Negeri Senja by Seno Gumira Ajidarma
My rating: 2 of 5 stars
Ide dasarnya eksotis dan asli, sayang tidak dibarengi dengan world-building yang kuat.
Leave a Comment
Negeri Senja by Seno Gumira Ajidarma
My rating: 2 of 5 stars
Ide dasarnya eksotis dan asli, sayang tidak dibarengi dengan world-building yang kuat.
Leave a CommentOrang lain itu tak logis, tak bisa diajak berpikir, dan mementingkan dirinya sendiri.Tetaplah mencintai mereka.Jika kamu berbuat baik, orang akan menuduhmu punya maksud tersembunyi.Tetaplah berbuat baik.Jika kamu beroleh keberhasilan, maka kamu akan mendapat kawan palsu dan musuh sejati.Tetaplah meraih keberhasilan.Kebaikan yang kamu lakukan hari ini akan dilupakan esok hari.Tetaplah berbuat baik.Berkata jujur dan berterus terang akan membuatmu rentan.Tetaplah jujur dan terus terang.Manusia berhati besar dengan pemikiran terbesar bisa dijatuhkan manusia berhati kecil dengan pemikiran terkecil.Tetaplah berpikir besar.Orang kasihan pada yang tertindas tapi hanya mau turut yang berkuasa di atas.Tetaplah membela yang tertindas.Yang kamu bangun selama bertahun-tahun bisa hancur dalam semalam.Tetaplah membangun.Orang lain sungguh perlu kamu tolong, tapi jika ditolong mereka bisa menikammu.Tetaplah menolong orang lain.Berikan yang terbaik bagi dunia dan mukamu akan diinjak-injak.Tetaplah memberi yang terbaik bagi dunia.
Ini adalah terjemahan saya atas puisi David Herbert Lawrence yang berjudul To Women, As Far as I’m Concerned. Dari judulnya saja sudah kelihatan bagaimana sikap beliau pada perempuan. Ini juga terlepas dari dugaan bahwa D.H. Lawrence punya kecenderungan homoseksual. Pengarang ini semasa hidupnya dianggap tidak bermoral dan karya-karyanya dicap sampah. Hanya ketika ia meninggal di usia dinilah akhirnya berangsur-angsur reputasinya membaik dan sekarang menjadi salah satu pengarang Inggris yang masyhur. Setelah membaca puisi ini, saya dapati kekuatan D.H. Lawrence berbicara soal hal-hal yang halus tapi dengan gaya yang tegas dan no-nonsense. Mungkin suatu saat saya akan baca novel-novel karyanya.
Tapi, lebih baik pembaca simpulkan sendiri. Silakan dinikmati, syukur-syukur mau sekalian mencermati terjemahan saya dan membandingkan dengan aslinya. Selamat membaca!
Sumber gambar dari sini.
Kepada Para Wanita, Sepanjang yang Kutahu
D.H. Lawrence (1885-1930)
Rasa yang aku tak punya
memang aku tak punya.
Rasa yang aku tak punya
takkan kubilang aku punya.
Rasa yang kau bilang kau punya
kau tak punya.
Rasa yang kau ingin kita punya
kita berdua tak punya.
Rasa yang harusnya orang punya
mereka tak pernah punya.
Kalau orang bilang mereka punya rasa,
yakinlah mereka juga tak punya.
Jadi, kalau aku atau kau ingin punya rasa,
Baiknya sekalian tak usah bicara soal rasa.
Catatan dikit:
Ini hasil mengumpulkan catatan-catatan dari zaman jahiliah. Memang kalau dirasa-rasa sekarang jadi terlalu sentimental. Ditanya maksudnya apa, saya pun sudah agak lupa. Tapi, timbang saya, daripada jadi himpunan kata-kata mubazir mending dihibahkan saja untuk memelihara blog yang sudah hidup-segan-mati-tak-mau ini.
/1/
dalam hitam kelam
wajahmu semakin muram
barangkali tak kuasa menahan
guncang yang masih senyap
lalu pucat pasi
dan hilang disambut
rayuan malam
/2/
saat langit-langit terbujur kaku
dan lantai kasur tak menjawab padaku
pudarlah semua kata
walau belum terucap
nah, masihkah aku mengharap
rinduku akan menginap di sisimu?
/3/
makin lama terhimpit
kalau perlu hentakkan kaki
mencari arti dan apa lagi
tapi aneh: semua tenang saja
tiada hingar bingar
tidak perlu siapa-siapa
/4/
entah sehari, entah dua hari
mungkin berminggu-minggu lagi
semua harapmu tak kunjung kemari
lalu pupus dan sekalian pergi
/5/
meski rupamu yang ingin kurengkuh
hanya bayangmu yang mampu kudekap
kerlapan sinar matamu yang membias
ruang hati kecil di sisi kalbuku
walau kelak manis ini tak abadi
setidaknya telah kaukenalkan aku
pada laku-lampahnya dunia
dan kau ledakkan lidahku
yang biasa dengan tawarnya
keseharian
/6/
ka u sel alu me mint aku m enge ja s et iap
k ata mesk i k au tah u a ku bi sa
me ngiri ngim u t anp a
ta nd a bac a
/7/
kelak desir waktu yang bakal bertiup
membawa kapal ke negeri tak dikenal
kelak gemerlap bintang yang akan bersinar
menuntun hati melintas lautan
sedih dan menyesal, tak usahkan
cukuplah bekal doa dan kenangan
dan di bibir dermaga
biar kita bertemu kembali
Catatan dikit:
- Cerita ini adalah terjemahan serampangan saya dari The Dandelion Girl karangan Robert F. Young. Aslinya ini bukan cerita bersambung, tapi untuk mengurangi prokrastinasi saya memecahnya jadi enam bagian. Selain itu, cerita ini diterjemahkan bersambung
biar yang baca penasaransupaya saya juga terpacu untuk menyelesaikan.- Seperti yang sudah dibilang tadi, ini terjemahan serampangan. Akan banyak perbedaan diksi dan gaya bahasa antara terjemahan ini dengan cerita aslinya. Maklum masih amatiran. Jadi, tolong kasih saran dan kritik, ya. 😉
- Bagian-bagian lain dari terjemahan ini:
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5-6
Keesokan harinya ia melaju ke dusun dan bertanya ke kantor pos apakah ada surat untuknya. Nihil. Itu hal biasa untuknya. Jeff sama-sama tidak suka menulis surat seperti dirinya, sementara Anne saat ini mungkin tidak bisa dihubungi. Adapun untuk praktik kerjanya sendiri, ia telah melarang sekretarisnya untuk mengganggunya dengan surat-surat kecuali untuk urusan yang benar-benar genting.
Dia berdebat dalam hati apakah harus bertanya kepada sang kepala kantor pos yang sudah sepuh tentang keberadaan sebuah keluarga yang bernama Danvers di sekitar situ. Ia putuskan untuk tidak bertanya. Dengan bertanya, Mark akan mengkhianati seluruh rangkaian cerita meyakinkan yang sudah dituturkan oleh Julie. Meski dia tidak yakin dengan semua cerita itu, ia tidak tega membiarkan bangunan kepercayaan itu runtuh di depan matanya.
Sore itu, Julie mengenakan gaun kuning warna yang sama seperti rambutnya. Lagi-lagi tenggorokan Mark menegang ketika ia melihatnya. Lagi-lagi dia tidak kuasa untuk bicara. Namun ketika saat-saat pertama berlalu dan kata-kata telah terujar, semua jadi baik-baik saja, dan pikiran mereka berdua mengalir bersama seperti dua sungai kecil yang gemericik dan mengalir dengan riang menuju tepian sore hari. Kali ini, ketika mereka berpisah, Julielah yang bertanya, “Apa besok Anda ke sini?” – meskipun itu hanya karena dia mencuri pertanyaan dari bibir Mark-dan kata-kata itu bernyanyi di telinganya sepanjang perjalanan kembali lewat hutan menuju kabin, melenakannya hingga tertidur selepas malam yang dihabiskan dengan mengisap pipa rokok di pelataran.
Sore harinya ketika dia mendaki, bukit itu tampak kosong. Pada awalnya kekecewaannya membuat dia mati rasa, namun ia menggumam, Dia cuma terlambat. Dia akan muncul sebentar lagi. Mark lalu duduk di bangku granit sambil menunggu. Tapi Julie tidak juga datang. Menit demi menit, jam demi jam berlalu. Bayang-bayang gelap merayap dari hutan dan mendaki ke atas bukit. Udara semakin dingin. Dia menyerah, akhirnya, dan dengan lesu berjalan kembali ke kabin.
Sore hari berikutnya dia tidak muncul juga. Juga sore yang berikutnya. Mark tidak bisa makan atau pun tidur. Memancing sudah tak lagi membuatnya bersemangat. Ia tidak lagi bisa membaca. Selagi itu semua terjadi, ia membenci dirinya sendiri, membenci sikapnya yang seperti bocah kasmaran, yang bersikap seperti seorang bodoh di usia empat puluhan hanya karena seraut muka yang cantik dan sepasang kaki yang indah. Sampai beberapa hari silam, dia bahkan tak pernah betul-betul memerhatikan perempuan lain, dan sekarang dalam waktu kurang dari seminggu dia tidak hanya memerhatikan namun sudah jatuh hati dengan Julie.
Harapan telah pudar dalam hatinya ketika ia mendaki bukit di hari keempat–lalu tiba-tiba hidup lagi ketika ia melihat Julie berdiri menghadap matahari. Dia mengenakan gaun hitam kali ini. Mark harusnya bisa menebak alasan menghilangnya dia, tapi Mark tak sadar sampai ia datang padanya dan melihat airmata mulai menetes dari matanya dan getaran bibirnya yang menyingkapkan suatu tanda. “Julie, ada apa?”
Dia menempel padanya dengan bahunya yang gemetar, dan menempelkan wajahnya ke mantelnya. “Ayah saya meninggal,” katanya, dan entah bagaimana, ia tahu bahwa ini adalah air mata pertamanya, bahwa ia telah duduk menahan air mata selama perkabungan dan pemakaman, dan bahwa tangisan itu berhasil ia bendung hingga barusan.
Mark memeluknya dengan lembut. Dia tidak pernah menciumnya, dan dia tidak akan menciumnya sekarang, tidak juga. Bibir Mark menyeka dahinya dan sekilas menyentuh rambutnya– itu saja. “Maaf, Julie,” katanya. “Aku tahu betapa berartinya dia untukmu.”
“Dia selalu tahu dia sudah akan dijemput,” katanya. “Dia pasti tahu itu sejak eksperimen stronsium 90 yang dia lakukan di laboratorium. Tapi dia tak pernah bilang siapa-siapa– bahkan aku … Aku tak ingin hidup. Kalau tak ada dia, hidup ini sudah tidak ada artinya lagi– tidak, tidak, tidak!”
Mark mendekapnya erat-erat. “Kamu akan menemukan sesuatu, Julie. Seseorang. Kamu masih muda. Kamu masih anak-anak, sungguh. ”
Kepalanya tersentak kembali, dan tanpa linangan di matanya ia menatap Mark. “Aku bukan anak kecil! Jangan sekali-kali panggil aku anak kecil!”
Terhenyak, Mark melepaskannya dan melangkah mundur. Mark belum pernah melihatnya marah sebelumnya. “Bukan maksudku–” ia mengawali.
Kemarahan Julie begitu cepat berlalu karena munculnya tiba-tiba “Saya tahu Pak Randolph tidak bermaksud menyakiti perasaan saya. Tapi saya bukan anak-anak, sungguh bukan. Berjanjilah Anda tidak akan memanggil saya begitu lagi. ”
“Baiklah,” kata Mark. “Aku janji.”
“Dan sekarang saya harus pergi,” katanya. “Saya punya seribu satu hal yang harus dikerjakan.”
“Apa– apa kamu besok ke sini lagi?”
Dia menatap Mark lama sekali. Sejenis kabut, seperti yang biasa terlihat ketika hujan di musim panas, membuat matanya yang biru berbinar. “Mesin waktu bisa rusak,” katanya. “Ada bagian-bagian yang perlu diganti–dan saya tidak tahu cara menggantinya.” Mesin waktu kami– mesin waktuku bisa saja dipakai untuk jalan sekali lagi, tapi saya tidak yakin.”
“Tapi kamu akan berusaha datang lagi, kan?”
Dia mengangguk. “Ya, akan saya coba. Dan Pak Randolph? ”
“Ya, Julie?”
“Hanya jaga-jaga saja kalau saya tak bisa kembali–dan supaya tahu saja–saya mencintaimu.”
Leave a Comment