Skip to content

Kata Ganti Orang Pertama

Ketika aku membuat tulisan di manapun, aku selalu bingung untuk menulis kata ganti orang pertama. Aku baru menggunakan kata ganti “aku” di blog ini sekitar akhir tahun lalu (entahlah, males nyari tahunya). Seperti yang kubilang tadi, ini cuma berlaku untuk tulisan. Untuk berbicara, tentu saja menggunakan kata ganti “saya” itu aneh untuk orang yang kira-kira masih sebaya. Meski kata “saya” kesannya terlalu kaku, tapi kata “aku” juga terlihat narsis. Apalagi aku bukan orang yang suka banyak bercerita tentang diriku sendiri kecuali ke orang-orang terdekat.

Di karangan-karangan ilmiah, penulis tidak merujuk dirinya sendiri menggunakan kata ganti orang pertama. Biasanya penulis merujuk dirinya dengan kata “penulis”, “peneliti”, atau semacamnya. Mungkin sebabnya adalah bahwa ilmu pengetahuan itu harus objektif, atau setidaknya dibuat seobjektif mungkin. Menggunakan kata ganti orang pertama memberi kesan bahwa karangan itu bersifat subjektif dan dengan demikian mengurangi kesan keilmiahannya.

Lain lagi kalau kita lihat di esai. Esai pada dasarnya adalah cerminan pendapat penulisnya. Jadi menggunakan kata ganti orang pertama bukan masalah. Namun karena sebagian besar esai dibaca khalayak umum, maka penulis esai biasanya menggunakan kata “saya”, atau malahan berusaha menghindari merujuk diri sendiri. Di tulisan-tulisan lain yang sifatnya resmi dan dibaca umum, penulis juga akan merujuk dirinya adengan cara yang serupa.

Tidak semua bahasa punya lebih dari satu kata untuk merujuk pada diri sendiri. Bahasa Inggris dan Arab hanya punya satu kata untuk itu. Untuk bahasa Inggris, kata ganti ini lebih sering diterjemahkan sebagai “saya” dan bukannya “aku”.  Tapi aku menemukan sesuatu yang unik ketika membaca karya-karya terjemahan dari bahasa Arab (dalam hal ini, tulisan soal agama Islam). Kata-kata yang merujuk pada penulis diterjemahkan sebagai “aku” dan bukannya “saya”. Ulama Indonesia sendiri jarang kutemui menulis menggunakan kata “aku”.  Pertanyaannya: apa alasan penerjemah menerjemahkannya menjadi “aku”?

Published inThoughts

5 Comments

  1. I, me, mine, myself
    Kurasa ini semua merujuk kepada diri sendiri, dalam bahasa Inggris.

    Menurutku, penggunaan “aku” dan “saya” menunjukkan intimasi yang diharapkan oleh penulis kepada pembaca; seberapa dekat jarak yang diinginkan oleh sang penulis terhadap pembacanya.
    Tentu saja, yang kukatakan barusan bisa kamu habisi dengan fakta subjektif dimana kamu menggunakan “aku” namun kamu masih jauh dari egosentrisme.
    Akhir kata, menggunakan “aku” atau “saya” gak perlu dipermasalahkan. Tergantung dari pandangan subjektif masing-masing; pembaca dan penulis.
    Ini hanya masalah kesan yang diberikan.
    “Aku” memberikan kesan subjektifitas, cerminan buah pikiran penulis yang dituang secara langsung tanpa diolah agar bisa diterima olah khalayak umum.
    Mungkin karena itulah tulisan di koran misalnya, menggunakan “saya” agar buah pikirnya bisa diterima dengan mudah.
    Jadi bisa dibilang “aku” adalah tanda dari egosentrisme manusia dalam bahasa Indonesia.
    Dan mungkin juga karena itulah di karya-karya ilmiah kata “aku” atau bahkan “saya” sekalipun hampir tidak digunakan.

      • Ternyata kamu bisa bahasa Indonesia. 😯
        Memang tidak bisa dibandingkan, tapi yang kutanyakan di atas itu soal bagaimana kita menerjemahkan subjektivitas itu dari bahasa lain yang caranya menunjukkan subjektivitas berbeda dengan kita. Apa penerjemah sudah tahu subjektivitas pengarang dalam karya aslinya itu seperti apa sehingga diambil terjemahan seperti itu? Kalau iya, seperti apa?

        Selebihnya setuju deh. 😉

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

In word we trust