Sang Elang terbang di pucuk Langit, Sang Pemburu dengan anjingnya mengejar arah terbangnya. Wahai bintang-bintang yang beredar tak henti, Wahai musim-musim yang selalu silih berganti, Wahai dunianya musim semi dan gugur, yang lahir dan yang mati! Tiada hentinya putaran gagasan dan tindakan, Penemuan tiada akhir, percobaan tiada akhir, Membawa pengetahuan akan gerakan, namun tidak ketenangan; Pengetahuan akan bicara, namun tidak dengan diam; Pengetahuan akan kata-kata, dan kebodohan akan Kata. Semua pengetahuan mendekatkan kita pada kedunguan, Semua kedunguan mendekatkan kita pada kematian, Tapi dekat dengan mati tanpa dekat dengan Tuhan. Di mana Hidup kita yang tenggelam dalam bertahan hidup? Di mana kebijaksanaan kita yang tenggelam dalam pengetahuan? Di mana pengetahuan kita yang tenggelam dalam informasi? Berputar-putarnya langit selama dua puluh abad Menjauhkan kita dari Tuhan dan membawa kita jadi Debu.
Dikutip dari “Choruses from The Rock” karya T.S. Eliot, terjemahan sendiri
Yang spesial dari petikan korus drama The Rock di atas bukan sang penulis T.S. Eliot yang tidak asing dibahas di program studi Bahasa dan Sastra Inggris, bukan pula kualitas untaian katanya secara sastra, meskipun kedua hal ini juga sudah membuat petikan ini di atas rata-rata karya puisi lain. Pada dua bait yang aku tebalkan di atas, ada beberapa konsep yang digambarkan berkaitan satu sama lain. Kebijaksanaan dikatakan tenggelam dalam pengetahuan, dan pengetahuan itu sendiri digambarkan tenggelam dalam informasi. Artinya, menurut Eliot, informasi (information) itu bisa disaring menjadi pengetahuan (knowledge), dan pengetahuan bisa disaring lagi menjadi kebijaksanaan (wisdom). Inilah yang dikutip sebagai asal mula dari istilah Piramida DIKW.
Piramida DIKW (DIKW Pyramid) terdiri dari empat hal yang tersusun bak piramida.
Yang pertama adalah data. Data dapat kita artikan sebagai sinyal, simbol, atau fakta yang ada dalam dunia. Contohnya, ketika kita lihat warna merah, merah itu bisa dilihat sebagai data.
Selanjutnya ada konsep informasi (information), yang bisa kita jabarkan sebagai “data yang berguna.” Bagaimana cara kita bisa membuat data jadi berguna? Caranya adalah dengan memberikan dan menjawab pertanyaan atas data tersebut. Ketika tadi kita melihat warna merah, kita bisa menanyakan, “Ada di mana warna merah itu?” Misalkan saja kita lihat warna tadi di lampu lalu lintas di perempatan jalan. “Kapan warna merah itu terlihat?” Andaikan kita melihatnya pada saat kita membawa kendaraan waktu pergi ke kantor. Dari sini, data berupa warna merah itu sudah bisa kita simpulkan menjadi informasi tentang isyarat lampu lalu lintas yang ditujukan kepada orang yang sedang berkendara.
Berikutnya, informasi diolah lagi menjadi suatu pengetahuan (knowledge). Definisi pengetahuan lebih sulit dijelaskan, tapi secara singkat kita bisa menganggap pengetahuan itu sebagai berbagai kepingan informasi yang terpadu menjadi suatu susunan yang bisa dimengerti. Dari contoh tentang lampu merah tadi, setelah kita mengumpulkan banyak informasi, tidak saja mengenai lampu merah dan situasi kita di tempat tersebut, tapi juga informasi lain mengenai tata cara berlalu lintas dan tata cara berkendara yang kita pelajari waktu ujian SIM, kita jadi tahu bahwa pada saat kita melihat warna merah di lampu lalu lintas, kita diwajibkan untuk berhenti.
Terakhir, di puncak piramida, ada konsep kebijaksanaan (wisdom). Ini lebih sulit lagi diartikan ketimbang pengetahuan, tapi pendeknya dapat kita katakan bahwa kebijaksanaan itu ialah kemampuan atau keadaan seseorang untuk memilih dan melakukan hal yang benar (what is right) dan hal yang terbaik (what is best) berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang mereka punya. Masih dengan contoh lampu merah, jika kita orang yang bijaksana, maka kita akan bijak memilih untuk menghentikan kendaraan saat melihat warna merah di lampu lalu lintas perempatan. Banyak orang yang tahu arti warna merah di lampu lalu lintas dan apa yang harusnya mereka lakukan, tapi mereka tidak cukup bijak sehingga memilih untuk langsung menerabas. Mereka kurang mempertimbangkan beberapa pengetahuan yang lain yang harusnya atau bahkan sudah mereka punya, semisal tentang kemungkinan terjadinya kecelakaan dan efek dari kecelakaan tersebut atas keselamatan badan mereka.
Puisi T.S. Eliot tadi memasukkan informasi, pengetahuan, dan kebijaksanaan, tapi tidak dengan data. Ini bisa kita mengerti karena konsep yang kita kenal sekarang soal data (seperti misalnya dalam istilah data di komputer, data penelitian, atau jargon data science dan big data) itu baru populer setelah drama yang memuat bait puisi ini terbit pada tahun 1934. Lebih tepatnya lagi, konsep data baru umum digunakan setelah ditemukannya komputer modern dari konsep Mesin Turing (Turing Machine) yang digagas ilmuwan Alan Turing sekitar tahun 1936.
Piramida DIKW buatku sangat membantu sebagai alat berpikir (mental model), walau tentu banyak yang akan tidak sepakat dengan pengertian-pengertian di atas. Menurutku, Piramida DIKW ini skema yang lebih sederhana ketimbang model-model mengenai pengetahuan yang lain, seperti Taksonomi Bloom. DIKW ini juga punya posisi yang spesial buatku karena aku sendiri juga bekerja di bidang yang terkait dengan informasi (khususnya ilmu perpustakaan dan informasi), banyak yang terpikir bahkan dari membaca petikan puisi TS Eliot di atas saja. Mudah-mudahan ada kesempatan untuk menggali konsep ini lebih jauh lagi. 😀
We cannot escape love. Every language has a word that can be translated as “love.” Every person of every race, religion, and nation, has probably experienced it or at least know about it. It has been the subject of many songs, books, movies, and other works of art. Love is so commonly seen and heard, and yet, when you really think about it, it’s not easy to answer the question, “what is love?”
A lot of people probably would find it difficult to communicate their understanding of love, even though they have certainly experienced it. I have been in love before. And yet, it’s hard for me to explain what it is without using a dictionary. In fact, I tried to look up the definition of “love” on a dictionary, and I don’t quite agree with it.
An easier way to understand love, I believe, is through metaphors. In the book Metaphors We Live By (1980) linguists George Lakoff and Mark Johnson argued that we make sense of the world around us by using metaphors, that is, using one thing to explain another thing even when they have entirely different characteristics. We usually talk and write in metaphors to communicate abstract things like concepts, ideas, or feelings through other things that we can sense with our eyes, ears, hands, or other physical means.
For example, the book mentioned the following metaphor:
TIME IS MONEY
You’re wasting my time. This gadget will save you hours. I don’t have the time to give you. How do you spend your time these days? That flat tire cost me an hour. I’ve invested a lot of time in her. I don’t have enough time to spare for that. You’re running out of time. You need to budget your time. Put aside some time for ping pong. Is that worth your while? Do you have much time left? He’s living on borrowed time. You don’t use your time profitably. I lost a lot of time when I got sick. Thank you for your time.
George Lakoff & Mark Johnson. 1980. Metaphors We Live By.
We use similar words to describe time and money. If someone said, “I’ve invested a lot of time in her,” we can instantly understand that the person is not trying to make a profit just like when we put money into stocks and mutual funds. However, we can see the relation between time and money here. Time is treated as a resource which can we have a lot of or not have at all. This is even though we couldn’t see and store time the way we can put money in our hands, count them, and put them in our wallets or piggy banks. If we try to describe time just as it is, we run into trouble pretty quickly since it is so abstract. And yet, when we use metaphors such as time is moneymentioned above, we can instantly understand it through comparing two very different things.
In the same way, we might be unable to explain love through a series of definitions. Just like time, love is an abstract concept, so abstract that even similar kinds of people can have disagreements about what it is. This is where the beauty of metaphor kicks in: you don’t need to point it out explicitly, but you can get a solid grasp by comparing the thing you want to understand to a more concrete object. Lakoff and Johnson wrote several common and easily relatable metaphors about love:
LOVE IS A JOURNEY
Look how far we’ve come. We’re at a crossroads. We’ll just have to go our separate ways. We can’t turn hack now. I don’t think this relationship is going anywhere. Where are we? We’re stuck. It’s been a long, bumpy road. This relationship is a dead-end street. We’re just spinning our wheels. Our marriage is on the rocks. We’ve gotten off the track. This relationship is foundering.
LOVE IS A PHYSICAL FORCE (ELECTROMAGNETIC, GRAVITATIONAL, etc.)
I could feel the electricity between us. There were sparks. I was magnetically drawn to her. They are uncontrollably attracted to each other. They gravitated to each other immediately. His whole life revolves around her. The atmosphere around them is always charged. There is incredible energy in their relationship. They lost their momentum.
LOVE IS A PATIENT
This is a sick relationship. They have a strong, healthy marriage. The marriage is dead—it can’t be revived. Their marriage is on the mend. We’re getting hack on our feet. Their relationship is in really good shape. They’ve got a listless marriage. Their marriage is on its last legs. It’s a tired affair.
LOVE IS MADNESS
I’m crazy about her. She drives me out of my mind. He constantly raves about her. He’s gone mad over her. I’m just wild about Harry. I’m insane about her.
LOVE IS MAGIC
She cast her spell over me. The magic is gone. I was spellbound. She had me hypnotized. He has me in a trance. I was entranced by him. I’m charmed by her. She is bewitching.
LOVE IS WAR
He is known for his many rapid conquests. She fought for him, but his mistress won out. He fled from her advances. She pursued him relentlessly. He is slowly gaining ground with her. He won her hand in marriage. He overpowered her. She is besieged by suitors. He has to fend them off. He enlisted the aid of her friends. He made an ally of her mother. Theirs is a misalliance if I’ve ever seen one.
George Lakoff & Mark Johnson. 1980. Metaphors We Live By.
As I said earlier, I don’t really relate to dictionary definitions about love since they are so abstract, and there are parts of those definition that I don’t agree. Metaphors such as these, though, are instantly understandable. I can relate these metaphors to my past love experiences, specifically my bad experiences with it.
When I first fell in love, I thought that I wasn’t behaving normally. Usually a rational kind of person, I suddenly became erratic. I couldn’t speak well, eat well, sleep well. Certainly, something was wrong with me. I have gone mad over that person. For me at that time, love is madness.
There were moments when I couldn’t point out why I was into that person. It felt as if it came out of nowhere. I did not become in love out of my own free will. In fact, I believed that I was bewitched. This was me thinking that love is magic.
At another moment in life, I was in love with a person that was loved by another person. I was constantly thinking about how to make the person I love to choose me over that another person, who I sorta kinda treated as an enemy. I came up with actions and clever words to impress that person (side note: I am a cis-het and was referring to girls all along; I just like to keep my references gender-neutral 😉). I had to defeat my enemy to win my love. When I didn’t get into relationship with the person that I loved, I thought of myself as a loser, while that other person became a winner. This was when I believed that love is war.
I could even come up with other metaphors. When I was a teenager, one of my favorite TV series is Neon Genesis Evangelion (1995-1996). It had tons of references and dialogues about how human beings try to connect to and also are hurt by each other. Episode 4 of the anime was titled Hedgehog’s Dilemma, which is I think another metaphor for love. Hedgehog’s dilemma basically states that two lonely people trying to connect with one another are like two hedgehogs in the winter that are trying to get some warmth in the winter by getting close to one another. Unfortunately, since the hedgehogs have quills, the closer they get together, the more they hurt each other with their quills. Arthur Schopenhauer, a philosopher who first came up with this metaphor, thinks that humans are like that, too. According to his Hedgehog’s Dilemma, humans cannot love each other without also hurting the ones that they love.
That’s not all! In early 2020, I happened to read a manuscript titled Djalan Sampoerna (or Jalan Sempurna Hidupku as it was titled in the National Library of Indonesia, where it was stored). I wrote a blogpost about the manuscript here. I haven’t finished reading it, but in earlier part of the manuscript, the author talked about his first love and how he lost him. Then, I came across this stirring passage:
So it became clear to me that love was of no use (tijada bergoena). Many are the Dutch sayings that show this plainly:
Liefde is vondervol (love is wonderful)! Liefde is verschrikkelijk (love is terrifying)! Liefde is zacht (love is soft)! Liefde is brutal (love is brutal)! Liefde is wreed (love is cruel)! Liefde is heeld (love is happiness)! Liefde is vuur (love is fire)! Liefde is ijs (love is ice)!
And there are many other sayings that show how love can strangle those who fall into its toils. For love, many lose all their possessions. In some cases, even their innards leave their bodies. To say nothing of those who spend years and years in prison. And missing all of this because of the treachery of love. There are so many who spend their lives in misery, confusion, and suffering because their path is that of love. So it was clear to me that love was no use. For myself, there was now no room for love, for I had my own medicine (obat) for satisfying my desire. Even if I didn’t get married, it wouldn’t matter … I’d be like my friend, or the doctor in Kediri.
Is it true? Is love just a feeling that is involuntary, is driving us mad, and has brought us into conflict? For the better part of my life, I sincerely believed in all of this. My past experiences, my failures, and my traumas has led me to think that there is nothing to be gained from love. However, I later found out that this doesn’t need to be the case.
Metaphors We Live By has a chapter that discusses how we can construct new meanings to the things that we have previously known by creating new metaphors. It does not matter what metaphors other people use. As long as our metaphor enables us to understand reality and helps us live through it, that’s completely valid. To demonstrate this point, Lakoff and Johnson came up with an unusual but intriguing depiction of love:
LOVE IS A COLLABORATIVE WORK OF ART
Love is work. Love is active. Love requires cooperation. Love requires dedication. Love requires compromise. Love requires a discipline. Love involves shared responsibility. Love requires patience. Love requires shared values and goals. Love demands sacrifice. Love regularly brings frustration. Love requires instinctive communication. Love is an aesthetic experience. Love is primarily valued for its own sake. Love involves creativity. Love requires a shared aesthetic. Love cannot be achieved by formula. Love is unique in each instance. Love is an expression of who you are. Love creates a reality. Love reflects how you see the world. Love requires the greatest honesty. Love may be transient or permanent. Love needs funding. Love yields a shared aesthetic satisfaction from your joint efforts.
George Lakoff & Mark Johnson. 1980. Metaphors We Live By.
Understanding love as a collaborative work of art is certainly not something that we often see in popular culture, such as movies, songs, TV series, even commercials. We are used to the idea that love comes out of a sudden like magic instead of requiring a lot of work like creating a painting. We often act as thought love will come and grow naturally instead of having to be gained through dedication, compromise, and discipline.
This doesn’t mean that the previous, darker metaphors are not valid. After all, these depictions of love wouldn’t become so popular if people don’t relate to them. We don’t need to entirely discard our catalog of gloomy and destructive ideas about love. But we need to create new meanings.
Our prior impressions, woes, and traumas don’t need to mean that we are destined to fail and be miserable in love. Instead, by re-framing our love stories through brighter lenses, we could focus on the encouraging and more beneficial sides of love.
About seven years ago, as a college freshman I wrote about why I was an English Literature student. If you have read that blog post, you might notice that becoming a librarian was not in the list of jobs I considered during my student years. Since I did not originally plan to become a librarian, you might be wondering, “Why are you doing this? What’s the deal? What’s in it for you?”
I will attempt to answer those questions here. No special reasons, really. I am writing this post/rant to reflect on how far my thoughts has developed in the seven-ish years since I wrote my reasons to study in a rather unconventional major.
From Translation to Librarianship
Perhaps the most obvious reason I like to change tracks every so often is that I’m a person with many interests. Sometimes, I have too many interests for my own good. Being a jack-of-all-trades might make me a renaissance man. I might have broad strokes of knowledge that allow me to see the world in a birds-eye view. However, that could also mean that I’m a good-for-nothing individual in the job market. Being a generalist is often disadvantageous if you are a fresh graduate looking for a first job.
That is why during the final year as a college student I focused on Interpreting and Translation Studies (ITS). As its name suggests, I studied translation (i.e. the act of changing a text in one language into a text in another language) and interpreting (i.e. the act of restating speech in one language into equivalent speech in another language). As translation projects could involve content from various subjects, normally a translator would have to obtain elementary understanding about pretty much as many topics as they can. At the very least, if the translator doesn’t know anything about the subject they’re about to deal with, they need to be able to learn about it as quickly as possible, preferably through self-study.
It turns out that you also need to do this kind of activity a lot as a librarian. Librarianship, or as people would often “officially” call it, Library and Information Science, is a similarly interdisciplinary profession. A librarian’s main job is about locating and disseminating information rather than retelling it in another language. However, the activities that are done and skills that need to be acquired are kind of similar.
For example, suppose that you are a cataloging librarian. A cataloging librarian’s job is to describe and classify library collections so people can find these collections more easily. You need to identify the subjects and topics that are most relevant to the book. If you work at a reference desk, you need to answer questions from people in all walks of life. People might want to find information about a subject that you didn’t study for in college. But it’s your job to find that information, so you need to learn as you go. Pretty similar to a translator’s job, don’t you think?
Alternative to Academia?
This is somewhat related to my previous point about being a generalist. Basically, I want to know everything there is to know. As with many other people who are passionate college students, I like learning more than I like to work. I wasn’t all too eager to graduate and enter the so-called job market. This kind of sentiment is prevalent in students at humanities programs, such as my own English Studies/Sastra Inggris program I attended.
College seniors (that is, students on their final semesters) are often horrified about the prospects of leaving school forever after 16-ish years attending formal education. For some of them, even the stressful assignments and boring classes are preferable to the many many more challenges that they have to face at the workplace. I was one of those students. That was why, since I was an undergraduate student, I always wanted to become a lecturer a.k.a professor a.k.a dosen.
However, later on I came to a realization that becoming a lecturer is just not that easy. I had only just come to terms with this difficulty after I graduated. First off, in order to become a lecturer you have to get a master’s (S2) degree. This degree costs a whole lot of money. The tuition fees for master’s programs are often far more expensive compared to undergraduate programs’ (since undergrad tuitions are often subsidized by the government). You could also apply for scholarships, preferably to overseas colleges. The reality is, though, that it’s just not that easy to earn a scholarship, and if your aim is to become a lecturer, it’s not a guaranteed path. Which graduate program you take, as well as your college of choice, matters a lot.
Even then, after you graduated, you still need to gain access to employment as a lecturer. There are a lot of lecturer job postings, yes. However, a lot of them are temporary/contract positions. This means that you might be offered an academic position but there’s no guarantee for how long you can keep working in that role. The only real career path to become an academic/dosen is through the civil service examinations a.k.a seleksi CPNS. In English-speaking countries, passing the civil service exam is roughly equal to getting tenure, which means permanent employment. Even in those English-speaking countries, say the United States, the number of tenured college professors has been dropping and there are fewer and fewer positions available for new scholars.
All I can say is that whether you realize it or not, Indonesia is also going in that direction. Heck, the American tenure problem has been an issue since early 2000s, so I don’t think there’s any reason to be optimistic here. The bottom line is this: becoming a lecturer and staying in academia nowadays has become very, very difficult to the point that I argue it’s basically like winning a lottery.
Being a librarian is one of those alternatives. There are also a host of other roles, both in academic institutions and in private ones. But the one role that presented its own opportunity in front me was librarianship (i.e. it was one of the best positions that was available at the time I took civil service examinations). That’s why I made the jump and haven’t looked back ever since.
There’s Just Something about Libraries
After graduating back in 2017, I attended a seminar about entrepreneurship, i.e. how to start your own business. One of the speakers was a graduate of Library and Information Science program at my university, and he was introduced as one during the start of the talk. That person spoke about their food business and how they started it. This is basic stuff that anyone would hear at an entrepreneurship seminar.
The interesting thing happened during Q&A session, when someone in the audience brought up that person’s credentials. “I’m a student in Library and Information Science, and you mentioned that you graduated from the same program. Why didn’t you pursue an occupation in Library and Information Science?” the questioner said. The library-science-graduate-turned-business-owner answered it roughly like this: “I don’t think my college education means anything. What do you think? What’s the use of Library and Information Science outside of college? I think it’s useless. I have learned more things when I am out of college than when I was in there.” At that moment, something ticked in me.
“Is it? Is Library and Information Science useless?” I wondered. At that moment, I had a strong hunch that this person’s answer would be relevant some time in the future. This was even before I considered being a librarian myself. Roughly a year later I passed the civil service exam, currently trying to familiarize myself to a discipline and profession that is said to be useless. Whether that person is right or not, we might see in the coming months and years. 😅
Maybe the reason I still remember that moment was because I do believe in the importance of libraries, including studying about and for these institutions. I don’t know why, but libraries always attracted me since I was very young.
In my native town of Malang (the city, not the regency), there was a big public library I used to go to. I didn’t go there that often, but the several times I went there have left its mark in my memory. It was a pleasant place to be in. Thank god for the librarians there! When I moved to Surabaya, I was also enthusiastic about libraries at both my Junior High (which didn’t have a lot of collections) and Senior High Schools (which have lots of good books). During my college years as an undergraduate, my favorite place was again the library. I couldn’t point out at any particular reason why it’s so memorable. Probably, I just like to reads books so much, and libraries are the places where I can find many of those books.
Of course, loving books is not enough of a reason to justify being a librarian. In fact, one Youtuber even pointed out that if you want to become a librarian just because you like books, you’re going to regret it. Why? It’s because libraries are not about the books. It’s about the people that you serve. I sort of get this idea when I signed up to become a librarian, but I really didn’t have a complete picture about how much you need to dedicate yourself to serving other people until I go to the actual workplace and do my job.
For me, being a librarian has been a roller-coaster experience so far. I found many things that I have to keep up with and learn as I go, like customer service, verbal communication, project management, and many others. I know that a librarian wears many hats, but I didn’t expect for there to be this many hats. 😂
That being said, I also don’t regret this decision to become a librarian so far. Aside of the many, many things I have to do that have nothing to do with books, I get a lot of time to access books and collections that I just couldn’t had I not been a librarian (especially in my current institution). Interacting with people who are enthusiastic about knowledge also motivates me. There are still many more things to do and say about this, too. I hope I can share those with you when I can.
I’m going to end this rant by presenting a passage that I strongly identify with:
People become librarians because they know too much. Their knowledge extends beyond mere categories. They cannot be confined to disciplines. Librarians are all-knowing and all-seeing. They bring order to chaos. They bring wisdom and culture to the masses. They preserve every aspect of human knowledge. Librarians rule. And they will kick the crap out of anyone who says otherwise.
Akankah ia jadi kering Layaknya biji anggur yang dijemur? Atau jadi nanah dalam luka yang menjalar ke mana-mana? Apakah baunya menusuk seperti daging busuk? Atau jadi gumpalan dan getah dalam manisan yang sudah basi?
Mungkin ia hanya akan jadi beban yang melemahkan badan.
Atau, jangan-jangan, ia bakal meledak?
(terjemahan bebas puisi Harlem karya Langston Hughes, dibuat sendiri)
Sudah hampir setahun ini impian semua orang jadi bulan-bulanan. Ada yang berencana liburan, ternyata malah tidak bisa keluar rumah. Ada pula yang ingin beli rumah, tapi tiba-tiba kehilangan pekerjaan. Aku sendiri punya target-target buat tahun 2020 ini, tapi kebanyakan sudah kepalang batal karena wabah Covid-19 yang mengacaukan rencana orang sedunia ini. Ini baru satu tahun saja, belum lagi tahun-tahun yang akan datang. Padahal, sudah ada rencana untuk jangka yang lebih panjang lagi. Maka, timbul pertanyaan ini: “Apakah masih penting punya impian dan rencana hidup di tengah masa yang serba tidak pasti ini? Kalaupun iya, bagaimana cara bermimpi dan berencana yang benar-benar bisa aku capai?”
Sebetulnya, dari sebelum ini pun aku sudah kurang percaya dengan konsep-konsep seperti “rencana hidup” atau “resolusi tahunan,” karena sudah terbukti buat diri sendiri kalau hal-hal yang begitu jarang terwujud secara sempurna. Waktu aku masih kuliah, pernah ada suatu sesi ala-ala ESQ tentang pengelolaan hidup dan perencanaan masa depan. Di pelatihan tersebut, semua mahasiswa baru disuruh menuliskan impian mereka segamblang-gamblangnya di atas sebuah lembar kerja. Yang ditulis bukan hanya cita-citanya saja, tapi juga langkah-langkah yang dilakukan selama 5, 10, bahkan 30 tahun ke depan. Di ujung lembar kerja tersebut, aku menulis bahwa aku akan jadi “profesor bidang psikolinguistik.” Jika dilihat 7 tahun setelah aku menuliskan hal tersebut, “profesor bidang psikolinguistik” sudah bukan lagi jadi hal yang aku inginkan dan bukan pula jalur karir yang aku tempuh sekarang. Aku yakin, di antara sekitar 5000 mahasiswa yang waktu itu mengisi lembar kerja yang sama, hanya segelintir saja yang masih menjalankan apa yang mereka tulis di sana. Sisanya, kalau bukan prioritasnya yang berubah ya berarti situasi hidupnya yang sudah berganti, sehingga rencana yang ditulis pun tidak relevan lagi.
Memang merencanakan hidup itu hal yang sulit sekali, tapi banyak orang yang menganggap seolah-olah ini hal yang mudah dilakukan. Mengapa? Pertama, orang tidak tahu apa yang mereka mau, tapi merasa bahwa mereka tahu. Misalnya, orang yang tidak pernah main musik mungkin akan merasa mereka akan jadi musisi yang hebat seandainya mereka diberi kesempatan melakukan hal tersebut. Tapi, kalaupun diberi kesempatan, mereka akan sadar bahwa menjadi musisi yang betul-betul stand out dan dikenal orang banyak itu kansnya sangat-sangat kecil. Lalu, alasan kedua: masa depan itu tidak bisa diramalkan dengan cara apapun, tapi orang merasa bahwa mereka bisa tahu kejadian yang akan datang. Misalnya, beberapa tahun lalu banyak orang masuk jurusan pertambangan karena berpikiran bahwa bekerja di bidang oil and gas akan mendatangkan banyak keuntungan sebab harga komoditasnya sangat tinggi. Namun, satu-dua tahun belakangan kita melihat bahwa harga minyak jatuh habis-habisan, bahkan sempat menyentuh harga minus. Otomatis, posisi-posisi di perusahaan-perusahaan komoditas perminyakan ini berkurang dan prospeknya pun jadi tidak secerah yang dikira orang dulu.
Kalau ternyata membuat rencana hidup sesusah dan setidak efektif itu, masih bergunakah kalau kita punya rencana dan impian? Menurutku, masih! Memang kita tidak bisa merencanakan setiap hal yang akan terjadi dalam hidup. Namun, kita perlu belajar bermimpi dan berencana secara wajar, tidak berlebih-lebihan. Berikut 3 cara yang menurutku perlu untuk dicoba memasuki tahun 2021 besok:
1. Ganti “resolusi tahunan” jadi “tema tahunan”
Banyak resolusi tahunan yang berakhir gagal. Aku sendiri tidak pernah berhasil menerapkan resolusi tahunan yang aku buat sendiri, sedetil dan sematang apapun perencanaannya. Ternyata, ada satu trik sederhana dari Youtuber CGPGrey di video berikut:
Karena menetapkan target itu sulit dan susah diikuti secara konsisten, cara yang lebih mudah adalah menetapkan tema tahunan. Tema ini bisa seperti “tahun membaca”, “tahun kesehatan”, atau “tahun belajar.” Jadi, kita masih bisa menetapkan arah yang kita mau tanpa harus terkekang dengan resolusi yang bisa jadi bagus di perencanaannya tapi susah diselesaikan kalau ada situasi yang tidak diperkirakan dari awal (misalnya, Covid-19). Selain itu, sistem “tema tahunan” juga bisa lebih efektif karena kita bisa menjalankannya dalam kegiatan-kegiatan yang sifatnya kecil dan spontan. Misalnya, ketika mau pulang kantor tapi ternyata terjebak hujan badai, kita bisa melakukan kegiatan sesuai tema yang kita “pasang” di awal tahun. Kalau tema tahunannya adalah “tahun membaca”, mungkin waktu menunggu itu bisa diisi dengan membuka buku alih-alih media sosial. Kalau tema tahunannya adalah “tahun kesehatan”, bisa jadi waktu kosong itu dipakai untuk olahraga ringan seperti pemanasan atau meregangkan badan.
Dengan memasang tema sebagai pengganti target, kita jadi punya motivasi untuk melakukan perubahan pada diri sendiri, namun tidak perlu merasa terbebani dengan target yang sifatnya terlalu sempit dan mungkin tidak bisa diubah kalau keadaan tidak memungkinkan.
2. Ganti target menjadi kebiasaan
Seperti yang sudah banyak dibahas sebelumnya, target itu bisa jadi susah sekali untuk dicapai baik karena orangnya sendiri yang tidak sempurna dalam merencanakan atau semata-mata karena situasi di luar sana yang bisa mengacaukan target yang sudah dibuat. Oleh karena itu, ada cara lain yang lebih ramah terhadap ketidakpastian yaitu membuat sistem atau kebiasaan alias habit yang bisa kita terapkan pada diri sendiri secara konsisten.
Sebagai contoh, target “aku harus baca 30 buku di tahun 2021” bisa diganti dengan mencoba “membaca buku 30 menit sebelum tidur.” Tentu, mengubah kebiasaan atau membuat kebiasaan baru sama sekali tidak gampang. Bisa jadi di satu hari, kita bisa membaca buku berjam-jam, sementara di waktu yang lain kita bisa tidak punya waktu sama sekali. Tapi, tidak ada kata terlambat untuk membangun dan mencoba melakukan kebiasaan baru. Walaupun ada kalanya kita gagal, tapi selalu akan ada kesempatan untuk mencoba kembali membuat kebiasaan baru itu. Lain halnya dengan target. Semakin lama kita tidak mencapai target, semakin turun juga motivasi buat mencapainya. Misalkan, jika kita pasang target membaca 30 buku di tahun 2021 dan pada bulan Juni baru tercapai 5 buku, maka bakal kelihatan sangat berat buat “menebus” sisa 25 buku lagi di paruh akhir tahun itu.
Ada bacaan yang bagus di blog Farnam Street tentang perbandingan target/goals dengan kebiasaan/habits dan mengapa kita harus beralih pada membuat kebiasaan.
3. Ganti passion menjadi skill
Membahas soal passion ini butuh waktu yang amat panjang. Alasan utamanya karena kita tidak pernah benar-benar sepakat soal apa itu passion. Namun, untuk menyingkat waktu, kita anggap saja passion itu suatu pekerjaan atau kegiatan yang sesuai dengan “bakat terpendam” yang dimiliki orang, dan pekerjaan atau kegiatan inilah yang akan membawa kepuasan dalam hidup.
Di luaran, kita sering mendengar kalimat motivasi dan nasihat follow your passion, follow your dream, dan sebagainya yang intinya menyuruh kita untuk mengejar satu tujuan yang membuat hati menggebu-gebu. Ini kelihatannya resep yang masuk akal. Namun, ada masalah besar soal nasihat ini. Pertama, passion tidak selalu menjadi sumber kepuasan dalam hidup. Banyak orang mengorbankan sedemikian banyak aspek kehidupan yang lainnya semata-mata untuk mengejar passion. Kedua, passion bukanlah satu-satunya tujuan hidup melainkan hanya salah satu perasaan yang bisa datang dan pergi. Renungan soal ini digambarkan dengan sangat baik dalam film Disney Pixar di ujung 2020 ini yang berjudul Soul.
Alih-alih passion, kita bisa menjadikan skill atau keahlian sebagai tolok ukur keberhasilan dalam hidup kita. Tidak peduli apakah kita jadi penari, pelukis, pembalap motor, pemilik warung, dosen, guru, tentara, dokter, apoteker, tukang sepatu, atau lainnya, akan muncul suatu perasaan puas apabila kita merasa memiliki keahlian atas hal yang kita kerjakan, yang pada akhirnya menjadikan kita merasa punya kendali atas hidup. Yang jadi kunci adalah bahwa sebetulnya skill apapun yang kita punya tidak menjadi soal selama kita dapat menghasilkan sesuatu yang bermakna menggunakan kemampuan yang kita kuasai (baik bermakna dalam bentuk uang, pengakuan orang lain, maupun kepuasan diri sendiri).
Selain itu, dengan penguasaan skill orang dapat belajar untuk mencintai apa yang mereka kerjakan. Salah satu contohnya, mungkin ada orang yang awalnya tidak cocok menjadi programmer komputer karena tidak pernah familiar dengan aktivitas seperti berfikir algoritmis atau mengerjakan coding. Akan tetapi, jika orang ini banyak belajar maka lambat-laun programming skills-nya akan membaik sehingga ia tidak lagi merasa terlalu terbebani dengan pekerjaannya. Malah, jika ia dapat merasa puas dengan hasil kerjanya, bisa jadi akan timbul passion atas apa yang dia lakukan. Kalau kata orang Jawa, witing tresno jalaran soko kulino, yang artinya cinta datang karena sudah terbiasa.
Tentu, tidak semua skill itu dapat membarikan rasa bermakna dan tidak semua orang punya kesempatan yang sama untuk mengembangkan skill sebaik-baiknya. Namun, setidaknya skill adalah patokan yang lebih dapat diandalkan untuk mengukur pencapaian diri sendiri karena ia lebih mudah diukur dan lebih konstan sifatnya daripada passion yang bisa jadi berubah seiring waktu atau seiring kita menghabiskan waktu untuk mengejarnya.
Ada presentasi yang sangat bagus dari Scott Adams, pengarang komik Dilbert tentang kenapa kita jangan sampai terjebak pada kata passion dan mengapa membangun sistem buat diri sendiri lebih baik ketimbang menyusun serangkaian target. Berikut tayangannya:
Di tahun 2021 yang sebentar lagi datang, bermimpi dan berencana untuk hidup itu sah-sah saja, bahkan harus! Namun, kita perlu perhatikan hal-hal yang kita patok untuk diri sendiri agar kita tetap dapat merasa termotivasi dan tidak terkungkung oleh tali-temali yang kita pasang sendiri. Pada dasarnya, impian dan rencana hanyalah alat berpikir yang kita pakai untuk memacu diri menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Bisa jadi ada halangan dan tantangan yang sebelumnya tak terkirakan. Namun, dengan impian dan rencana yang diatur sewajarnya seperti cara-cara yang dibahas di atas, semangat untuk maju ke arah yang baik bisa kita pelihara. Cuplikan puisi ini mungkin bisa menggambarkan seperti apa mimpi dan rencana yang wajar itu:
Jika kamu bisa menjaga akalmu, saat semua orang kehilangan akal dan menyalahkanmu, Jika kamu bisa percaya pada dirimu sendiri di saat semua orang meragukanmu, namun tetap menerima keraguan mereka, Jika kamu dapat bermimpi tanpa membuatnya jadi raja, Jika kamu mampu menghadapi kemenangan maupun bencana, lalu memperlakukan keduanya sama rata,
Maka untukmulah dunia dan semua yang ada di dalamnya Dan lebih lagi, kamu akan menjadi seorang manusia
(Terjemahan bebas puisi If karya Rudyard Kipling, ditulis sendiri)
Selamat jalan, 2020! Selamat datang, 2021! Happy New Year!
Indonesia punya topik baru, yaitu seorang mahasiswa yang bernama Reynhard Sinaga. Baru-baru ini tersiar kabar bahwa yang bersangkutan telah dijatuhi hukuman seumur hidup atas kelakuan bejatnya memperkosa ratusan pria di Manchester, kota tempatnya tinggal dalam rangka berkuliah. Yang menjadikan orang ini sangat santer dibicarakan bukan hanya karena dia dianggap sebagai pelaku perkosaan berantai terburuk sepanjang sejarah Kerajaan Serikat (United Kingdom). Tampaknya yang membuat orang Indonesia sangat bersemangat memperbincangkan Sinaga adalah bahwa dia adalah seorang pemerkosa yang juga seorang gay.
Perilaku gay, homoseksual, dan LGBT pada umumnya dianggap sebagai suatu penyakit. Jika ada orang terpergok suka sesama jenisnya, langsunglah ia dicap sebagai manusia berpenyakit jiwa dan dianggap seolah dia bukan bagian dari masyarakat yang menjunjung Ketuhanan Yang Maha Esa. Adanya Reynhard Sinaga ini pastinya menjadi bahan bakar untuk menyemarakkan prasangka di masyarakat yang semacam tadi. Di mata orang Indonesia, Reynhard menjadi representasi LGBT itu sendiri: terlihat tanpa dosa tapi berkelakuan bejat dan bersikap seperti psikopat yang tak menyesali perbuatannya sedikit pun.
Saking semaraknya orang memperbincangkan Reynhard Sinaga, mereka barangkali lupa atau tak sadar bahwa ia bukanlah satu-satunya gambaran orang LGBT di Indonesia. Kalau kita mau berhenti mendengarkan syak wasangka yang sehari-hari kita anut dan mulai membaca sekitar secara jujur, kita akan banyak menemuman orang-orang lain yang suka sesama jenis tanpa sedikitpun kebejatan dalam hati, namun justru keinginan untuk menemukan kebaikan dan kebenaran sejati. Salah satu contoh yang harus kita lihat adalah Soetjipto.
Soetjipto sudah lama tiada. Kita tidak tahu kapan dan di mana ia meninggal, tapi kita tahu bahwa Soetjipto dilahirkan tahun 1915 di Balongbendo, Waru, Sidoarjo. Hal ini dituliskan Soetjipto dalam naskah memoarnya yang berjudul Djalan Sampoerna, yang ia selesaikan tahun 1928. Sampai hari ini, naskah ini masih bisa dibaca di Perpustakaan Nasional, dengan tajuk entri katalog Jalan Sempurna Hidupku. Naskah setebal 200 halaman ini ditulis menggunakan mesin tik, dengan ilustrasi di beberapa halaman.
Di masa kolonial Belanda, belum ada yang namanya gerakan LGBT. Penjajah waktu itu pun punya sikap yang keras terhadap orang-orang yang diketahui suka dengan sesama jenis. Namun, pada saat itu Soetjipto secara terang-terangan berkisah tentang cinta pertamanya pada umur 13 tahun dengan seorang “kanda” yang umurnya terpaut dua tahun dengan dia.
Soetjipto bertutur mengenai awal mula pertemuannya dengan sang kekasih di jalan menuju ke H.I.S. Situbondo tempatnya bersekolah. Setelah sempat kehilangan jejak selama beberapa hari, ia kembali bertemu dengan sang “kakak” pada perayaan bertahtanya Sri Ratu Wilhelmina. Hatinya diliputi kesenangan dan kasih saat mereka bercinta, di samping keragu-raguan tentang bagaimana bisa seorang laki-laki jatuh hati pada laki-laki lain. Mereka kerap bertemu di sela-sela jam istirahat sekolah dan menikmati hari-hari berdua sebagai sepasang kekasih. Sekira 7 bulan kemudian, di atas bukit yang mengintai tempat para santri bertirakat, sang kakak menuturkan bahwa mereka harus berpisah lantaran ia harus meneruskan sekolahnya ke Malang. Hati Soetjipto pun hancur. Patah hati yang dialaminya itu ia tuangkan dalam paragraf berikut:
TJINTA-ah berat benar Orang mengan [sic] t j i n t a itoe. Demikijanlah rasanja orang mengandoeng t j i n t a itoe, koerasa bertambah tambah terbajang, koeloepaken boekannja mendjadi loepa, tetapi semangkin inget rasanja. Tetapi kalau koe pikir jang betoel, tida baiklah keadaan ini. Perkara Rama Tiri taro hati bentji padakoe, itoe tida apa; karena itoe telah Nasipkoe. Biarlah koekoewat-koewatken atikoe di dalem taoen ini, karena doeloe saja perloe memoetoesken olehkoe beladjar sekolah. Tetapi kalau demikijan sela anja, tentoe tida baik adanja, ka rena [sic] jang selaar lamanja hanja bertemoe dengan moeka asa sadja. Tetapi sadja saja h e r a n! Ah, mengapa maka lakisama laki sadja bisa djatoeh tjinta jang demikijan ini? ………………….. O, ja; djadi kelau begitoe t j i n t a itoe ada terletak di segala roepa keadaan. Biarpoen pada a n a k, b i n i, t e m a n, dan segala roepa keadaan, semoanja ada terletak tjinta; tetapi jang membikin tjinta, jalah b a d a n s e n d i r i. Djadi sekarang soeda trang bahwa tjinta itoe ada soewatoe keadaan jang tijada bergoena. Ada banjak dari pepatah Orang Belanda, menoendjoeken tijada dari keadaan tjinta itoe, jang dengan di djadiken pepatah kata, demikijan:
Liefde is vondervel! Liefde is verschrikelijk! Liefde is zacht! Liefde is brutaal! Liefde is wreed! Liefde is heeld! Liefde is v u u r! Liefde is i j s!
Ada banjak lagi jang menoendjoeken matjem-matjem kata-kata, dari keadaan t j i n ta (Liefde) itoe. Jalah tjinta itoe bisa menjdadi-djerat leher siapa jang di lekati. Kebanjakan orang harta bendanja abis kaena [sic] dari…………, demikijan poela jang sampai ada jang keloewar tali peroetnja, karena dari……….., apa lagi jang bertaoen-taoen di dalem pendjara. Djadi trang bahwa itoe semoewa hanja karena di lekati t j i n t a sianat itoe sadja. Ada banjak lagi dari djalan kesoesaan, kebingoengan, kenespaan, jang djalannja hanja dari tjinata [sic] itoe sadja. Daji terang sekali bahwa keadaan tjinta itoe ada soewatoe keadaan jang tijada berfaedah. Tetapi sekarang boewat dirikoe, perkara t j i n t a itoe telah tijada terletak padakoe. Jalah karena saja ada o b a t jang boewat………. mempoewasken Napsoekoe. Meskipoen saja tida kawin, djoega tida apa-apa; seperti t e m a n koe atau Dokter jang di kediri itoe. Oo, jaaaa; masi ada banjak lagi djalan bagai kesoesaan; tetapi oempama ranting pohon, ialah jang sebesar-besarnja. Nau, perkara itoe.’ Sekarang soeda abis perkara; karena soeda rasa selesai di dalem h a t o k o e [sic].
Djalan Sampoerna hlm. 62-63
Apa sebetulnya yang bisa kita ambil dari sini? Bagiku, ini adalah suatu tanda bahwa meskipun berbeda orientasi seksual, orang yang suka dengan sesama jenisnya pun merasakan cinta yang sama tulusnya dan sama murninya sebagaimana mereka yang berkasih-kasihan dengan lawan jenis. Soetjipto membuktikan lewat memoarnya bahwa dirinya adalah sebenar-benar manusia, bahkan meskipun ia sadar bahwa perilakunya tidak umum dijalani orang.
Yang juga penting dalam naskah ini adalah bahwa kaum LGBT di Indonesia tidak menjadi seperti mereka saat ini hanya gara-gara pengaruh ide dari “Barat.” Bahkan sebelum terma LGBT itu sendiri lahir, telah hidup orang-orang yang berperilaku non-heteroseksual. Kita boleh saja berdebat apakah perilaku LGBT itu pantas dianggap normal atau tidak. Tapi kisah semacam ini adalah bukti sejarah yang sulit ditolak bahwa perilaku LGBT sudah ada jauh sebelum kita ramai-ramai mempermasalahkannya seperti sekarang ini.
Naskah Djalan Sampoerna sendiri tidak berhenti di soal cinta sesama jenis Soetjipto saja. Justru ia lebih banyak bertutur mengenai perjalanan batin yang dilalui Soetjipto menuju jiwa yang murni. Sayangnya, mendiang Benedict Anderson yang mempopulerkan naskah ini lewat terjemahannya hanya menyampaikan kembali 90 halaman pertama saja. Setelah ditinggal oleh sang kekasih, Soetjipto menghadapi konflik dengan ayah tirinya, sampai-sampai ia harus kabur dari rumahnya dan luntang-lantung mencari sanak familinya di Surabaya, Waru, Kudus, dan Kediri. Aku pun belum lagi sempat membaca sisanya, yang sama sekali belum bisa diakses selain lewat naskah asli dan rekaman mikrofilmnya.
Membaca karya Soetjipto ini menjadi penting di tengah-tengah masyarakat yang semakin antipati terhadap kaum LGBT gara-gara tingkah Sinaga yang dengan keterlaluan mengklaim bisa memberi ramuan untuk membuat orang jatuh cinta (yang ternyata diketahui adalah obat tidur untuk membuat korban-korbannya tidak berdaya saat diperkosa). Kita harus ingat bahwa bejatnya Reynhard itu bukanlah karena ia seorang gay. Di samping 1 orang gay yang menempuh jalan kebusukan seperti Sinaga, barangkali ada sejuta orang gay yang berjuang menuju jalan kesempurnaan sebagaimana halnya Soetjipto mengalaminya, hampir seratus tahun silam.