Terinspirasi dari kisah nyata. Beneran.
“Anda bisa mulai menceritakan masalah anda.”
Jones duduk ongkang-angking di bangku kerjanya sambil menguap. Hari ini adalah hari yang aneh baginya. Biasanya, pagi-pagi sekali orang sudah berkerumun di depan pintu rumah/kantornya. Tapi hanya bapak-bapak berkostum jas dengan rambut klimis dan kumis tipis ini yang datang. Itu pun tidak pagi-pagi, tapi sudah menjelang waktu makan siang.
“Baiklah. Begini,” kata bapak-bapak berjas itu sembari membenarkan kerah bajunya. Ia menarik napas panjang, lalu berkata, “Akhir-akhir ini saya banyak menerima panggilan aneh.”
“Dari orang misterius?” tanya Jones, seolah tahu ke mana arah cerita kliennya itu.
“Tidak sepenuhnya, sih,” jawabnya mendesah. “Beberapa malah kenalan dan teman jauh saya. Hampir tiap malam ponsel saya berdering, tapi ketika diangkat tidak ada yang menyahut,” lanjutnya. Ia berdehem sebentar, kemudian melanjutkan,”Yang ada hanya suara ruangan yang sepi, dan kadang-kadang ada suara anak kecil cekikikan.”
Jones membetulkan posisi duduknya lalu menyeruput sedikit teh dari gelas Cinanya. Setelah memuji-muji teh yang diminumnya, ia lalu bertanya, “Apa Anda sudah bertanya ke pemilik nomor-nomor yang menelepon itu? Minimal menelepon balik atau mengirim pesan, lah.”
“Saya bukan orang yang suka begitu,” jawab bapak itu dengan agak gelisah. “Saya pikir mungkin hanya terpencet saja, jadi saya biarkan. Toh kalau mereka benar-benar ada perlu dengan saya, mereka akan menelepon lagi atau mengirim pesan bahwa mereka ada perlu dengan saya. Tapi setiap mereka menelepon lagi, yang saya dapatkan tetap sama: suara ruangan kosong dan cekikikan anak kecil,” jawabnya diikuti dengan helaan nafas yang cukup panjang. “Apalagi, mereka menelepon saya tidak hanya waktu saya senggang. Tapi juga ketika saya sedang mengajar, ketika ada rapat penting dengan Kepala Otoritas Pendidikan, dan yang paling parah ketika saya tidur!
“Semua itu tidak hanya terjadi sekali dalam sehari, tapi berkali-kali. Tolonglah, Pak Jones. Ini sangat mengganggu saya,” pinta orang itu. Sekali lagi ia memegang-megang kerah bajunya.
“Em, Pak…” Jones lupa siapa nama kliennya. Mungkin malah bapak-bapak itu belum memperkenalkan diri pada Jones. Yang jelas, dia tahu bahwa bapak ini adalah seorang pengajar.
“Aabye. Aabye Hildegard,” jawab bapak itu dengan agak kikuk. Mungkin dia baru sadar kalau dia belum memperkenalkan diri.
“Anda orang Denmark?” tebak Jones dengan nada yang dibuat-buat, seperti ketika Sherlock Holmes menggurui asistennya Watson.
“Bukan, saya orang Norwegia,” jawab Pak Aabye.
“Yah, sama-sama Skandinavia lah,” Jones berusaha menyelamatkan harga dirinya. Pak Aabye tampak tak acuh. Jones kembali menyeruput tehnya, kali ini hingga habis. Ia lalu bertanya, “Bisakah Anda memastikan kalau penelepon Anda itu semuanya menggunakan ponsel?”
“Oh, tentu. Di zaman sekarang, siapa yang masih memakai telepon rumah?” Pak Aabye menjawab dengan meyakinkan.
“Nah, sekarang saya bisa yakin dengan penjelasan saya,” kata Jones mantap. “Anda tahu sendiri, alfabet dimulai dengan huruf A diikuti B, C, D, E, dan seterusnya,” Jones mulai menerangkan. Pak Aabye mendengarkan dengan seksama. “Dan rasanya daftar kontak di semua ponsel akan dimulai dengan nama orang berhuruf depan A. Saya tidak yakin di dunia ini ada orang yang namanya berupa angka atau tanda pagar dan bintang,” Jones tertawa sendiri. Bapak-bapak itu hanya melihat keheranan dan terus memperhatikan, seolah-olah menegaskan bahwa lawakan Jones tadi sama sekali tidak lucu.
“Nama Bapak Aabye Kirstengaard, dan itu berarti orang akan menyimpan kontak Bapak dengan nama ‘Aabye’. Kemungkinan besar, nama Bapak ada di urutan pertama daftar kontak rekan-rekan Bapak atau siapapun lah yang mengenal Anda. Dan di rata-rata ponsel ada tombol yang menghubungkan halaman utama langsung ke daftar kontak, ” Jones melanjutkan. “Saya rasa Bapak harus mengingatkan rekan-rekan Bapak itu untuk mengunci ponselnya dan tidak meminjamkannya untuk mainan anak-anak. Apalagi, nama Bapak yang sialnya diawali dua huruf A itu memang tidak jamak ditemukan di sini. Maklumlah, masih lebih banyak orang Hispanik atau Afrika di sini ketimbang orang-orang dari daerah Anda,” terang Jones.
“Ah, begitu ya Pak Jones,” Pak Aabye tersenyum puas. Tanpa ba-bi-bu, Pak Aabye segera memberi Jones uang sepantasnya lalu menyalami Jones dan pergi.
Jones melirik jam dinding di bangkunya, sudah waktunya makan siang. Tapi sebelumnya ia ingin keluar ke pekarangan rumahnya sekadar untuk meregangkan badan. Saat hendak membuka pintu rumah, ia melihat plang bertuliskan kata ‘BUKA’ masih belum dibalik. Jones menepuk dahinya, menggeleng-geleng masygul, dan berjingkat ke ruang makan.