. Sekali lagi ia memegang-megang kerah bajunya.

“Em, Pak…” Jones lupa siapa nama kliennya. Mungkin malah bapak-bapak itu belum memperkenalkan diri pada Jones. Yang jelas, dia tahu bahwa bapak ini adalah seorang pengajar.

“Aabye. Aabye Hildegard,” jawab bapak itu dengan agak kikuk. Mungkin dia baru sadar kalau dia belum memperkenalkan diri.

“Anda orang Denmark?” tebak Jones dengan nada yang dibuat-buat, seperti ketika Sherlock Holmes menggurui asistennya Watson.

“Bukan, saya orang Norwegia,” jawab Pak Aabye.

“Yah, sama-sama Skandinavia lah,” Jones berusaha menyelamatkan harga dirinya. Pak Aabye tampak tak acuh. Jones kembali menyeruput tehnya, kali ini hingga habis. Ia lalu bertanya, “Bisakah Anda memastikan kalau penelepon Anda itu semuanya menggunakan ponsel?”

“Oh, tentu. Di zaman sekarang, siapa yang masih memakai telepon rumah?” Pak Aabye menjawab dengan meyakinkan.

“Nah, sekarang saya bisa yakin dengan penjelasan saya,” kata Jones mantap. “Anda tahu sendiri, alfabet dimulai dengan huruf A diikuti B, C, D, E, dan seterusnya,” Jones mulai menerangkan. Pak Aabye mendengarkan dengan seksama. “Dan rasanya daftar kontak di semua ponsel akan dimulai dengan nama orang berhuruf depan A. Saya tidak yakin di dunia ini ada orang yang namanya berupa angka atau tanda pagar dan bintang,” Jones tertawa sendiri. Bapak-bapak itu hanya melihat keheranan dan terus memperhatikan, seolah-olah menegaskan bahwa lawakan Jones tadi sama sekali tidak lucu.

“Nama Bapak Aabye Kirstengaard, dan itu berarti orang akan menyimpan kontak Bapak dengan nama ‘Aabye’. Kemungkinan besar, nama Bapak ada di urutan pertama daftar kontak rekan-rekan Bapak atau siapapun lah yang mengenal Anda. Dan di rata-rata ponsel ada tombol yang menghubungkan halaman utama langsung ke daftar kontak, ” Jones melanjutkan. “Saya rasa Bapak harus mengingatkan rekan-rekan Bapak itu untuk mengunci ponselnya dan tidak meminjamkannya untuk mainan anak-anak. Apalagi, nama Bapak yang sialnya diawali dua huruf A itu memang tidak jamak ditemukan di sini. Maklumlah, masih lebih banyak orang Hispanik atau Afrika di sini ketimbang orang-orang dari daerah Anda,” terang Jones.

“Ah, begitu ya Pak Jones,” Pak Aabye tersenyum puas. Tanpa ba-bi-bu, Pak Aabye segera memberi Jones uang sepantasnya lalu menyalami Jones dan pergi.

Jones melirik jam dinding di bangkunya, sudah waktunya makan siang. Tapi sebelumnya ia ingin keluar ke pekarangan rumahnya sekadar untuk meregangkan badan. Saat hendak membuka pintu rumah, ia melihat plang bertuliskan kata ‘BUKA’ masih belum dibalik. Jones menepuk dahinya, menggeleng-geleng masygul, dan berjingkat ke ruang makan.

2 Comments

Pelajaran-Pelajaran (di Sekolah)

/1 – fisika/
hanya bualan
karena semua kita
tak berpatokan
bahkan sebuah batang garisan
punya ketakpastian

/2 – kimia/
lagi-lagi bualan
bak elektron yang disuruh
berputar terhadap nukleus
lalu kau sebut itu
pendidikan karakter?

/3 – biologi/
bualan segala bualan
omongan kitab dianggap ilmiah
Darwin, Urey, Miller
cuma manusia
maka mereka bisa salah
lantas maukah kita
kalau firman-Nya disalahkan?

/4 – matematika/
mungkin ini tak membual-bual
hanya merapal-rapal hapalan
mengeja mantera
tanpa tahu artinya
hingga keluar angka!

3 Comments

Berpikir Ngawur

Premis mayor     : Semua yang berkaki empat adalah hewan.
Premis minor     : Kucing berkaki empat.
Kesimpulan     : Kucing adalah hewan.

Masih ingat ini? Ya, ini adalah silogisme yang kita pelajari di sekolah. Banyak dari kita mungkin menganggap materi bahasa Indonesia ini remeh dan nggak penting. Toh semua orang juga tahu kalau kucing itu hewan, atau kalau kita belajar pasti lulus ujian (kecuali kalau salah ngurek-ngurek lembar jawaban, jadi hati-hati ya). Pertanyaannya: benarkah silogisme ini nggak penting?

Sebelum membahas yang lain, apa sih silogsime itu? Kata Si Wiki, silogisme berarti proses mengambil kesimpulan dari dua buah pernyataan (biasa disebut premis). Biar lebih jelas, mari kita misalkan pernyataan-pernyataan dalam contoh menjadi huruf:

Premis mayor     : Semua yang berkaki empat adalah hewan. (AB)
Premis minor     : Kucing berkaki empat. (CA)
Kesimpulan         :  Kucing adalah hewan. (CB)

Bisa kita lihat, pernyataan AB dan CA menghasilkan pernyataan baru yaitu CB. Premis mayor dan premis minor menghasilkan sebuah kesimpulan.

Tapi silogisme ini tidak selalu benar. Setidaknya ada dua syarat agar silogisme bisa benar: 1) kedua premisnya benar, dan 2) cara mengambil kesimpulannya benar. Nah, kalau melihat contoh yang kita bahas, apa kalian menyadari sesuatu? Lihat kalimat “Semua yang berkaki empat adalah hewan.” Apakah semua yang berkaki empat itu hewan? Meja dan kursi punya empat kaki, dan mereka bukan hewan. :mrgreen:

Kita bisa tahu dengan cepat kalau yang salah adalah premisnya. Bagaimana kalau cara menyimpulkannya yang salah? Dalam masalah-masalah sepele seperti contoh kita, memang sangat mudah untuk membuat kesimpulan. Masalah yang kita temui sehari-hari tentu lebih rumit. Variabel A, B, C saja nggak cukup. Cara kita untuk mencapai kesimpulan juga berbeda-beda. Inilah yang rawan bikin masalah.

Aris     : Presiden Partai Keracunan Sapi ditangkap ya?
Asna    : Beliau kan orangnya alim, pinter bahasa Arab lagi. Nggak mungkin ah beliau bersalah. 🙁
Aris     : Presiden Bashar Al-Assad juga pinter bahasa Arab, tapi dia membunuh rakyatnya sendiri tuh…. 😕

Kata-kata Hasna di atas bisa dianggap sesat logika karena cara mengambil kesimpulannya tidak benar. Apakah kita bisa tahu kebaikan dan kesalehan orang dari kemampuan bahasa Arabnya? Memang kelihatannya simpel, tapi banyak orang yang sering tergelincir dalam sesat logika semacam ini. Mari kita lihat contoh lain:

Asna     : Si Firman dari tadi ke kamar mandi terus.
Aris     : Duh, penting banget sih. Emangnya kenapa?
Asna : Pasti gara-gara tadi dia tadi makan Pizza Hud. Emang dari dulu aku curiga kalo makanan itu nggak aman! 👿
Aris     : Bukannya Firman itu habis minum obat pencuci perut ya?

See? Mudah sekali bagi kita untuk membuat kesimpulan yang salah.

Dalam bahasa Inggris, kesesatan logika disebut logical fallacy. Aku lebih suka menyebutnya kengawuran. Orang yang melakukan fallacy itu seringkali bukan cuma salah tapi malah ngawur. Lihat saja komentator-komentator blog atau forum. Ada juga orang-orang yang sengaja membuat argumen yang ngawur untuk membenarkan pendapatnya. Lagipula, sesat itu kayak aliran agama saja. 😆

Ada banyak jenis kesesatan kengawuran logika. In syaa Allah aku akan membahas beberapa jenis kesesatan logika di tulisan-tulisan selanjutnya.

Kalau ada yang mau membaca beberapa jenis kesesatan kengawuran logika, ada beberapa tautan yang bermanfaat:

Sesat Pikir Logika dalam Politik. Menjelaskan berbagai ngawur-logika sehari-hari terutama yang nyerempet politik.
Argumentum ad Pusingam. Agak teknis tapi membantu memahami ngawur-logika dari segi ilmu logika sendiri.
Wikipedia Indonesia: Kesesatan. Meski penulisannya nggak teratur, contoh-contoh ngawur-logika yang diberikan di sini mudah dipahami.
Wikipedia Inggris: List of Fallacies. Daftar dan penjelasan singkat yang sangat komplet tentang ngawur-logika.

5 Comments

“Nggak maksud ngejek sih, tapi…”

X
Eh, lagi ngapain? 😀

Y
Lagi bikin gambar anatomi nih. 🙂

stickman
X
(terdiam)
Nggak maksud ngejek sih, tapi kok kayaknya kurang proporsional ya…. 🙁

Y
Eh, uasem, der Hund! Kalo mau ngejek ngejek aja, gausah pake tapi-tapian! 👿

X
Lho, aku kan nggak– 😕

Y
Alah, mau alasan apa, ha? Kata-katamu aja udah nunjukin kalo kamu emang niatnya ngejek. 😡

Apa iya Si X yang nggak sensitif atau Si Y aja yang alayPedantically speaking, Si Y ada benarnya juga. Lah, kok bisa?

Perhatikan kalimat ini:

Nggak maksud ngejek sih, tapi kok kayaknya kurang proporsional ya….

Seperti yang kita lihat, kalimat ini mengandung dua bagian (istilah resminya klausa). Keduanya dihubungkan kata tapi. Kata tapi pada dasarnya menunjukkan pertentangan antara bagian pertama dan kedua. Kalau kita baca bagian pertamanya saja:

Nggak maksud ngejek sih, tapi…

berarti kata-kata yang keluar setelah itu adalah ejekan. Iya kan? :mrgreen:

Waktu SMP dulu aku pernah membaca buku ‘psikologi’ terapan (lupa judulnya) yang membahas masalah semacam ini. Di sana dikatakan, kalau ada orang yang bicara begitu padamu, berarti dia sedang mengejekmu secara tidak langsung. Aku sendiri tidak setuju. Kebanyakan orang bilang seperti itu karena tidak tahu makna sebenarnya dari kata-kata mereka. Inilah bahasa lisan yang seringkali suka mbeleset dari kaidah bahasa yang baku. Apalagi bahasa kita, bahasa Indonesia, yang kebanyakan penuturnya buta soal grammar.

Tapi lain lagi kasusnya kalau kata-kata ini diniatkan untuk mengejek, dengan sedikit bermain kata…. 🙄

Menurut sampean?

1 Comment
In word we trust