Mukanya kusam, seolah-olah habis dipecat atasannya. Orang dipecat di zaman seret seperti ini memang bukan sesuatu yang langka lagi, dengan demikian orang-orang yang mukanya kusam pun semakin mudah ditemukan. Kesimpulannya, orang ini orang biasa.
Tapi dari mana aku tahu kalau orang ini punya atasan? Bahkan, dari mana aku mengira kalau orang ini punya pekerjaan? Kalau diamati, orang yang duduk di bangku seberang itu mengenakan sejenis jas berwarna merah yang sepertinya sering dipakai mahasiswa. Kalau tidak salah namanya jas almamater. Aku bukan mahasiswa sih, tapi aku sering melihat mahasiswa berjaket almamater lalu-lalang di sekolahku.
Ah, aku tahu. Sepertinya orang ini bukan habis dipecat. Dia mungkin seorang sarjana yang sedang mencari pekerjaan, tapi nasib tak kunjung berpihak padanya. Kita doakan saja agar orang ini segera mendapat penghidupan yang layak.
Menunggu itu sungguh pekerjaan yang membosankan, apalagi jam biologisku ditambah dengan udara dingin air conditioner yang semakin menusuk membuat rasa kantuk semakin menguasai tubuhku. Agar aku tidak tertidur, aku sudah membaca semua koran yang tersedia di ruang tunggu bandara ini. Dan yang lebih buruk lagi, aku tidak bisa memainkan handphone-ku karena daya baterainya yang sudah melemah dan harus disimpan kalau-kalau aku butuh menelepon atau mengirim pesan.
Karena itulah aku selama beberapa menit ini mengamati orang ini. Aku tak peduli apa pendapatmu, yang jelas menebak-nebak orang seperti yang kulakukan ini terasa agak… menyenangkan. Laki-laki itu beranjak, kukira ia akan pergi. Ternyata ia hanya pindah ke deretan kursi di belakangnya, tak tahu kenapa.
Perkiraan terakhirku menyebutkan bahwa orang ini adalah sarjana pengangguran. Tapi sebelum aku mempercainya, sebuah pertanyaan usil kembali terlintas di pikiranku: dari mana aku tahu kalau orang ini sudah lulus dari kuliahnya? Siapa tahu, kan, dia masih mahasiswa? Bisa saja mukanya yang suram itu disebabkan karena studinya yang belum juga usai karena harus terus-terusan mengulang kuliah atau karena skripsinya tak kunjung diluluskan.
Dan sebelum pikiranku yang liar menanyakan program studi apa yang membuatnya sampai tak lulus, aku kembali dihantam sebuah pertanyaan lain: apa yang dilakukan mahasiswa (?) seperti ini dengan ekspresi seperti ini di tempat seperti ini? Saat aku mencoba mengalihkan fokusku sejenak, sepertinya bandara ini bertambah sepi, dan di antara orang-orang yang masih menunggu hanya aku dan dia yang duduk sendirian.
Kemudian, kerumumunan orang mulai terlihat di balik gerbang kedatangan. Aku segera mencari orang-orang yang sedang kutunggu, dan mereka ada di sana. Aku segera melambaikan tangan pada mereka, dan mereka membalas lambaianku. Segera setelah mereka keluar dari gerbang, aku menghampiri mereka.
“Ayah, ibu!” Aku memeluk mereka satu per satu, lalu membawa tas jinjing yang mereka bawa. Kami segera menuju ke tempat pengambilan bagasi. Tapi sebelum kami meninggalkan ruang tunggu, aku melihat ke arah tempat mahasiswa (?) itu duduk. Aku mencoba melihat sekitar, tapi orang itu sepertinya sudah pergi. Dan aku kembali memunculkan pertanyaan: siapa yang ia tunggu?
Sambil menunggu pengambilan bagasi, aku dan kedua orang tuaku saling berbagi cerita.
“Eh, tahu nggak, tadi di pesawat yang kita naiki ada peti mayatnya lho. Sampai takut jadinya,” kata ibuku, yang sebenarnya menurutku kurang penting untuk diceritakan.
“Oh ya? Tahu dari mana, bu?” tanyaku, seolah-olah penasaran.
“Ya, pas sebelum berangkat kan biasanya bagasi pesawatnya diisi dulu. Eh ternyata ada mobil jenazah yang ngeluarin peti dan dinaikkan ke pesawat kita,” tutur ibu.
Tentu saja, peti jenazah itu tidak akan diambil oleh yang berkepentingan di tempat ini. Dan aku sadar bahwa mahasiswa itu tidak kulihat berada di sini. Mungkin diakah yang akan mengambil peti jenazah itu? Aku tak tahu, aku tidak yakin kalau tebakanku ini sudah benar.
>Karena itulah aku selama beberapa menit ini mengamati orang ini. Aku tak peduli apa
pendapatmu, yang jelas menebak-nebak orang seperti yang kulakukan ini terasa agak…
menyenangkan.
It’s very entertaining, indeed. Heh.
Ah.
(…in any case, the fact that humans are obsessed with patterns + it being a virtual, psychological stress toy (escapism+perspective-shifting) makes it a very enjoyable activity.)
Cieh.. mulai merambah dunia sastra….
Gimana? Menyenangkan, kan?
Menulis suatu kisah… itu menyenangkan.
Dan menurutku, kayaknya kau lebih pantes buat jadi seorang writer daripada seorang speaker.
It’s just my opinion…
^ I just write what I want to write, and that could be anything from obfuscating essays to incomprehensible poems.
Yes, yes, I also think so. However, this field I’m volunteering in needs that God-damn speaking ability more than that of my writing. Someone writes that by writing more, one can improve his/her speaking ability. Hope that’ll do for me.