Skip to content

Kritik atas Analogi

Analogi sebenarnya diciptakan untuk memudahkan penalaran, bukan sebagai bagian dari proses menalar itu sendiri. Tapi kebanyakan orang yang ingin menyampaikan hikmah (seperti mubalig atau motivator) merumuskan semua pesan yang ingin mereka sampaikan dengan cara membuat analogi. Akibatnya, seringkali pemahaman orang hanya terpaku pada analoginya dan bukan hal yang dianalogikan.

Memakai terlalu banyak analogi hanya bakal membatasi pemikiran kita. Oleh karena itu, gunakan analogi seperlunya. Jika suatu hal bisa dipahami tanpa harus disederhanakan dengan analogi, apa salahnya kalau disampaikan langsung?

Kalau kau berpikiran bahwa menghindari analogi berarti mengabaikan keindahan, pikirkan lagi. Metafora, analogi, pengandaian, atau apapun namanya tidak selamanya membuat suatu ide menjadi indah. Malahan, gambaran-gambaran itu akan memicu kerancuan dan perbedaan tafsir yang merusak esensi ide yang kausampaikan. Majas bukan cuma metafora, ada belasan majas lain yang bisa digunakan untuk memperindah penyampaian gagasanmu.

Hati-hatilah, karena bergantung pada analogi adalah salah satu tanda malas berpikir. Ketika orang malas berpikir, maka ia akan kehilangan kekritisan terhadap ide-ide yang ia peroleh. Saat kekritisan kian tumpul, jalan bagi indoktrinasi akan terbentang lebar.

Published inThoughts

2 Comments

  1. O.S.L. O.S.L.

    Sebaliknya, itulah yang kuinginkan. “Analogi” (dalam tanda petik) yang kubuat, tidak lebih dari usaha untuk membuatmu bingung. Tentu, dengan menggunakan analogi, tendensi orang malah membuat mereka terpikat pada analogi itu sendiri, bukannya esensi yang hendak disampaikan.
    Dari apa yang kusampaikan waktu itu, aku memang menggunakan analogi yang sama sekali jauh dari konteks. Bahkan, kesimpulan yang tepat mungkin hanya bisa dicapai oleh aku seorang.
    Tapi, itulah yang ingin kulihat. Apakah bisa, kau, Antariksa Akhmadi, mengikuti lajur pikiranku dan menemukan jawabannya?
    Menggunakan metafora yang sama—aku mengajakmu bermain catur dengan aturan yang kacau. Apa kau bisa menemukan jawaban yang kuharapkan di balik variabel yang tidak jelas? Itulah yang ingin kuketahui.
    Yang kucari bukanlah keindahan, mungkin lebih tepatnya, ya, sebuah permainan. Kurasa ada kata yang lebih tepat lagi namun saat ini belum muncul di kepala.
    Namun—kurasa aku salah dalam membaca dirimu. Aku salah menaruh ekspektasi.

    • Aku bukan orang yang suka repot-repot menggali pikiran orang. Ada banyak hal yang lebih menyenangkan, lebih menantang, dan lebih fair daripada melayani permainan yang aturannya dibuat oleh lawan mainku. Kalau dibilang malas berpikir, ya aku memang orang yang malas memikirkan hal-hal yang hanya terjadi di dalam kepala orang lain. Silakan berfantasi di duniamu sendiri, nggak usah ngajak-ngajak orang yang bahkan nggak kamu kenal untuk masuk ke duniamu. Cari korban lain aja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

In word we trust