Skip to content

Antariksa Akhmadi Posts

Dua Garis Biru (2019): Bukan Film Seks

Teman-teman tentu sudah pernah dengar soal film Dua Garis Biru yang diboikot sementara orang karena kontennya dianggap mempromosikan “seks bebas.” Tapi, percayalah bahwa film besutan Gina S. Noer ini bukan cuma itu. Justru ia jauh dari soal selangkangan. Yang lebih menarik di dalamnya adalah pesan bahwa anak, orang tua, dan keluarga itu bukan perkara sembarangan. Soal ini perlu kita ingat, diskusikan, bahkan perdebatkan terus-menerus.

Cerita Dua Garis Biru bukan hanya soal hubungan sepasang remaja SMA bernama Bima (Angga Aldi Yunanda) dan Dara (Adhisty Zara a.k.a Zara JKT48) yang bermain-main dengan seks dan berujung menanggung beban dan malu hamil di luar nikah saja. Ada pula cerita soal garis hubungan anak dan ayah-ibunya, juga soal garis yang memisahkan dua kasta sosial yang berbeda.

Sumber: Trailer film Dua Garis Biru yang ditangkap layar oleh Provoke! Online

Adegan Bima dan Dara bercumbu hanya disajikan beberapa menit saja di awal film. Bahkan bagian tentang mereka bermain kelamin (yang toh itu cuma sangat tersirat) muncul sebelum title card film ini ditampilkan ke pemirsa. Ya memang cerita sebenarnya film ini bukan soal esek-esek alias skidipapap sawadikap belaka.

Masalah utamanya muncul setelah hamilnya Dara dan Bima yang membuahinya diketahui oleh guru mereka, para teman, dan tentunya orang tua masing-masing. Ayahanda dan ibunda Dara (diperankan oleh Dwi Sasono dan Lulu Tobing) kaget luar biasa serta memaki-maki Bima yang selama ini mereka anggap cowok baik-baik. Bapak dan Ibu Bima (diperankan oleh Arswendi Bening dan Cut Mini Theo) pun juga sedih tiada karuan terhadap kelakuan putra mereka. Tapi mau kesal dan mengamuk bagaimana pun percuma, sebab janin sudah telanjur terkandung di rahim Dara. Lantas apakah kedua keluarga yang berbeda kelas sosial bisa menyelesaikan tragedi ini? Apa yang harus dilakukan orang tua Bima dan Dara yang sudah kadung luput mendidik anaknya? Bagaimana harusnya hubungan Dara dan Bima yang mau-tak mau harus menjadi orang tua atas anak mereka?

Sumber: Trailer film Dua Garis Biru yang ditangkap layar oleh Provoke! Online

Kita mungkin sudah beberapa kali disuguhi tontonan soal bahaya seks di luar nikah, apalagi yang tak dibarengi literasi yang memadai soal reproduksi. Namun semuanya hanya berhenti di soal hamilnya saja, aborsinya saja, malu terhadap tetangga dan handai-taulan saja, atau bahkan sekalian mengikut-ikutkan azab Tuhan supaya penonton ngeri sendiri. Dua Garis Biru jauh dari stigma-stigma seperti ini terhadap pasangan yang hamil di luar nikah berikut keluarga mereka.

Justru film ini berusaha mencari jalan keluar dari persoalan yang sudah apa lacur terjadi. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Dara yang sudah berprestasi dan rajin belajar hangukmal supaya bisa kuliah di Korea malah dilarang bersekolah lantaran hamil. Bima yang keluarganya sudah miskin-papa dan sulit cari uang malah dipaksa berpikir cara menafkahi satu orok yang belum pula lahir. Belum lagi masalah bahwa orang tua yang sudah kaya pun masih sulit mendidik anak, apalagi orang tua yang miskin. Mau tidak mau, orang tua Zara dan Bima harus berdamai dengan musibah ini, dan yang lebih penting lagi, dengan anak-anak mereka yang berbuat dosa. Keluarga Zara dan Bima pun harus juga belajar hidup berdampingan walaupun pola pikir dan nasib ekonomi jauhnya bagai bumi dan langit.

Sumber: Trailer film Dua Garis Biru yang ditangkap layar oleh Provoke! Online

Tampaknya cerita sekompleks ini tidak akan bisa menarik perhatian pemirsa di Indonesia tanpa tangan dingin sutradaranya. Singkatnya, dari segi film-making, tayangan ini luar biasa indahnya. Alur cerita disajikan tidak terburu-buru dan tidak pula bertele-tele, sehingga durasi film yang nyaris 2 jam pun tidak terasa membosankan dan tidak pula kurang. Dialog antara pasangan married by accident Dara dan Bima maupun orang tua masing-masing bisa disajikan dengan realistis serta manusiawi. Tidak ada juga akting yang over the top maupun yang kesannya setengah-setengah. Di sini baik para aktor senior (para orang tua) dan junior (Bima dan Zara) patut diacungi dua jempol. Kita betul-betul seolah diajak menyaksikan konflik antar dua kekasih, antar orang tua, dan antara orang tua dengan putra-putrinya. Yang juga aneh tapi juga hebat adalah dengan premis cerita seberat ini pun, penulis skrip masih juga sempat menyelipkan guyonan-guyonan, yang bisa mencairkan suasana di tengah-tengah emosi pemirsa yang sedang panas-dingin.

Sumber: Trailer film Dua Garis Biru yang ditangkap layar oleh Provoke! Online

Aspek suara didukung lagu-lagu soft pop dari musisi macam Naif dan Banda Neira, yang membangkitkan nuansa melankolis di sepanjang film ini.

Teknik pengambilan gambar juga menguatkan emosi yang dibangun dalam Dua Garis Biru. Contoh paling kentaranya adalah adegan di UKS sekolah yang diambil dalam satu long take. Dalam satu adegan itu saja kita bisa melihat konflik-konflik yang terjadi antara para karakternya. Aku yakin adegan ini nantinya bisa dipelajari mahasiswa-mahasiswa yang belajar soal film. Ada juga adegan-adegan lain yang menggambarkan suasana batin Zara kala mengandung dan kecemasannya menyapa bayinya yang ada dalam kadungan.

Bagaimana naluri keibuan muncul pada gadis yang bahkan baru kenal cinta, bagaimana rasa ingin melindungi terbit dari lubuk hati cowok yang bahkan masih ingusan dan naif, dan bagaimana figur ayah dan ibu yang mestinya sempurna mau berterus terang mengakui kegagalan mereka dalam mengasuh anak, semuanya terpampang jelas di tayangan ini.

Sumber: Trailer film Dua Garis Biru yang ditangkap layar oleh Provoke! Online

Untuk menutup ulasan ini, bisa dibilang bahwa meski film Dua Garis Biru sudah melampaui film sejenisnya dalam mengangkat soal seks di luar nikah, sejatinya ia masih meneruskan kebijaksanaan lama bahwa remaja sebaiknya tidak coba-coba bermain dengan kelamin sebelum menikah. Dalam kajian pendidikan seks atau sex education, film ini pada akhirnya mengajak para pemuda untuk mengambil sikap abstinence, atau tidak berhubungan seks sebelum menikah. Apakah teman-teman setuju atau tidak dengan ini, tentu aku tidak bisa memaksa sebab itu terpulang kepada suara hati masing-masing. Yang jelas, Dua Garis Biru adalah tontonan yang penting untuk mengetes suara hati tersebut.

Hal lain lagi yang jelas akan terpikir kala menonton film ini adalah bahwa menjadi orang tua itu bukan hanya soal bikin anak, dan bahwa menjadi anak itu bukan hanya soal menurut kata orang tua. Komunikasi antara orang tua dan anak sebagai satu keluarga itu penting, sebab meminjam ujaran ibunya Zara, “Mengandung itu cuma sekali. Jadi orang tua itu selamanya.”

Leave a Comment

Target

Sekitar dua minggu lalu, blog ini sudah menginjak usia 10 tahun. Even though I now very rarely post here, I still wish that I can post every sometimes or so. Here’s a reflection that I think is relevant about the past decade in my life.

Waktu awal saya berkuliah, saya sudah punya daftar target. Ada beberapa hal yang mau saya lakukan waktu kuliah. Tapi, pada akhirnya tidak semua terlaksana. Bahkan, yang betulan terjadi hanya sedikit kalau diukur dari saat ini.

Apakah saya menyesal? Mungkin target saya ketinggian. Mungkin juga usaha saya masih kurang untuk sampai ke hal-hal yang saya rencanakan itu. Tapi, yang menurut saya lebih mungkin adalah diri ini banyak berubah sehingga prioritas pun berubah. Life happens. Pada akhirnya, kalau kita banyak mau, banyak juga yang harus kita korbankan. Dari target-target itu, bakal ada yang bertabrakan satu sama lain. Ada target besar yang ternyata untuk meraihnya perlu pengorbanan yang tidak kalah besar, bahkan lebih besar dari yang kita kira sebelumnya. Di situlah kita harus membuat pilihan, harus berkorban.

Lalu buat apa punya target kalau akhirnya nggak semua bakal terlaksana?

Kita sering menganggap target itu sebagai titik tertentu yang harus dicapai. Misalnya, saya mau beli es krim di toko es krim yang enak. Akhirnya pergilah saya jalan kaki ke toko es krim itu. Setelah sampai, ternyata toko es krimnya tutup. Terus sebaiknya apa yang harus saya lakukan? Mungkin ada orang yang ada di situasi begitu, terus mutung dan pulang lagi tanpa bawa apa-apa selain capek. Kalau saya sih, saya bakal coba keliling-keliling dan cari tempat lain yang jualan es krim. Siapa tahu bakal ketemu tempat es krim yang sama enaknya, bahkan lebih enak.

Buat saya, target itu fungsinya ya seperti toko es krim itu. Kalau kita dari awal nggak punya target, maka kita nggak akan jalan ke mana pun. Hidup kita akan begitu-begitu saja. Nggak ada bedanya hari kemarin, hari ini, dan hari besok. Kalau akhirnya kita bisa sampai ke target kita, bersyukurlah. Tapi, kalau toh kita sudah berjalan dan nggak berhasil mencapai “toko es krim yang diinginkan” alias target, nggak perlu dipermasalahkan juga. Seenggaknya kita sudah bergerak, jadi orang yang lebih baik dari hari sebelumnya. Siapa tahu juga bisa menemukan target-target yang lain yang bisa dikejar. Dari situ, tanpa kita harus terlalu banyak berhitung, kita akan maju ke arah yang lebih baik terus-menerus.

Semua orang pada akhirnya akan sampai ke tujuan yang sama, yaitu kematian. Yang membuat cerita hidup satu orang dan orang lainnya berbeda adalah jalan yang mereka tempuh sampai bertemu dengan maut itu. Everyone shares the same destination; it’s the journey that makes the difference. So, what will your journey be like?

Sumber: Pixabay
1 Comment

Ephemeral: A Spectator’s Review

Universitas Airlangga’s English Nite is back with a story about a disturbed girl and a boy who got disturbed helping her.

Yesterday I went to watch Universitas Airlangga’s English Department Students’ Association’s English Nite play. This time, the performance is titled Ephemeral, and this time it was performed at Balai Budaya Surabaya, which is a great improvement from the Gedung Pertunjukan Cak Durasim which was used for the 6 previous installments of English Nite. Props to the Student Council and the organizers who make this happen.

english nite ephemeral poster
Poster of English Nite EDSA Airlangga 2018. taken from English Department Students’ Association Universitas Airlangga’s LINE account.

I know, the last time I wrote this kind of review I said that it was the last time I’d had an opportunity to watch an English Nite play. To put things briefly, there had been a change of plans. Next year, though, would be different as I have to work and/or study way out of town. So most probably this would be my last review.

Here goes:

Ephemeral features the tale of a girl named Elizabeth, who is distraught by the murder of both her parents. In order to cope with her loss, as well as constant bullying by her schoolmates, she created a host of friends and hang around by them. A childhood friend of Elizabeth, Jason, notices her schizophrenic behavior and tries to talk her out of it.

This sounds a lot like A Beautiful Mind (2001), a movie about the Nobel-winning mathematician John Nash’s battle against his delusions, which also deal with imaginary friends. Well, I don’t know if the scriptwriters drew inspiration from this, but I wouldn’t be surprised if they did.

Let’s jump straight into the ending, though. El confronted her imaginary friends, but in the process she ended up crashing into a vehicle on the street during her hallucinatory bouts. Jason become depressed because he’s unable to save her. However, in the last scene, we are shown that Jason is actually inside a mental institution and has been repeating his story about El and his inability to save her for the past 10 years. So, in fact, the whole play takes place in the mind of a mentally deranged Jason.

english nite ephemeral synopsis leaflet
Synopsis sheet handed by the organizers. Scanned by me for this writeup.

For me, the premise of the play is okay, but it’s the execution that leaves the audience dumbfounded. Playing with point-of-view works well in medias like TV and move, but I don’t think it can be done on stage. The directors try to differentiate the scenes happening in real life and those happening in the minds of the characters through lighting. However, this is tricky. Without prior information, this transition is not obvious to the spectators. Moreover, the reveal in the end seems to “cheat” the whole purpose of the play. This kind of approach was also used in English Nite 2015’s play Memento Vivere, and I think it does not seem to work that well either.

20181214_204258
Elizabeth and Jason. (Photo by me)

That being said, the scriptwriters deserve credit for bringing in jokes into the play. There are jokes in dialogues, as well as some practical jokes, which is a welcome surprise. Usually, English Nite viewers are unable to fully understand the story because they can’t hear the dialogue because of technical issues (like the mic not working) or because the play is presented in English. The jokes help to cover this problem. It makes the audience react with laughter, which is good because audience reaction is an integral part of the drama experience.

Overlooking the problems with the story and delivery, the direction itself is excellent. Transitions are handled well with no flaws. There was no error in the technical aspects of the performance, except for the microphones. Moreover, it’s clear that the cast has been very well selected and trained.

The talents themselves are able to carry on with their roles despite the problems, especially the problem with the microphones (this is a constant source of headache for organizers each year, so I feel you ppl). The moods and personalities are visible and distinct scene-by-scene. This is what makes great performances great, and this is why the audience can stick to watching the play despite a rather confusing flow of the story.

The lighting department can carry its work well. Spotlights are used well to create focus on characters, especially during intense scenes. The placement and time are also ably coordinated, with no part missing the cue. Of course the venue does offer some superiority in this part, but the persons in charge are the ones who make it really work.

 

Shots from the play, also taken by me. Again, sorry for the quality.

Sound and music-wise, it continues the commendable track record from the previous two performances (The Verse and Left in 2017). Sound effects fit the atmosphere very well without being overblown. The climactic moments are especially propped up because of the music and sound effects. Again, the choice of venue surely helps, but this won’t work without the work of the sound director and her team. (Totally unbiased, though! 😜)

Speaking in terms of previous performances, Ephemeral seems to carry on the norm of using original scripts in the past three years instead of adaptations. Like I said in the previous recap of five English Nite plays, this is tricky. Often, the scriptwriters use the logic of a screenplay and apply it to a dramatic play. I think it’s worth noting that the experience of watching a play is different from watching a movie, although they’re both done in a theater. Since a play is inferior in terms of visual and audio engagement, dramatic performances often try to distinguish themselves by trying to draw the audience through jokes, breaking the fourth wall, etc. This has been done in other departments’ performances (like Sasindo’s Dramaturgi or Pakarsajen’s Ngangsu Candra Kidung) with great results. I think EDSA can also apply these techniques so audiences get and stay engaged throughout the play.

All in all, Ephemeral was an interesting ride for me. It has its faults, of course, but the overall execution makes up for all that. Surely, I would want to watch such a play again next year had I been given the chance.

Well, that’s my review-slash-rant. I hope I covered everything, but since this is getting so long, I have to skip a few things. For all the cast and crew of Ephemeral, thank you for delivering such an entertaining show and please do tell me if there are things that I got wrong. Afterall, I’m just writing a review no one asked for. Haha.

Bye for now.

 

[This review is also posted on my LINE account: https://timeline.line.me/post/_dUkSgBsamOoZFIDmvspQpZ0gVfNdLjad5QHKcso/1154487277505063035]

Leave a Comment

[REVIEW] TENGKORAK – Should You Watch It?

Aku bingung waktu pertama kali nonton trailer film Tengkorak ini. Isinya rekaman-rekaman berita (bohongan) tentang penemuan tengkorak manusia yang tingginya 1,8 km di Yogyakarta dan potongan-potongan adegan aksi dan dialog-dialog nan bikin nderedeg dicampur dengan komentar-komentar tentang makna menjadi manusia. Tapi justru karena bingung itulah aku akhirnya bersemangat sekali buat nonton.

Di hari pertama penayangan pun (hari ini, 18 Oktober), se-Surabaya cuma ada 2 bioskop yang memainkan film garapan Yusron Fuadi ini. Kalo nggak cepat-cepat nonton, pasti bakal lupa dan akhirnya kehilangan kesempatan buat menyaksikan sendiri film yang katanya masuk dalam jajaran sinema fiksi ilmiah Indonesia. Bahkan, di trailer terpampang besar-besar testimoni Joko Anwar: “mindblowing ending!”

Seberapa mindblowing sih memangnya film Tengkorak ini?

Bingung-bingung sedap

Jadi ceritanya, setelah gempa di Yogyakarta tahun 2006 lalu penduduk di suatu pegunungan di Bantul menemukan wajah tengkorak yang sangat besar. Akhirnya, tersiar kabar bahwa itu kerangka manusia yang sangat besar, yang diperkirakan oleh salah satu ahli tingginya mengerdilkan Patung Liberty.

Pemerintah Indonesia menutup-nutupi penemuan ini, bahkan tak segan menembak siapa pun yang nekat ingin menyaksikan sendiri. Bukan cuma itu, PBB bahkan menawar supaya tengkorak ini dihancurkan dengan imbalan mengampuni semua utang negara dan memberi kompensasi 23 milyar dolar. Lha kok?

Sisanya tidak akan saya ceritakan panjang lebar supaya teman-teman pembaca ikut bingung. Hehehe. Intinya, sepanjang film penonton akan mengikuti perjalanan dari tiga karakter yang bernama Ani, Yos, dan Jaka. Seiring cerita interaksi Ani, Yos, dan Jaka mengantar mereka pada makna sebenarnya dari kemunculan bukit tengkorak.

2.jpg
Ani dan Yos. (IDNTimes.com)

Susahnya jadi film indie

Aktor-aktor yang main di film tengkorak semuanya orang baru (kecuali yang cameo seperti Darwis Triadi dan beberapa orang lain yang aku kurang tahu). Penggarapannya pun bukan oleh studio, melainkan kampus yaitu Fakultas Vokasi UGM. Tentu wajar kalau latar, asal karakter, dan tokoh-tokoh yang muncul pun berbau UGM dan Yogyakarta.

Tugas tim film Tengkorak ini berat, kalau tidak mau dikata mendekati mustahil. Aku bilang begitu mengingat premis film ini yang science fiction. Susah sekali buat film yang terbilang indie ini buat mendanai syuting-syuting di berbagai tempat yang selayaknya. Lebih susah lagi buat memenuhi kebutuhan akan special effects dan CGI, sehingga di film ini efeknya pun kurang halus. Banyak shoot lokasi yang terlihat ditempel ke latar belakang via manipulasi komputer.

1
Tampak depan Bukit Tengkorak. (Liputan6.com)

Banyak lagi yang menambah kesan indie di film ini. Salah satunya kostum dan para pemain figuran yang tampak sangat simpel. Banyak tempat syuting yang diakali sedemikian rupa sehingga bisa menyerupai tempat asli (misal laboratorium atau istana presiden). Gambar di layar pun terlihat sangat grainy. Sekali lagi, maklumlah karena toh film ini sponsornya universitas, bukan perusahaan-perusahaan besar.

Dari segi penceritaan, penonton terus-terusan dibuat bingung sepanjang film. Yang bikin bingung bukan hanya ide ceritanya saja seperti yang dijelaskan tadi, namun juga pembawaan penonton menuju inti cerita sendiri. Aku bahkan nggak tahu kapan karakter Ani dan Yos ini bertukar nama. Aku nggak tahu kenapa mereka akhirnya bisa punya keinginan untuk datang dan memecahkan misteri bukit tengkorak. Bagian-bagian film ini seakan terputus satu sama lain.

Tapi, di samping ketidaksinkronan cerita ini, banyak sekali faktor lebih yang bikin aku tetap betah menonton.

Pertama adalah ide ceritanya sendiri. Sangat jarang ada film fiksi ilmiah di Indonesia. Novel pun jarang. Yang aku ingat mungkin hanya Modus Anomali (2012), yang itu pun aku sendiri nggak nonton (belum suka nonton ke bioskop waktu itu). Langkah mengangkat ide cerita seperti ini kuharap bisa menyegarkan jagat film Indonesia, yang sekarang ini sudah mulai banyak meningkat dibandingkan beberapa tahun lalu dari segi banyaknya film-film bermutu.

Yang kedua, dialog antar karakter alami sekali. Mungkin ini karena dialek Yogyakarta yang dipakai, terutama oleh Yos dan Jaka. (Kalimat yang menarik buatku, mohon maaf: “rupamu iki kementhu” yang cuma dikasih terjemahan “rupamu menawan.”) Relasi antar tiga karakter utama ini asyik diikuti untuk ukuran film fiksi ilmiah. Sayangnya, kurang matang aja sih pendalamannya.

Yang ketiga adalah ending ceritanya. Jujur aku sendiri udah menebak sih bakal gimana akhirnya, dan tebakanku bener. Haha. Dari premisnya aja aku langsung ingat anime Neon Genesis Evangelion. Unsur-unsur ceritanya juga banyak yang mirip sih, walaupun ya pastinya nggak ada pilot dan Eva-nya sendiri. Jangan-jangan Yusron Fuadi ini juga nonton Eva? Bagaimanapun, memang akhir ceritanya cukup bikin syok sih. Penonton yang teliti mungkin akan bisa melihat petunjuk ke arah ending ini, misalnya ketika seorang karakter membuka-buka kitab-kitab suci, dan ayat-ayat yang muncul mengarah ke tema tertentu.

Kurasa film ini lebih cocok jadi web series daripada film feature. Bagian-bagian awalnya bisa jadi episode pertama yang bikin orang penasaran, sementara ending-nya akan bagus dibuat episode final yang bikin terperanjat. Toh secara nilai produksi, kalau jadi web series film Tengkorak ini akan sangat greget. Eksplorasi karakternya pun juga akan kuat, ditambah kesempatan mengembangkan cerita yang lebih lega. Tapi, mungkin ada pertimbangan sendiri dari pembuatnya untuk menjadikan Tengkorak sebagai feature film saja.

3
Evangelion dengan kearifan lokal? (Hipwee.com)

So, should you watch it?

Untuk ukuran film fiksi ilmiah, apa yang dilakukan para pembuat film Tengkorak ini tergolong sangat berani, kalau tidak mau dibilang nekat! Bahkan, di negara lain yang lebih maju pun pengembangan film fiksi ilmiah masih berjalan lambat. Sebagai contoh, pembuat film di China beberapa tahun ini sedang mengembangkan film adaptasi dari novel fiksi ilmiah terkenal Three Body Problem. Penggarapannya sudah dari tahun 2014, namun sampai hari ini ia masih macet di fase post-production. Dalam jangka waktu yang kurang lebih sama, hari ini kita bisa nonton Tengkorak di bioskop, yang dibuat di negara yang PDB-nya hanya sepersekian China. Ini patut disyukuri dan dibanggakan. Sekalipun banyak rumpang di sana-sini, tapi tim dari dosen dan mahasiswa Vokasi UGM ini bisa menghadirkan hiburan yang layak tonton.

Sebagai hiburan, Tengkorak mungkin bukan tontonan yang membuat orang senang. Itulah mengapa mungkin film ini tidak bakal direspons penonton pada umumnya, yang pergi ke bioskop buat melepas penat. Tapi, buat mereka yang suka dengan cerita-cerita baru dan tayangan-tayangan yang tidak bikin bosan, then heck yes they should try this movie.

Leave a Comment

SEARCHING (2018): Should You Watch It?

Akhir-akhir ini banyak sekali film bagus yang tayang. Aku sendiri sudah beberapa kali ke bioskop sepanjang bulan Agustus kemarin. Tapi, rasanya, pengalaman nonton Searching tempo hari menurutku paling berkesan dan worth the money. Ini tontonan menghibur sekali dan disajikan dengan cara yang segar. Wah gimana itu?

searching poster (src harkespan.blog.dinus.ac.id)
Sumber: Blog Coretan Kesukaan

Pertama, kita lihat ceritanya dulu. David Kim (John Cho) yang kehilangan istrinya, Pamela, beberapa tahun lalu sekarang tinggal sendiri dengan Margot Kim (Michelle La), putrinya. Suatu malam, Margot izin pulang malam via video chat ke bapaknya karena kerja kelompok. Ternyata, esok harinya dia tidak pulang. Kontan David menghubungi sana-sini untuk bertanya ke mana perginya Margot. Karena tidak ada kejelasan, diteleponlah polisi, dan Detektif Vick (Debra Messing) pun turun untuk membantu David menemukan putrinya.

Sekilas membaca sinopsis di atas, rasanya ini model cerita “orang hilang” yang toh kita sering nonton di film-film lainnya. Tapi, tunggu dulu! Yang membedakan dengan film detektif/thriller sejenis adalah cara penuturan ceritanya. Kita sebagai penonton menyaksikan interaksi antar tokoh dan aksi-aksi mereka seolah lewat komputer  dan gawai yang dipakai para karakternya.

Andaikata film ini dituturkan dengan cara sinema pada umumnya, mungkin reaksi pemirsanya tidak akan seheboh ini (sebab buat ukuran film thriller Barat, penontonnya kupantau lumayan banyak). Bahkan, Joko Anwar yang kita kenal sebagai sutradara jempolan pun kagum dan mengajak pengikut Twitter-nya nonton Searching. Ada pengalaman baru ketika kita sebagai penonton bisa mengikuti bagaimana David mencari-cari kontak di komputer Margot yang bisa dihubungi atau ketika dia mencoba-coba menggunakan situs private streaming dan kagok sendiri. Kepingan-kepingan misteri disajikan dalam bentuk informasi di internet, layaknya saat kita sedang stalking gebetan lewat Googling atau buka-buka medsosnya. Unch~

Sebetulnya gaya bercerita dengan menggunakan sudut pandang komputer atau gawai nggak benar-benar baru. Yang nonton serial Black Mirror mungkin akan langsung kebayang episode Shut Up and Dance. Ada juga film televisi Cyberbully (2015) yang dibintangi Maisie Williams (a.k.a Arya Stark). Tapi, yang membuat Searching inovatif adalah bahwa ini pertama kalinya teknik sudut pandang siber ini dipakai dalam film thriller.

Untuk soal gambar dan suara, rasanya nggak ada yang perlu dibahas. Visualnya malah cenderung low-budget, karena memang film ini sendiri nggak membutuhkan adegan-adegan aksi dan soundtrack yang hebat-hebat. Dengan model  penceritaan seperti ini pun, film besutan Aneesh Chaganty ini juga sudah hebat kok.

david searching (src the verge)
Sumber: The Verge

Alur yang dibawakan juga menarik buat disimak. Solusi akhir dari misteri ini pun pastinya akan bikin orang terkejut, meskipun nggak konvensional. Agak di luar pakem film misteri pada umumnya, walaupun plot device serupa pernah dipakai di salah satu ceritanya Agatha Christie. Cerita yang mana? Ya jangan dikasih tahu, dong. Nggak seru nanti. Hehehe. Menurutku sendiri ada beberapa hal yang janggal dari ending-nya, karena ada banyak hal yang nggak sinkron. Tapi, ya, tetep bikin deg-degan sih nontonnya.

So, should you watch it?

You really should! It’s a very entertaining watch overall, dan mungkin akan jarang kita temukan film-film yang segar, menghibur, dan “di luar pakem” seperti ini. Bagi yang suka atau belajar film/media/cultural studies, tontonan ini wajib ‘ain hukumnya buat disimak dan kalau perlu dianalisis sekalian.

2 Comments
In word we trust