Skip to content

Antariksa Akhmadi Posts

Permintaan

Peringatan: banyak negasi, hati-hati bacanya.

Menurut psikoanalis Jacques Lacan, cinta adalah permintaan. Apa maksudnya?

Pikirkan seorang anak yang terbiasa dimanjakan. Dia meminta biskuit pada ibunya. Setelah diberi, dia akan minta pisang. Setelah diberi lagi, dia akan minta dibelikan mainan. Dia akan terus-menerus meminta sampai ibunya tidak lagi mau atau mampu memberikannya apa-apa lagi.

Yang sebenarnya diminta anak itu bukan biskuit, pisang, atau mainan. Tapi ada hal lain yang  dia inginkan. Inilah yang dimaksud Lacan dengan permintaan: mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin bisa diberikan. Apa itu?

Menurut Lacan, objek yang tidak mungkin bisa diberikan ini tidak akan pernah ada. Ya, pada akhirnya orang yang meminta tidak akan mendapat apa-apa karena apa yang dia minta juga sebenarnya tidak ada. Permintaan hanyalah keadaan mengharapkan sesuatu yang tak akan bisa diberikan.

Lalu dikatakan: cinta itu permintaan. Karena permintaan itu sesuatu yang barangnya ‘tidak ada’, apa berarti cinta itu juga sebenarnya ‘tidak ada’? Bukan cinta yang tidak ada, yang tidak ada adalah objeknya, tujuannya.

Dua orang yang saling mencintai berarti dalam keadaan saling meminta. Ketika mereka sudah tidak saling cinta, artinya mereka sudah sadar bahwa apa yang mereka minta itu sebenarnya tidak ada.

Mencintai berarti berusaha memberikan apa yang tidak kumiliki pada yang memintanya dan  meminta pada orang yang kucintai apa yang tidak mereka miliki.

Leave a Comment

“…L’enfer, c’est les autres.”

GARCIN : ….neraka adalah orang lain.

[Jean-Paul Sartre dalam Pintu Tertutup, terjemahan Asrul Sani]

Tunggu dulu. Bukan berarti aku bilang kalau semua orang harus dijauhi.

Kita tak hidup sendirian di dunia ini. Meski kita memegang kendali atas diri kita, tapi kita akan selalu dibayangi oleh tatapan orang lain. Tatapan orang lain atas diri kitalah yang membatasi kebebasan kita untuk bertindak.

GARCIN : Biarkan aku. Dia ada di antara kita. Aku tidak dapat mencintai kau kalau dia melihat.

Kita hidup untuk diri kita sendiri [1], dan orang lain adalah objek bagi kesadaran kita. Tapi kita mesti ingat kalau orang lain juga hidup dan memandang diri kita sebagai objek bagi kesadaran mereka [2]. Semua yang kita lakukan akan kita lakukan dengan kesadaran bahwa kita sedang diperhatikan oleh orang lain.

Agar bisa diterima, kita harus mencocokkan diri kita dengan apa yang diinginkan orang lain. Hilanglah satu per satu kebebasan kita. Beberapa orang malah pasrah sepenuhnya pada tatapan orang lain dan kehilangan dirinya sendiri.

Beberapa orang yang lain sadar bahwa mereka tidak boleh terpengaruh siapapun. Mereka akhirnya malah menyakiti orang lain, dengan dasar bahwa orang lain menginjak-injak kebebasan mereka.

Meski begitu, sudah kukatakan bahwa semua ini bukan alasan untuk menjauhi orang lain.

Sekarang pikirkanlah bagaimana jika kita hidup tanpa orang lain. Kita dapat ada karena orang lain mengenali bahwa kita ada. Bila orang lain tidak ada, maka tidak ada yang akan mengenali keberadaan kita. Ada atau tidaknya kita tidak akan bermakna apa-apa.

Mencocokkan diri kita dengan pandangan orang lain tidak berarti harus menghapus persepsi diri kita sendiri. Kita dapat membaur dengan orang lain dengan apa adanya diri kita. Biarlah orang lain berkata, tapi kita sendiri yang memutuskan.

Dan yang terpenting, menganiaya orang lain tidak termasuk dari kebebasan kita. Jika kita menganiaya orang lain, sama saja kita tidak bertanggung jawab pada kebebasan kita.

_________________

[1] Pada dasarnya, kesadaran yang dimiliki manusia adalah tanda bahwa dia ada. Kesadaran ini menegaskan dan menopang identitasnya sebagai subjek. Oleh Jean-Paul Sartre, ini disebut dengan l’etre pour soi (ada untuk dirinya).
[2] Sebagai lawan dari l’etre pour soi, Sartre menyebut l’etre en soi (ada dalam dirinya). L’etre en soi berarti manusia hidup sebagai dirinya sendiri, sebagai objek bagi kesadaran yang lain.

Leave a Comment

Melacak Sejarah Pembaratan Nusantara: Sebuah Resensi

Catatan pengantar

Tulisan ini merupakan tugas resensi dari mata kuliah Pengantar Ilmu Budaya semester ganjil tahun akademik 2013/2014.

Melacak Sejarah Pembaratan Nusantara

Antariksa Akhmadi (NIM. 121311233004)
Pengantar Ilmu Budaya kelas A

Judul buku                           : Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-batas Pembaratan
Pengarang                           : Denys Lombard
Penerbit                               : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman                   : 309 halaman

Berbicara tentang Indonesia, orang tidak akan bisa melepaskan diri dari mengangkat soal Jawa. Bisa dikatakan bahwa di Jawalah seluruh peristiwa yang kini dan yang lampau berpusat. Aidit pernah mengeluarkan nasihat yang amat terkenal dan diamini kebenarannya hingga hari ini: jika ingin menguasai Indonesia, kuasai dulu Jawa. Berangkat dari sentimen inilah Denys Lombard menyusun karya besarnya yang berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya.

Tidak banyak kajian ilmiah tentang sejarah Indonesia, apalagi yang ditulis berdasarkan kacamata asing. Lombard sedari kalimat pertama dalam bukunya mengakui bahwa dia menulis dalam “…pandangan kami yang Eropasentris…”. Bisa dikatakan bahwa kajian yang dilakukannya merupakan History of Java baru, seperti yang dikarang Stamford Raffles pada awal abad ke-19. Pandangan keeropaan ini penting karena akan memberi gambaran pada pembaca Indonesia sendiri tentang bagaimana sikap dan opini para “penjajah” terhadap bangsa yang pernah diperintahnya selama ratusan tahun.

Nusa Jawa dibagi menjadi tiga buku yang mewakili peradaban-peradaban asing yang mempengaruhi Nusantara hingga mencapai bentuknya yang sekarang, yaitu Barat, Islam, dan Cina-India. Lombard mendefinisikan kajiannya sebagai sebuah “geologi budaya”, sehingga ia menyajikan suatu kronologi sejarah Nusantara yang regresif. Ia memulai dengan menyajikan proses pembaratan yang dilakukan oleh Belanda, lalu mundur ke zaman ekspansi Islam dan Cina di Indonesia, dan akhirnya menelusuri warisan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di jilid terakhir.

Pada buku pertama ini, Lombard memulai investigasinya dengan memberikan gambaran mengenai kondisi geografis, geologis, ekonomi, serta historisnya secara umum. Secara geografis, Jawa terletak di tengah-tengah Nusantara dan di tengah-tengah jalur perdagangan laut yang membuatnya menjadi tempat persilangan peradaban-peradaban besar. Bisa dikatakan bahwa secara geografis Jawa adalah jantung Nusantara. Komposisi geologis alam di Jawa menjadikannya sebagai daerah yang makmur. Kekuatan ekonomi Nusantara berporos di Jawa, sekali lagi karena letak geografisnya yang ada di jantung Nusantara. Sedangkan secara kesejarahan, dengan mengecualikan Sriwijaya, seluruh kerajaan besar yang menguasai Nusantara berpusat di Jawa.

Mulainya pembaratan di Indonesia secara efektif ditandai dengan mendaratnya para pelayar Belanda di bawah Cornelis de Houtman di Banten. Selang enam tahun setelah itu, berdirilah Vereenidge Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1602. Pada awalnya pembaratan itu hanya sedikit sekali terjadi karena sikap orang Belanda yang eksklusif dan tidak mau menjadikan Nusantara sebagai rumahnya. Orang-orang Belanda bukannya mendirikan institusi pendidikan di Nusantara, namun malah mengirimkan anak-anaknya kembali ke Belanda untuk dididik. VOC bersikap agresif pada setiap penguasa lokal yang mencoba melawan monopolinya. Sikap non-kooperatif ini, ditambah dengan kebobrokan internal para pegawai VOC, menyebabkannya harus gulung tikar pada 1799. Setelah itu, pembaratan atas Indonesia diteruskan langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah kolonial tidak lagi bersikap ingin memusnahkan pengaruh para penguasa lokal karena sadar akan potensi mereka untuk menggerakkan rakyat di bawahnya. Oleh karena itu, pemerintah kolonial berusaha meraih simpati untuk pada akhirnya dapat menguasai para raja dan sultan secara halus. Pembaratan sejatinya baru terjadi setelah dicanangkannya politik etis di akhir abad ke-19.

Pada masa-masa kolonial belanda inilah lahir empat golongan besar yang terpengaruh proses pembaratan. Yang pertama yaitu orang-orang Kristen asli Nusantara yang timbul dari hasil aktivitas misionaris Belanda yang gencar (yang sebelumnya amat dibatasi pada masa VOC). Yang kedua adalah golongan priyayi yang diberikan legitimasi oleh pemerintah kolonial namun dikerdilkan pengaruhnya sehingga menutup peluang terjadinya perlawanan. Golongan ketiga adalah tentara dan akademisi yang baru muncul menjelang kemerdekaan Indonesia menyusul dibentuknya universitas oleh pemerintah kolonial dan angkatan bersenjata lokal oleh Jepang dalam pendudukannya yang singkat. Yang terakhir adalah golongan kelas menengah. Kelas menengah ini muncul sebagai dampak dari urbanisasi yang makin gencar setelah kemerdekaan Indonesia. Ini tidak lepas dari pengaruh Belanda yang telah membangun perkotaan dan merangsang pindahnya masyarakat dari desa ke kota.

Lombard kemudian mengulas warisan-warisan pembaratan yang ditinggalkan oleh Belanda. Dalam bidang teknik, Indonesia menerima masuknya besi dalam skala yang masif, pembangunan jalan raya dan rel kereta api, serta pengembangan ilmu kedokteran dalam bentuk obat-obatan dan pendidikan kedokteran lokal (salah satunya Nederlandsch Indisch Artsenschool yang sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga). Dalam bidang kemasyarakatan, Belanda mewariskan jalur komunikasi telegraf yang disusul dengan telepon, pemetaan Jawa yang lengkap, data-data statistik, ditulisnya catatan sipil, sistem administrasi negara yang memungkinkan berdirinya Republik Indonesia di kemudian hari, sistem percetakan, penanggalan, dan etos kerja. Atas pengaruh barat pula, orang Indonesia mulai menerima pakaian ala Eropa yang meski demikian masih diikuti oleh laki-laki saja. Gestur-gestur seperti berjabat tangan, makan dengan menggunakan peralatan makan, serta olahraga Barat seperti sepak bola dan berkuda juga diterima dari kehadiran para kolonis. Berkat proses pembaratan pula, aksara latin dapat dikenal luas di seantero negeri dan bahasa Melayu dipakai secara umum. Penyerapan-penyerapan kata ke dalam bahasa Melayu juga berlangsung secara besar-besaran sehingga membuka jalan bagi terbentuknya bahasa nasional yakni bahasa Indonesia. Warisan politik Eropa pun juga diterima Indonesia dalam wujud istilah seperti nasionalisme, komunisme, demokrasi, dan revolusi. Akan tetapi, di sisi lain Lombard menunjukkan bahwa konsep-konsep ini tidak diterima secara penuh namun mendapat distorsi dan penyesuaian dengan kondisi Indonesia sehingga pada akhirnya menjadi tak serupa dengan rumusan aslinya.

Agaknya perubahan selera estetika di Indonesia menjadi aspek yang amat penting untuk dikaji sehingga Lombard mengangkatnya sebagai suatu bahasan tersendiri. Citarasa arsitektur di Indonesia telah banyak dipengaruhi gaya Eropa, demikian pula isme-isme dalam seni rupa menggantikan gaya tradisional serta gaya penulisan sastra yang mulai berkiblat pada Barat. Tradisi perfilman Indonesia mulai bangkit menjelang kemerdekaan, meskipun kalah awalan ketimbang negara-negara lainnya. Di sisi lain, seni musik Eropa ternyata tidak dapat menggeser sepenuhnya gamelan Jawa yang telah begitu kuat posisinya. Ide-ide Barat juga mulai diterima oleh masyarakat dan terlihat pengaruhnya baik dalam kesenian, akademik, maupun kehidupan sehari-hari. Di samping kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, masuknya estetika Eropa ini membawa ekses yang mengerosi kebudayaan daerah. Aktivitas pariwisata yang makin padat membuat ritus-ritus yang mestinya sakral menjadi dangkal. Upacara-upacara dan tarian suci diperlakukan layaknya komoditas hiburan biasa untuk dinikmati wisatawan. Selain itu, muncul barang-barang antik tiruan dari masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Penggalian gencar dilakukan untuk mencari artefak sejarah yang pada akhirnya didistribusikan secara ilegal sehingga memiskinkan Indonesia dari warisan kebudayaannya sendiri.

Sebagai akhir dari buku ini, Lombard mengetengahkan reaksi-reaksi yang timbul atas peristiwa pembaratan di Indonesia. Di tengah-tengah masyarakat kolonis yang enggan berasimilasi dengan pribumi, sejumlah penganut Kristen Belanda murtad dan sejumlah lainnya kawin campur sehingga muncullah orang-orang Indo. Merekalah yang berperan besar dalam membaratkan Indonesia. Di pihak lain, orang-orang Indonesia yang terdidik terpecah dalam memilih apakah akan mengadopsi nilai-nilai Barat atau kembali pada nilai-nilai Timur keindonesiaan. Golongan yang memeluk pembaratan memajukan Indonesia dari segi kesusasteraan dan kesenian, sementara golongan yang ingin mengembalikan Indonesia ke asal ketimurannya berkontribusi dalam memajukan pendidikan dan menanamkan nasionalisme serta jati diri kebangsaan.

Secara keseluruhan, Nusa Jawa dalam jilid Batas-batas Pembaratan merupakan risalah yang komprehensif bagi siapapun yang ingin mengenal Indonesia dan bagaimana ia bisa mencapai kemodernan dan kebudayaannya hari ini. Setiap detil disampaikan dengan gaya yang merangsang keingintahuan dan informatif sehingga memberi pencerahan bagi pembacanya. Meski demikian, Lombard tidak senantiasa memberi porsi penjelasan yang sama dalam menyampaikan ilustrasi dan fakta-faktanya. Ada sebagian penjelasan yang kelewat berkepanjangan dan ada sebagian lagi yang sebetulnya masih perlu dielaborasi. Berbagai ilustrasi dan peta juga disertakan guna memperkaya penjabaran-penjabaran yang telah disusun secara runtut dalam buku ini.

Meski Lombard sendiri mengakui bahwa bukunya ini dibangun atas pandangan Barat, namun tidak ditemukan bias-bias yang membahayakan. Semuanya disampaikan apa adanya namun tetap dengan penuh penghargaan pada subjek yang diceritakan, yakni Nusantara dan Jawa pada khususnya. Baik pembaca Barat maupun Indonesia sendiri akan menemukan kepuasan tersendiri dan barangkali “sentilan” atas tindakan bangsanya yang tidak benar di masa lampau.

Terlepas dari semua kelebihan dan kekurangan dalam penulisannya, Nusa Jawa: Silang Budaya jilid Batas-batas Pembaratan ini adalah suatu karya penting yang mungkin tidak akan ada gantinya dalam beberapa dekade mendatang. Isinya perlu diperhatikan oleh semua pemangku kepentingan dalam membangun bangsa ini. Pihak-pihak yang melaksanakan pembangunan dapat mereflesikan keberhasilan dan kegagalan pembangunan kebaratan di masa lalu sebagai acuan untuk masa depan. Mahasiswa, utamanya yang mempelajari kebudayaan, dapat memperoleh gambaran utuh tentang sejarah bangsanya dan bagaimana Indonesia hari ini tak lepas dari warisan-warisan Barat. Dengan berbekal wawasan itu, mereka akan dapat mengembangkan peradaban bangsa Ini ke arah yang lebih baik. Masyarakat Indonesia biasa pun dapat menikmati buku ini, walau hanya sekadar sebagai pengingat sehingga ia tak tercerabut dari akar kebangsaannya.

Leave a Comment

Sepuluh Kesalahan Berargumen

0. Ini semua buat apa, sih?

Kita saban hari dibuat pusing oleh sedemikian banyaknya perbedaan pendapat di sekitar kita. Entah itu soal keyakinan, soal kesetujuan terhadap naiknya harga BBM, soal klub sepak bola, dan sebagainya. Ada orang yang bersikeras dengan pandangan awalnya dan menghujat lawan pendapatnya. Yang dihujat pun juga balik menghujat. Budayawan Goenawan Mohamad menyamakan sikap seperti ini seperti dua buah pesawat televisi yang disetel berhadapan. Suara dan gambarnya bersahut-sahutan tanpa bisa mengerti satu sama lain. Tidak ada dialog. Yang ada hanyalah monolog berjamaah.

Ada juga orang yang kepalang bingung menghadapi carut-marut kebebasan berpendapat seperti sekarang ini. Agaknya kita sudah terbiasa hidup di zaman Asas Tunggal di mana kita tidak perlu repot-repot berpikir soal perbedaan. Di tengah era informasi ini, kita setiap hari dipaparkan opini-opini yang saling bertentangan dan juga debat-debat kusir. Tidak ada yang bisa lepas dari media massa (yang menyiarkan opini para konglomerat dan golongan) dan media sosial (yang menyiarkan opini orang-orang selainnya). Semuanya menyiarkan debat kusir yang tak berujung dan tak pula berpangkal. Walhasil, sebagian orang akhirnya cenderung percaya-percaya saja dengan apa yang mereka lihat dan dengar tanpa mau mendalami dan mengkaji kebenarannya, saking bingungnya. Sebagian yang lain pendapatnya terombang-ambing dan hanya ikut suara orang banyak, tak ubahnya seperti domba.

Ini sebabnya, kita semua harus belajar menjaring dan menimbang kebenaran suatu perkataan. Bagaimana caranya?

Sebuah perkataan atau opini bisa kita anggap benar jika memenuhi dua syarat:

  • Pertama, opini itu harus punya argumen-argumen pendukung yang bisa dipertanggungjawabkan.Misalnya, seseorang memilih mendukung kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi. Mengapa begitu? Berdasarkan data, rupanya yang menikmati BBM adalah kalangan yang sudah cukup mapan. Padahal, subsidi dialokasikan untuk masyarakat kurang mampu. Pengertian “bisa dipertanggungjawabkan” di sini kita kembalikan pada orang yang berpendapat dan juga diri kita sendiri sebagai orang yang menilai. Ada yang mengatakan, “di luar urusan iman, semua hal tidak mutlak kebenarannya.”
  • Kedua, cara menalar argumen yang dipakai haruslah benar. Seperti apa cara menalar argumen yang benar? Contoh mudahnya, kita bisa mengingat-ingat kembali pelajaran logika di sekolah. Misalnya: “Semua manusia akan mati. Sokrates adalah manusia. Maka Sokrates akan mati.” Berbeda dengan syarat pertama, di sini ada patokan-patokan pasti yang lebih-kurang bisa membantu kita dalam menilai sebuah perkataan atau opini.

Nah, dalam tulisan ini kita akan melihat beberapa contoh kesalahan dari syarat kedua. Dalam ilmu logika dan tradisi debat, kesalahan argumen dikenal dengan istilah kesesatan logika (Inggris: logical fallacy). Disebut sesat karena kesesatan logika membuat argumen yang salah menjadi seolah-olah benar dan dapat dipertanggunjawabkan. Ada puluhan jenis kesesatan logika, tapi di sini kita hanya menilik sepuluh (plus satu) saja. Selain agar lebih mudah diingat, jenis-jenis yang saya tulis di sini setidaknya sudah cukup untuk pegangan sehari-hari.

Mari kita mulai. 🙂

1. Berpatokan pada orang (argumentum ad hominem)

Kamu berani kritik saya begitu? Memangnya kamu itu siapa? Sekolah aja masih dibayarin.

Kita cenderung untuk melihat siapa yang berbicara daripada apa yang dibicarakan. Sering kali latar belakang seseorang dijadikan alasan untuk menolak apa yang dia ucapkan. Pada umumnya orang tidak akan percaya pada seorang mantan napi yang bicara soal kebaikan. Latar belakang suku, agama, ras, dan kegolonganan orang yang berbicara dipandang lebih utama daripada apa yang dibicarakan.

X  : Kata D. N. Aidit, jika ingin menguasai Indonesia maka kuasai dulu Jawa.
Y  : Omongan orang komunis kok dipercaya?
X  : Meskipun dia komunis tapi apa yang dia katakan juga bisa benar, kan?

Mengukur kebenaran suatu ujaran dari siapa yang mengujarkannya adalah wajar bagi manusia. Itulah mengapa kata-kata pembohong tidak dihiraukan dan pendapat para ahli diperhatikan. Namun ada kalanya seorang pembohong bisa berkata benar dan seorang ahli bisa berpendapat keliru. Kita boleh saja meragukan apa yang dikatakan orang jika orang yang mengatakannya memang meragukan bagi kita. Yang harus kita hindari adalah menolak mentah-mentah apa yang dikatakan hanya karena siapa yang mengatakannya.

Ada baiknya kita renungkan kata-kata dari Ali bin Abi Thalib ini:

Perhatikan apa yang dikatakan dan jangan perhatikan siapa yang mengatakan.

2. Generalisasi yang terburu-buru (hasty generalization)

New York dulu dibom orang Islam. Madrid dulu juga dibom orang Islam. Pasti semua pembom itu orang Islam.

Logika orang awam menyimpulkan bahwa jika hari ini hujan dan besok juga hujan, maka hari-hari berikutnya juga akan hujan. Jika seseorang jatuh lalu tertimpa tangga maka ia akan menganggap hidupnya sial. Semakin sering kita mengalami sesuatu, kita cenderung berasumsi bahwa sesuatu itu akan selalu terjadi.

Lantas berapa kali kita harus mengalami sesuatu agar kita bisa membuat generalisasi? Tidak ada patokan yang pasti. Paling tidak, kita tidak boleh mengambil kesimpulan hanya dengan melihat satu-dua kejadian yang sama. Yang penting adalah berhati-hati dalam melihat suatu kejadian, karena bisa jadi itu hanya kebetulan.

3. Mempertanyakan niat lawan bicara (bulverisme)

Kamu bilang begitu cuma karena kamu ingin dikenal, kan?

Memang benar sabda Nabi Muhammad bahwa tindakan bergantung dari niatnya. Tapi dalam menghadapi perbedaan pendapat, bisakah kita tahu secara pasti apa motif lawan pendapat kita? Tidak ada yang bisa menjamin. Sering kali mungkin kita sendiri yang berprasangka buruk. Siapa tahu itu hanyalah hasil egoisme kita, yang tidak mau pendapat sendiri disalahkan.

Intinya, kita selayaknya menaruh prasangka baik pada lawan pendapat kita. Biarkan bukti-bukti dan bukan prasangka kita yang menilai kebenaran pendapatnya. Soal niat apa yang tersembunyi dalam hati, biarkan itu jadi urusan pribadi masing-masing.

Ada nasihat guru agama saya yang masih saya ingat:

Lawan pendapat adalah kawan berpikir.

4. Berpatokan pada akibat (appeal to consequences)

Bayangkan alangkah indahnya kalau apa yang saya cita-citakan ini bisa terwujud. Lalu mengapa kamu masih protes?

Kebiasaan berargumen yang emosional dan berapi-api mungkin sering kita temui di dunia politik. Bisa juga kita menemukannya di buku-buku dan ceramah motivasi. Ketika seorang pembicara menggambarkan akibat-akibat yang mungkin dari gagasannya, orang akan dipaksa untuk menyetujui gagasan itu.

Ingatkah Anda semua pada peristiwa G30S tahun 1965? Kita tentu tidak ingin kejadian mengerikan karena ulah komunis ini terjadi lagi di negeri kita. Maka, sudah selayaknya kita melarang ajaran-ajaran Karl Marx di Republik Indonesia yang berpancasila ini.

Sekilas, mungkin argumentasi seperti ini terlihat kokoh. Tapi kita harus bertanya, “benarkah akibat yang terjadi bakal seperti itu?” Bagaimana kalau kenyataan tidak bakal seindah yang dicita-citakan? Bagaimana jika setelah kita melarang ajaran komunis Karl Marx, Indonesia malah akan dikuasai ajaran kapitalis karena lawan ideologinya sudah tidak ada? Jika kita sudah bisa mempertanyakan akibat yang terjadi seperti ini, kita akan melihat kelemahan argumen-argumen tadi.

Terkadang juga, kita cenderung tidak suka suatu argumen karena akibatnya “tidak cukup indah” untuk kita.

Jika evolusi itu benar, berarti kita semua turunan primata.
Aku tidak mau dianggap turunan primata.
Maka, evolusi itu salah.

Sekali lagi, kenyataan mungkin tidak seindah harapan kita. Meminjam kata-kata seorang teman, kita harus siap menghadapi yang namanya the ugly truth. Meskipun buruk kelihatannya, apa yang tidak kita sukai itu bisa saja benar.

5. Setelah X, maka karena X (post hoc, ergo propter hoc)

Kemarin dia putus dengan pacarnya. Besoknya dia mati. Kasihan dia, mati hanya gara-gara putus cinta.

Lagi-lagi ini masalah logika orang awam. Orang yang habis minum air dari Batu Ponari diyakini akan sembuh penyakitnya.  Orang yang kebelet buang air besar disuruh menggenggam batu, lalu ia tidak sakit perut lagi karena menggenggam batu.

Dalam dunia ilmiah, ada kaidah correlation does not necessarily mean causation (keterkaitan tidak mesti menyatakan hubungan sebab-akibat). Ketika seorang ilmuwan menemukan hubungan antara dua variabel (contoh klasiknya, hubungan antara intensitas cahaya dengan pertumbuhan kecambah), maka hal ini tidak mesti merupakan hubungan sebab-akibat (“karena”). Correlation ini bisa berupa apa saja, termasuk keterkaitan waktu (“setelah”).

Tidak sulit sebenarnya membuktikan kesalahan ini. Kita hanya perlu menunjukkan bahwa hubungan “setelah” tidak sama dengan “karena”.  Hanya saja, banyak orang yang terjebak berpikir menggampangkan seperti ini. Oleh karena itu, kita lagi-lagi harus berhati-hati dalam menyimpulkan.

6. Berpatokan pada yang pertengahan (appeal to moderation/argumentum ad temperantiam)

Sosialisme yang mutlak sudah gagal. Liberalisme juga. Oleh karena itu kita perlu menerapkan Pancasila sebagai jalan tengah di antara keduanya.

Filosof Yunani Aristoteles beranggapan bahwa yang pertengahan adalah yang terbaik. Tidak kurang dan tidak lebih. Ini memang benar untuk beberapa hal seperti pola makan dan olahraga. Tapi kalau yang dibahas adalah masalah seperti kebenaran dan kejujuran, apakah kita juga harus mengambil jalan tengah? Dalam hal ini kita harus sadar bahwa benar adalah benar dan salah adalah salah.

Masalah ideologi seperti contoh di atas bukan problem yang sekonyong-konyong bisa ditarik jalan tengahnya. Setiap orang pasti yakin bahwa ada ide yang benar dan ada ide yang salah. Jika kita menarik jalan tengah dari masalah seperti itu, sama saja kita mencampurkan yang benar dengan yang salah.

Tapi, untuk soal-soal material bolehlah kita menggunakan jalan tengah (misalnya membagi porsi makan).

7. Dilema palsu (false dichotomy/black-or-white)

Kalau kamu bukan bagian dari solusi, berarti kamu bagian dari masalah.

Kita orang Indonesia mungkin terlalu banyak terpengaruh soal pilihan ganda. Dalam menghadapi sebuah persoalan, pikiran kita terkungkung dalam pilihan-pilihan yang sudah ada. Padahal, yang lebih baik adalah merumuskan jawaban sendiri.

Begitu pula sikap kita dalam menghadapi penggolongan. Kita mau-mau saja dikotak-kotakkan dalam kategori sempit seperti contoh di atas. Padahal, bisa jadi seseorang adalah bagian dari masalah dan mampu memberikan solusinya.

Intinya, jangan mau diberi pilihan sempit dan dikotak-kotakkan menurut standar orang lain. 😉

8. “Katanya begini, kan?” (ipse dixit)

 Badu : Kita semua tahu kalau semua politikus itu busuk mulutnya. Jadi, mending tahun depan golput saja!
Chica : Emang iya semua politikus itu busuk?

Bila kita ingin berdiskusi, selayaknya ada hal yang harus disepakati di awal. Kadang-kadang dalam sebuah diskusi, seseorang melempar suatu pernyataan yang belum disepakati kebenarannya oleh kedua belah pihak. Inilah mengapa dalam kompetisi debat, menetapkan definisi atas mosi yang dibahas itu begitu penting. Kalau tidak begitu, kedua belah pihak yang berseteru akan berbicara sendiri-sendiri karena memegang pengertian yang berbeda-beda.

9. “Saya salah karena Anda salah” (two wrongs make a right)

Memangnya nggak boleh aku ngehajar dia? Dia duluan yang mulai, kok!

Ini adalah satu lagi mentalitas khas orang Indonesia. :mrgreen:

Ketika orang berbuat salah, ada yang beralasan bahwa orang lain dulu yang memulai. Misalnya, ketika dituduh melempari aparat polisi mahasiswa balik menyalahkan polisi yang katanya mulai melempari duluan. Two wrongs didn’t make a right. Terjadinya dua kesalahan tidak akan membuat yang satunya benar. Yang ada, kesalahan yang sudah terjadi malah bertambah lagi.

Ada satu bentuk lagi kesalahan yang berhubungan, biasanya disebut dengan tu quoque (bahasa Latin, kira-kira artinya “Anda juga”).

Situ nyuruh-nyuruh saya shalat, emangnya situ udah?

Orang-orang yang berkata semacam ini memanfaatkan sifat munafik lawan bicaranya. Tapi bagaimanapun juga, kata-kata seorang munafik juga bisa benar, kan?

10. Argumen tidak nyambung (non-sequitur/ignoratio elenchi/red herring)

Mengapa tidak ada nabi perempuan? Saya ingatkan, kuda saja yang mengangkut beban begitu berat tidak pernah protes mengapa dia diciptakan seperti itu. Kalau mau protes soal keadilan Allah, bayar dulu setiap nafas yang kamu hirup.

[contoh ini disarikan dari sini]

Gampangnya, ini argumen yang bisa kita jawab secara bercanda dengan, ditanyanya apa, dijawabnya apa. Istilah kerennya, kalau menurut pemberitaan media massa, pengalihan isu. Karena kesulitan menjawab, masalah yang ada secara tidak sadar dialihkan dengan jawaban yang tidak ada hubungannya.

Saya tidak bermaksud menyalahkan orang-orang yang ingin mengingatkan keadilan Allah. Hanya saja, orang-orang yang bertanya seperti itu tidak butuh diceramahi. Sebagian besar tentu sudah maklum bahwa Allah itu Maha Adil. Mereka butuh jawaban. Sekadar jawaban “tidak tahu” sudah lebih tepat dan lebih benar daripada membelok-belokkan masalah seperti tadi.

Ekstra: Salah, karena argumen pendukungnya salah (fallacy fallacy)

Situ kok ad hominem, sih? Jangan-jangan argumen situ salah semua.

Tadi kita sudah memperhatikan sepuluh di antara banyak sekali kesalahan berargumen. Ternyata masih ada satu hal lagi yang harus kita cermati. Orang yang baru tahu kesalahan berlogika umumnya akan mengaitkan semua kesalahan dalam berargumen dengan kesesatan logika (pengalaman pribadi saya). Ini jelas keliru. Di bagian awal, kita sudah melihat bahwa pendapat bisa dikatakan benar jika argumen pendukungnya benar dan cara menalarnya juga tepat. Kesesatan logika hanya bisa menunjukkan penalaran mana yang tepat dan mana yang tersesat. Isi pendapat/opini sendiri hanya bisa dilawan oleh opini lain yang diperkuat dengan argumen yang tidak sesat logika.

_______________

Sekian dulu gambaran singkat tentang kesesatan berlogika. Bisa jadi penjabaran yang saya tulis di sini masih rancu atau keliru. Oh iya, sebenarnya juga masih banyak jenis kesesatan logika. Nah, untuk itu silakan jalan-jalan ke pranala berikut:

  1. Entri Kesesatan di Wikipedia Bahasa Indonesia. Tipologi kesesatan logikanya sedikit membingungkan, tapi penjelasan di sana mudah dipahami.
  2. Taksonomi jenis-jenis kesesatan logika di fallacyfiles.org. Sangat informatif dan contoh yang diusung kebanyakan adalah tulisan asli. Cocok buat yang mau belajar secara kaffah. :mrgreen:
  3. Logicalfallacies.info. Penjelasannya singkat dan mudah dipahami.
  4. Tulisan-tulisan tentang kesesatan logika di hermansaksono.com. Banyak polemik sehari-hari yang dikupas kesalahan logikanya.

Leave a Comment

Kaleidoscope, or Why I am an English Literature Student

Oftentimes, I am just tempted to ask myself: why do you have to be here?

By being here, I mean for being placed in this university and taking this major.

Actually, I had planned to take a major in informatics or computer science and aspired to study in Institut Teknologi Sepuluh Nopember. However, as I approach the half of 11th grade, I found my interest for it had dimmed. I feel that my passion does not lay in working discrete mathematical problems or designing algorithms. Truth to be told, I even have a poor understanding of mathematics. It’s very frustating to be working in problems, solving equations when actually I even can’t do basic arithmetic calculations. So, by the end of the sixth semester I already considered other options for my higher education.

I first read philosophy when I was in junior high school. At first glance, philosophy is shocking for me because it forces people to question things they have taken for granted. But after reading Sophie’s World (it’s a truly great book and I’d recommend anyone to read it), I am turned to be a ‘philosopher’ by definition that everyone is in fact a philosopher. It affects the way I see and think about things to this day. Based on this fondness, I considered taking a philosophy degree. There are currently only two state university that offer a bachelor (sarjana) in philosophy, which are Universitas Indonesia and Universitas Gadjah Mada. Studying philosophy will take me apart from whatever I’ve learned in school, which I hated the most.

There’s a problem with taking a philosophy degree, though. As people already said, job opportunities for philosophy bachelors are scarce. Apart from being a lecturer, someone who has a philosophy degree will probably work on fields relatively unrelated to their study such as becoming a journalist, writer, or even an actor or actress (one Indonesian artist really has a philosophy degree, do you know who that person is?). On a not-so-serious note, actually the easiest way you could become a student of UI is by taking a bachelor of philosophy as your choice in SNMPTN/SBMPTN/SIMAK. In SNMPTN 2012, from 25 seats offered for the S1 Ilmu Filsafat only 14 participants chose it. It’s a very good option if you’re so desperate to be a student of UI. :mrgreen:

Here’s some quote I found in Reddit that I use as a guide for choosing a major:

People will encourage you to “study what you love” and things like that. I just disagree completely. Study something practical, and then study what you love in addition to that (in the form of a minor or a second major).

Even though I have a passion in philosophy, it doesn’t mean that it’s good to just study it. We need to think about the opportunities that our study will give us in the future. Given the rate of competition that keeps raising by the years, it’s only logical to choose a major that give more security for finding jobs in the future. For this reason, I was forced to choose something else for my major.

At early 12th grade, by some chance, I found another field that I was interested in: Literature.

So, choose why literature all of sudden? Basically, I’m someone who is fond of reading and writing.  If you hate seeing letters and feel more comfortable writing formulas or codes, then considering amajor of literature is out of question. Another reason is that both literature and philosophy belong to one discipline (and oftentimes one faculty): humanities.  Of course literature is not at all the same with philosophy. But, when you study literature you will certainly meet philosophers within your books. Both literature and philosophy requires their student to be a careful and understanding reader while being an excellent and communicative writer, too. Most importantly, both require their students to think critically and be able to indulge in abstract concepts. In short, there are many similarities between the two fields. If you like to write, read, and think, then a literature department will probably be a perfect place for you.

But that still leaves me (or you, dear reader) with one final question: why English Literature?

Some say that a S1 Sastra Inggris degree may no longer has good prospects in the future. It’s just too mainstream. Most of public and private universities around the country have a S1 Sastra Inggris program. There are too many graduates competing for steady job demands. However, in my opinion the job competition in the humanities sector is not as fierce as the competition in other fields. There are a lot of job opportunities, too. Among the available jobs are in translation, broadcasting, public relations, linguistics (basically, being a language scientist), or even the diplomatic corps. An English Literature graduate will have a job opportunity of literature, communication science, and international relations combined. Some of my friends really work as a presenter in television or radio. Pretty promising, isn’t it? Well, I’ve got no statistics or data that supports my belief. It just came from common sense, although I do know that what people call “common sense” tends to be misleading.

So, that’s it.

1 Comment
In word we trust