Skip to content

Mengapa Kita Akan Menikah dengan Orang yang Salah

Menyusul ramainya berita soal dua orang yang sedang dalam proses perceraian, rasanya cocok kalau artikel teratas The New York Times 2016 ini dibaca sekarang. Ini terjemahan bahasa Indonesia dari artikel Why You Will Marry the Wrong Person.

Artikel asli dan sumber gambar: https://mobile.nytimes.com/2016/05/29/opinion/sunday/why-you-will-marry-the-wrong-person.html

Mengapa Kita Akan Menikah dengan Orang yang Salah
Alain de Botton, The New York Times 28 Mei 2016

Ada satu hal yang kita sangat takuti terjadi pada diri kita. Kita berusaha sekuat tenaga untuk menghindarinya. Namun, kita toh tetap juga akan sampai pada hal yang sama: kita menikah dengan orang yang salah.

Bisa dibilang, ini terjadi karena banyaknya kecamuk masalah yang muncul saat kita berusaha mendekati orang lain. Kita hanya terlihat biasa di depan mata orang yang tidak begitu mengenal kita. Seandainya masyarakat kita lebih sadar diri ketimbang sekarang, mungkin di kencan pertama orang akan lazim bertanya: “Lalu, kegilaan yang kamu punya itu seperti apa?”

Barangkali kita punya kecenderungan tak sadar untuk marah saat seseorang tidak sependapat dengan kita atau hanya bisa tenang saat kita sedang bekerja. Barangkali kita goyah soal kedekatan setelah seks atau merundung ketika merasa dipermalukan. Tidak ada orang yang sempurna. Masalahnya, sebelum menikah, kita jarang menyelami kerumitan-kerumitan yang ada dalam diri kita sendiri. Saat keburukan-keburukan kita terancam terbongkar dalam hubungan yang belum serius, kita menyalahkan pasangan kita dan segera menjauhinya. Teman kita pun tidak cukup peduli untuk memberitahu kita yang mana yang benar. Karena itu, salah satu kelebihan menjadi sendiri adalah bahwa kita bisa menganggap diri kita mampu-mampu saja menjalani hidup sendirian.

Pasangan kita tidak sesadar itu terhadap dirinya sendiri. Tentu saja, kita mencoba-coba untuk memahami mereka. Kita kunjungi keluarga mereka. Kita lihat foto-foto mereka. Kita temui teman-teman mereka waktu kuliah. Semua hal ini memberi kesan seolah-olah kita sudah cukup banyak mencari tahu. Nyatanya, tidak. Pernikahan sejatinya adalah suatu taruhan yang penuh harapan, penuh kasih, dan penuh kerendahan hati yang diambil dua orang yang tidak tahu siapa mereka dan siapa pasangan mereka, guna menambatkan diri mereka ke suatu masa depan yang tidak bisa mereka bayangkan dan berusaha mereka hindari dengan hati-hati.

Sepanjang sejarah, orang menikah karena alasan-alasan rasional: karena petak tanah dia berhimpit dengan petak tanah kita, karena keluarganya punya usaha yang sukses, karena ayahnya seorang pejabat, karena ada kerajaan yang harus dilindungi bersama, atau karena kedua orang tua pasangan punya pemahaman yang sama terhadap suatu kitab suci. Lalu, dari pernikahan yang berdasarkan akal itu, lahirlah kesepian, perselingkuhan, penganiayaan, kerasnya hati, dan teriakan-teriakan yang dapat terdengar dari kamar bayi. Pernikahan berdasar akal, pada akhirnya, sama sekali tidak masuk akal. Sifatnya banyak mengakali, bernalar sempit, penuh kecongkakan, dan sarat pemerasan. Oleh karenanya, pengganti dari konsep ini, yaitu pernikahan berdasarkan rasa, sering kali dianggap tidak perlu dipertimbangkan dengan seksama.

Yang penting dalam pernikahan berdasarkan rasa hanyalah bahwa dua orang tertarik satu sama lain berdasar perasan mereka yang menggebu-gebu dan tahu dari hati mereka bahwa perasaan itu benar adanya. Oleh karenanya, semakin tidak hati-hati kelihatannya sebuah pernikahan (mungkin baru enam bulan mereka bertemu; salah satu dari mereka tidak punya pekerjaan, atau mereka baru beranjak dewasa), rasanya justru hubungan itu lebih aman. Kecerobohan sering kali dianggap sebagai pengimbang dari semua cacat dari sikap mengedepankan akal, yang menimbulkan bencana-bencana yang disebutkan sebelumnya, oleh karena terlalu banyaknya perhitungan. Menangnya rasa dari akal merupakan reaksi trauma dari lintasan sejarah manusia yang dipenuhi dengan permainan akal yang sebetulnya tidak masuk akal.

Namun, meski kita meyakini bahwa kita menikah untuk mencari kebahagiaan, kenyataannya tidak segampang itu. Hal yang sebetulnya kita cari adalah kenyamanan, yang bisa merumitkan tujuan kita untuk mencapai bahagia. Dalam hubungan kita di masa dewasa, kita hanya ingin menciptakan kembali perasaan yang akrab dengan kita saat kanak-kanak. Rasa cinta yang kita alami pada saat masih kecil sering kali tertukar dengan perasaan-perasaan lain yang sifatnya merusak: rasa ingin menolong orang dewasa yang tidak bisa mengendalikan dirinya, rasa kekurangan kasih sayang dari atau takut kepada orang tua, atau rasa tidak nyaman dalam menyampaikan keinginan kita. Tentunya masuk akal kalau kita sebagai orang dewasa menolak calon pasangan bukan karena mereka tidak sempurna tapi justru karena terlalu sempurna- terlalu stabil, terlalu dewasa, terlalu pengertian, terlalu bisa diandalkan– mengingat dalam hati kita, orang yang seperti itu rasanya aneh. Kita menikahi orang yang salah sebab kita tidak mengaitkan rasa dicintai dengan rasa bahagia.

Kita juga membuat kesalahan sebab kita merasa begitu kesepian. Tidak ada seorang pun yang pikirannya jernih untuk memilih pasangan saat kesendirian itu tampaknya sangat tidak tertahankan. Kita harus mampu menerima bahwa kita perlu sendiri selama bertahun-tahun agar bisa betul-betul memilih dengan jernih. Jika tidak begitu, maka kita akan lebih cinta pada tidak lagi sendirinya kita ketimbang pada pasangan yang sudah menyelamatkan kita dari kesendirian itu.

Pada akhirnya, kita menikah untuk mengabadikan perasaan yang menyenangkan. Kita membayangkan bahwa pernikahan akan membantu kita untuk mengemas rasa senang yang kita alami pada saat lamaran. Mungkin terbayang ketika kita berbulan madu di Venesia, menyusuri laguna di atas sebuah kapal motor, dengan kilau sinar matahari senja di ufuk lautan, sembari berbincang-bincang tentang relung-relung jiwa kita yang tak pernah orang pahami sebelumnya, disusul jamuan makan malam yang mewah. Kita menikah agar kesan seperti itu menjadi abadi, namun kita sendiri lupa bahwa tidak ada hubungannya perasaan semacam ini dengan lembaga pernikahan.

Bahkan, pernikahan pada umumnya akan membuat kita mengurus hal-hal yang sifatnya monoton, semisal mengurus rumah, pulang-pergi kantor, dan mengatur anak-anak yang menjengkelkan kita sampai-sampai kita lupa anak-anak itu lahir berkat kehendak kita juga. Yang bisa menemani kita dalam saat-saat begitu hanya pasangan kita. Bahkan, bisa jadi dia adalah teman yang salah.

Di sini, ada kabar baik: tidak masalah kalaupun kita menikahi orang yang salah.

Jangan kita abaikan pasangan kita. Yang harus kita abaikan adalah gagasan tentang Romantisisme yang membentuk pemahaman Barat atas pernikahan selama 250 tahun belakangan: bahwa ada seseorang yang bisa memenuhi semua kebutuhan kita dan memuaskan semua keinginan kita.

Kita perlu menukar Romantisisme dengan suatu kesadaran tentang tragedi (dan juga terkadang komedi) bahwa setiap manusia akan membuat kita marah, jengkel, murka, dan kecewa—dan kita sendiri pun (tanpa maksud buruk) akan melakukan hal yang sama kepada mereka. Rasa hampa dan kekurangan dalam diri kita tidak akan pernah habis. Namun, semua ini tidak aneh, dan bukan pula alasan yang baik untuk berpisah. Memilih orang yang akan terikat dengan kita sebetulnya hanyalah soal memilih wujud penderitaan mana yang paling mampu kita hadapi dengan pengorbanan.

Pemikiran pesimis ini menunjukkan sebuah jalan keluar atas banyaknya keresahan dan kebimbangan soal pernikahan. Meski kedengaran aneh, sikap pesimis justru mengangkat tekanan batin yang ditimpakan budaya romantis kita terhadap pernikahan. Tidak berhasilnya pasangan kita menyelamatkan kita dari dukacita dan kesedihan bukan pertanda kekurangan dia, dan bukan berarti bahwa ikatan kita akan gagal atau harus diperbaiki.

Orang yang paling cocok bersama kita bukanlah orang yang seleranya sama persis dengan kita (orang itu tidak akan pernah ada). Yang ada adalah orang yang mampu menengahi perbedaan selera secara cerdas—orang yang terampil dalam menyatakan ketidaksetujuan. Orang yang cocok bagi kita bukanlah orang yang bisa “melengkapi”, namun orang yang “tidak terlalu keliru” buat kita, yang bisa menanggapi ketidaksamaan dengan murah hati. Kecocokan adalah pencapaian dari cinta, bukan syarat untuk meraih cinta.

Romantisisme tidak membantu kita, sebab ia adalah pemikiran yang rupanya sangat keras. Gagasan ini membuat kejadian-kejadian yang kita alami dalam pernikahan tampak begitu besar dan memuakkan. Kita akan menjadi kesepian dengan menganggap bahwa ikatan kita, dengan segala ketidaksempurnaannya, sudah tidak lagi “normal.” Kita mesti melatih diri kita untuk menerima “kekeliruan” dalam hidup kita dan selalu berusaha memiliki pandangan yang penuh dengan kemaafan, kejenakaan, dan kerendahan hati dalam menanggapi ketidaksempurnaan pada diri kita dan pasangan kita.

Catatan akhir:

Terjemahan ini dibuat sendiri, dengan menyederhanakan banyak bagian yang kurasa rumit. Teks aslinya, dan gaya menulis pengarangnya, memang cukup ruwet. Seperti biasa, mohon saran kalau ada yang bisa disempurnakan.

Apa yang ditulis di sini nggak harus disetujui, bahkan aku sendiri nggak sepenuhnya setuju. Tapi, menurutku gagasan semacam yang ditulis Alain de Botton ini perlu lebih banyak dibahas untuk menyegarkan pemahaman kita selama ini soal cinta dan pernikahan.

Published inThoughts

2 Comments

  1. Azmilah Azmilah

    Terjemahannya cukup luwes, I like this one. Yaah meski kadang harus pandai2 memisah sub-klausa nya biar terpahami dg baik. But overall, it’s nice translation.
    And I totally agree with the idea of Alain de button.

    • Thank you for your feedback! :)) Aku penasaran sih sama terjemahan bukunya Alain de Botton di sini. Kalo ngga salah bukunya yang “On Love” sudah ada versi Indonesianya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

In word we trust