Skip to content

Tag: puisi

Puisi tentang Informasi (dan Sekilas Piramida DIKW)

Sang Elang terbang di pucuk Langit,
Sang Pemburu dengan anjingnya mengejar arah terbangnya.
Wahai bintang-bintang yang beredar tak henti,
Wahai musim-musim yang selalu silih berganti,
Wahai dunianya musim semi dan gugur, yang lahir dan yang mati!
Tiada hentinya putaran gagasan dan tindakan,
Penemuan tiada akhir, percobaan tiada akhir,
Membawa pengetahuan akan gerakan, namun tidak ketenangan;
Pengetahuan akan bicara, namun tidak dengan diam;
Pengetahuan akan kata-kata, dan kebodohan akan Kata.
Semua pengetahuan mendekatkan kita pada kedunguan,
Semua kedunguan mendekatkan kita pada kematian,
Tapi dekat dengan mati tanpa dekat dengan Tuhan.
Di mana Hidup kita yang tenggelam dalam bertahan hidup?
Di mana kebijaksanaan kita yang tenggelam dalam pengetahuan?
Di mana pengetahuan kita yang tenggelam dalam informasi?

Berputar-putarnya langit selama dua puluh abad
Menjauhkan kita dari Tuhan dan membawa kita jadi Debu.

Dikutip dari “Choruses from The Rock” karya T.S. Eliot, terjemahan sendiri

Yang spesial dari petikan korus drama The Rock di atas bukan sang penulis T.S. Eliot yang tidak asing dibahas di program studi Bahasa dan Sastra Inggris, bukan pula kualitas untaian katanya secara sastra, meskipun kedua hal ini juga sudah membuat petikan ini di atas rata-rata karya puisi lain. Pada dua bait yang aku tebalkan di atas, ada beberapa konsep yang digambarkan berkaitan satu sama lain. Kebijaksanaan dikatakan tenggelam dalam pengetahuan, dan pengetahuan itu sendiri digambarkan tenggelam dalam informasi. Artinya, menurut Eliot, informasi (information) itu bisa disaring menjadi pengetahuan (knowledge), dan pengetahuan bisa disaring lagi menjadi kebijaksanaan (wisdom). Inilah yang dikutip sebagai asal mula dari istilah Piramida DIKW.

Bagan Piramida DIKW (data, information, knowledge, wisdom). Sumber: Soloviev (2016) dalam Baldassare (2016).

Piramida DIKW (DIKW Pyramid) terdiri dari empat hal yang tersusun bak piramida.

Yang pertama adalah data. Data dapat kita artikan sebagai sinyal, simbol, atau fakta yang ada dalam dunia. Contohnya, ketika kita lihat warna merah, merah itu bisa dilihat sebagai data.

Selanjutnya ada konsep informasi (information), yang bisa kita jabarkan sebagai “data yang berguna.” Bagaimana cara kita bisa membuat data jadi berguna? Caranya adalah dengan memberikan dan menjawab pertanyaan atas data tersebut. Ketika tadi kita melihat warna merah, kita bisa menanyakan, “Ada di mana warna merah itu?” Misalkan saja kita lihat warna tadi di lampu lalu lintas di perempatan jalan. “Kapan warna merah itu terlihat?” Andaikan kita melihatnya pada saat kita membawa kendaraan waktu pergi ke kantor. Dari sini, data berupa warna merah itu sudah bisa kita simpulkan menjadi informasi tentang isyarat lampu lalu lintas yang ditujukan kepada orang yang sedang berkendara.

Berikutnya, informasi diolah lagi menjadi suatu pengetahuan (knowledge). Definisi pengetahuan lebih sulit dijelaskan, tapi secara singkat kita bisa menganggap pengetahuan itu sebagai berbagai kepingan informasi yang terpadu menjadi suatu susunan yang bisa dimengerti. Dari contoh tentang lampu merah tadi, setelah kita mengumpulkan banyak informasi, tidak saja mengenai lampu merah dan situasi kita di tempat tersebut, tapi juga informasi lain mengenai tata cara berlalu lintas dan tata cara berkendara yang kita pelajari waktu ujian SIM, kita jadi tahu bahwa pada saat kita melihat warna merah di lampu lalu lintas, kita diwajibkan untuk berhenti.

Terakhir, di puncak piramida, ada konsep kebijaksanaan (wisdom). Ini lebih sulit lagi diartikan ketimbang pengetahuan, tapi pendeknya dapat kita katakan bahwa kebijaksanaan itu ialah kemampuan atau keadaan seseorang untuk memilih dan melakukan hal yang benar (what is right) dan hal yang terbaik (what is best) berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang mereka punya. Masih dengan contoh lampu merah, jika kita orang yang bijaksana, maka kita akan bijak memilih untuk menghentikan kendaraan saat melihat warna merah di lampu lalu lintas perempatan. Banyak orang yang tahu arti warna merah di lampu lalu lintas dan apa yang harusnya mereka lakukan, tapi mereka tidak cukup bijak sehingga memilih untuk langsung menerabas. Mereka kurang mempertimbangkan beberapa pengetahuan yang lain yang harusnya atau bahkan sudah mereka punya, semisal tentang kemungkinan terjadinya kecelakaan dan efek dari kecelakaan tersebut atas keselamatan badan mereka.

Gambaran lain tentang DIKW dalam bentuk proses, dengan tambahan konsep pemahaman/understanding dan juga pengetahuan yang sifatnya tersurat (e = explicit) dan tersirat (t = tacit). Sumber: Wikimedia Commons.

Puisi T.S. Eliot tadi memasukkan informasi, pengetahuan, dan kebijaksanaan, tapi tidak dengan data. Ini bisa kita mengerti karena konsep yang kita kenal sekarang soal data (seperti misalnya dalam istilah data di komputer, data penelitian, atau jargon data science dan big data) itu baru populer setelah drama yang memuat bait puisi ini terbit pada tahun 1934. Lebih tepatnya lagi, konsep data baru umum digunakan setelah ditemukannya komputer modern dari konsep Mesin Turing (Turing Machine) yang digagas ilmuwan Alan Turing sekitar tahun 1936.

Piramida DIKW buatku sangat membantu sebagai alat berpikir (mental model), walau tentu banyak yang akan tidak sepakat dengan pengertian-pengertian di atas. Menurutku, Piramida DIKW ini skema yang lebih sederhana ketimbang model-model mengenai pengetahuan yang lain, seperti Taksonomi Bloom. DIKW ini juga punya posisi yang spesial buatku karena aku sendiri juga bekerja di bidang yang terkait dengan informasi (khususnya ilmu perpustakaan dan informasi), banyak yang terpikir bahkan dari membaca petikan puisi TS Eliot di atas saja. Mudah-mudahan ada kesempatan untuk menggali konsep ini lebih jauh lagi. 😀

Leave a Comment

Review: Tidak Ada New York Hari Ini

Tidak Ada New York Hari Ini
Tidak Ada New York Hari Ini by M. Aan Mansyur

My rating: 2 of 5 stars

Catatan (agak) penting: saya belum pernah nonton AADC, bahkan filmnya yang pertama sekalipun.

Puisi cinta memang mudah memancing perasaan, sebab semua orang pasti mengalaminya. Karena itu pulalah ia cepat jadi membosankan. Walau ada satu dua rangkai kata yang cukup saya ingat (misal “Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang” yang sangat sering dikutip itu), tapi sisa-sisanya walaupun sentimental tapi cenderung membosankan. Entahlah, saya tidak begitu suka puisi-puisi cinta Aan Mansyur walau saya tak memungkiri kecakapannya dalam merangkai kata. Saya sempat membaca terjemahan beliau atas Puisi XX karya Pablo Neruda yang elok dan saya pakai sebagai acuan membuat terjemahan saya sendiri.

Mungkin gaya berpuisi seperti kumpulan ini memang sudah sangat formulaik, contohnya pada puisi Kahlil Gibran dan Pablo Neruda yang mengkiaskan cinta dengan peristiwa-peristiwa alam seperti siang dan malam atau panas dan dingin. Sama dengan bukunya Boy Candra yang dari judulnya (“Senja, Hujan, dan Cerita yang Telah Usai”) saja sudah tampak pasaran dan mencomot gaya berjudulnya Goenawan Mohammad (“Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai”). Oke, ini ngelantur.

Oh ya, saya kurang suka pula ketika buku kumpulan puisi dicampurkan dengan buku kumpulan foto. Kesannya seperti membatasi ruang imajinasi pembaca dengan menampilkan gambaran peristiwa yang ingin disampaikan sekalian. Barangkali ini karena keharusan dari filmnya, ya. Naasnya saya tidak paham karena belum (dan tidak berminat) menonton film yang memuat kumpulan ini.

Dari sampul depan sampai sampul belakang buku ini, saya tidak menemukan puisi yang betul-betul orisinal. Elok, iya. Mengena, iya. Tapi, saya tidak merasakan rasa-rasa sastra di kumpulan ini. Tidak masalah menikmati buku ini, sayang ia bakal dingin di kenangnya.

View all my reviews

Leave a Comment

Kepada Para Wanita, Sepanjang yang Kutahu

Ini adalah terjemahan saya atas puisi David Herbert Lawrence yang berjudul To Women, As Far as I’m Concerned. Dari judulnya saja sudah kelihatan bagaimana sikap beliau pada perempuan. Ini juga terlepas dari dugaan bahwa D.H. Lawrence punya kecenderungan homoseksual. Pengarang ini semasa hidupnya dianggap tidak bermoral dan karya-karyanya dicap sampah. Hanya ketika ia meninggal di usia dinilah akhirnya berangsur-angsur reputasinya membaik dan sekarang menjadi salah satu pengarang Inggris yang masyhur. Setelah membaca puisi ini, saya dapati kekuatan D.H. Lawrence berbicara soal hal-hal yang halus tapi dengan gaya yang tegas dan no-nonsense. Mungkin suatu saat saya akan baca novel-novel karyanya.

Tapi, lebih baik pembaca simpulkan sendiri. Silakan dinikmati, syukur-syukur mau sekalian mencermati terjemahan saya dan membandingkan dengan aslinya. Selamat membaca!

Sumber gambar dari sini.

Kepada Para Wanita, Sepanjang yang Kutahu
D.H. Lawrence (1885-1930)

Rasa yang aku tak punya
memang aku tak punya.
Rasa yang aku tak punya
takkan kubilang aku punya.
Rasa yang kau bilang kau punya
kau tak punya.
Rasa yang kau ingin kita punya
kita berdua tak punya.
Rasa yang harusnya orang punya
mereka tak pernah punya.
Kalau orang bilang mereka punya rasa,
yakinlah mereka juga tak punya.

Jadi, kalau aku atau kau ingin punya rasa,
Baiknya sekalian tak usah bicara soal rasa.

Leave a Comment

Sajak-sajak tanpa nama

Catatan dikit:
Ini hasil mengumpulkan catatan-catatan dari zaman jahiliah. Memang kalau dirasa-rasa sekarang jadi terlalu sentimental. Ditanya maksudnya apa, saya pun sudah agak lupa. Tapi, timbang saya, daripada jadi himpunan kata-kata mubazir mending dihibahkan saja untuk memelihara blog yang sudah hidup-segan-mati-tak-mau ini.

/1/

dalam hitam kelam
wajahmu semakin muram
barangkali tak kuasa menahan
guncang yang masih senyap
lalu pucat pasi
dan hilang disambut
rayuan malam

/2/

saat langit-langit terbujur kaku
dan lantai kasur tak menjawab padaku
pudarlah semua kata
walau belum terucap
nah, masihkah aku mengharap
rinduku akan menginap di sisimu?

/3/

makin lama terhimpit
kalau perlu hentakkan kaki
mencari arti dan apa lagi
tapi aneh: semua tenang saja
tiada hingar bingar
tidak perlu siapa-siapa

/4/

entah sehari, entah dua hari
mungkin berminggu-minggu lagi
semua harapmu tak kunjung kemari
lalu pupus dan sekalian pergi

/5/

meski rupamu yang ingin kurengkuh
hanya bayangmu yang mampu kudekap
kerlapan sinar matamu yang membias
ruang hati kecil di sisi kalbuku
walau kelak manis ini tak abadi
setidaknya telah kaukenalkan aku
pada laku-lampahnya dunia
dan kau ledakkan lidahku
yang biasa dengan tawarnya
keseharian

/6/

ka u sel alu me mint aku m enge ja s et iap
k ata mesk i k au tah u a ku bi sa
me ngiri ngim u t anp a
ta nd a bac a

/7/

kelak desir waktu yang bakal bertiup
membawa kapal ke negeri tak dikenal
kelak gemerlap bintang yang akan bersinar
menuntun hati melintas lautan
sedih dan menyesal, tak usahkan
cukuplah bekal doa dan kenangan
dan di bibir dermaga
biar kita bertemu kembali

Leave a Comment

Jika

Di blog ini pernah saya kutip password utama LDKMS V 2008. Usut punya usut, ternyata tulisan itu adalah terjemahan dari sebagian isi sajak If karya Rudyard Kipling. Di negara asal beliau, Inggris Raya, sajak ini dikatakan mewakili nilai-nilai keinggrisan. Seperti apa itu? Dalam sajak ini, Kipling menasehatkan agar segala hal yang terjadi dalam hidup kita ini jangan sampai mempengaruhi diri kita dalam bersikap. Jangan sampai keburukan-keburukan yang ada di sekitar kita membuat kita jadi buruk rupa. Yang lebih hebat lagi, jangan sampai pula hal-hal menyenangkan yang kita terima membuat kita akan terlena. Semua hal yang kita lakukan haruslah bermula dari diri sendiri dan jangan karena pengaruh orang. Itulah nilai yang dipercaya orang Inggris: Stoikisme.

Di bawah ini adalah terjemahan sajak tersebut dari saya sendiri, yang saya lakukan sembari mengingat-ingat terjemahan password LDKMS V 2008 dan melihat terjemahan ini dan ini.

Leave a Comment
In word we trust