Lagi-lagi aku harus curhat tentang masalah menulis.
Jadi ini sudah dua bulan di tahun 2014 dan aku belum menghasilkan sepotong tulisan pun. Dua tulisan yang di-publish sebelumnya itu berasal dari blog privat, jadi, yah begitulah. Kemudian aku melihat sebuah tulisan di internet yang cukup bagus dari blogger lain. Isinya sama, yaitu keluhan tentang masalah menulis. Blogger termaksud berujar bahwa ada tiga fungsi menulis. Pertama, untuk mengendapkan pengetahuan. Kedua, sebagai suatu memento atas pengalaman kita. Ketiga, sebagai sarana untuk menyempurnakan sarana berpikir kita. Cukup masuk akal. Aku jarang menulis dan aku sangat pelupa.
Tidak salah jika orang bilang menulis itu susah. Dalam menulis, kita dituntut untuk mengekspresikan kehendak, pikiran, atau pengalaman ke dalam bentuk yang dapat dimengerti orang lain. Sama seperti berbicara? Tidak. Kita berbicara umumnya dengan seseorang atau sekelompok orang yang kita tahu persis, misalnya orang tua atau teman. Ketika kita menulis, kita tidak tahu siapa nantinya yang akan membaca tulisan kita. Meski yang ditulis itu hanya surat untuk teman atau memo untuk sekretaris pribadi, misalnya, tetap saja ada kemungkinan tukang pos atau office boy juga turut membaca. Jika kita kesulitan untuk mengekspresikan sesuatu sehingga bisa dipahami semua orang, maka menulis akan jadi sangat sulit.
Itu baru salah satu contoh kesulitan dalam menulis. Dalam masalahku sendiri, aku menyadari bahwa sebenarnya masalah terbesarku dalam menulis bukanlah soal teknik menulis, pemahaman bahasa, atau tetek bengek lainnya. Persoalannya terletak pada keberanian untuk menulis. Ya, menulis utamanya memang perlu keberanian. Itulah sebabnya hampir semua penulis menyarankan agar orang belajar dengan langsung menulis, tanpa terlalu khawatir dulu dengan pengetahuan-pengetahuan teknis soal menulis. Banyak orang yang punya kemampuan menulis yang baik tapi tidak cukup berani untuk menulis. Tapi memangnya apa sih yang harus ditakutkan dari sekadar menulis?
Jacques Derrida, seorang tokoh filsafat terkemuka yang mencetuskan istilah dekonstruksi, pernah mengaku bahwa ia kerap dilanda mimpi buruk gara-gara tulisan yang ia karang. Dalam mimpi-mimpinya itu ia kerap terbayang, “Betapa bodohnya dirimu menulis seperti ini, menyerang gagasan itu, dan menentang si fulan dan fulanah!” Pada saat menulis, Derrida tidak merasakan ketakutan apa-apa selain kebutuhan untuk menuangkan gagasannya. Tapi sesudah itu, ia diserang perasaan takut. Aku paham betul perasaan seperti itu, dan lama-kelamaan akhirnya aku malah merasa takut untuk menulis karena terbayang perasaan yang akan kualami selepas menulis.
Sekali lagi, menulis butuh keberanian. Bisa kita katakan bahwa menulis adalah suatu bentuk perlawanan atas rasa takut. Keberhasilan kita dalam menulis, entah benar atau salah, juga dapat dinilai sebagai suatu kemenangan atas rasa takut kita. Sedikitnya ada tiga hal yang mesti kita lawan saat menulis.
Pertama, rasa takut terhadap apa yang kita tulis. Kasus Prita Mulyasari yang santer tahun 2009 silam menunjukkan pentingnya hal ini. Aku yakin, dalam benak Prita saat menulis bukannya tak pernah terbesit perasaan gentar untuk mengkritik apa yang dia rasa tidak adil. Tapi ia tetap maju. Tulisannya tersebar luas dan ia harus menghadapi serentetan konsekuensi atas keberaniannya menulis dari mulai diancam, digugat, hingga dipenjarakan. Toh pada akhirnya semua orang tahu dan mengerti apa yang salah dari penegakan hukum di negeri ini.
Kedua, rasa takut terhadap orang yang membaca tulisan kita. Kita sudah mengerti bahwa pada dasarnya semua orang akan membaca apa yang kita tulis. Tentunya tidak semua orang akan mengerti dan sepakat dengan apa yang kita tulis. Sebanyak apapun disclaimer atau referensi yang kita bubuhkan dalam tulisan, pada akhirnya kita akan harus bertanggung jawab atas apa yang kita tulis. Contohnya bisa kita amati di kasus yang populer belakangan: Anggito Abimanyu harus mundur dari jabatan akademiknya gara-gara ia lupa menambahkan referensi pada tulisannya.
Ketiga, rasa takut terhadap diri sendiri. Sebenarnya inilah rintangan utama yang harus diatasi saat menulis. Lawan utama dari menulis sebenarnya tidak lain adalah diri kita sendiri. Mungkin tidak semua orang merasakan rasa takut itu, karena rintangan menulis dari diri sendiri itu bentuknya macam-macam. Ada yang mungkin merasakan keengganan, kemalasan, atau semata-mata berpikir bahwa dirinya tidak mampu menulis. Tapi pada hakikatnya semua itu bermula dari rasa takut: takut kehabisan waktu, takut tidak bisa menarasikan sesuatu dengan baik, takut untuk mencari informasi yang benar, dan lain-lain.
Aku teringat sebuah saran dari seorang profesor University of Birmingham yang meski di luar konteks tapi tetap relevan: “feel the fear, then do it anyway.”
Reblogged this on Out of Cave and commented:
“Feel the fear, then do it anyway.”