Teman-teman tentu sudah pernah dengar soal film Dua Garis Biru yang diboikot sementara orang karena kontennya dianggap mempromosikan “seks bebas.” Tapi, percayalah bahwa film besutan Gina S. Noer ini bukan cuma itu. Justru ia jauh dari soal selangkangan. Yang lebih menarik di dalamnya adalah pesan bahwa anak, orang tua, dan keluarga itu bukan perkara sembarangan. Soal ini perlu kita ingat, diskusikan, bahkan perdebatkan terus-menerus.
Cerita Dua Garis Biru bukan hanya soal hubungan sepasang remaja SMA bernama Bima (Angga Aldi Yunanda) dan Dara (Adhisty Zara a.k.a Zara JKT48) yang bermain-main dengan seks dan berujung menanggung beban dan malu hamil di luar nikah saja. Ada pula cerita soal garis hubungan anak dan ayah-ibunya, juga soal garis yang memisahkan dua kasta sosial yang berbeda.
Adegan Bima dan Dara bercumbu hanya disajikan beberapa menit saja di awal film. Bahkan bagian tentang mereka bermain kelamin (yang toh itu cuma sangat tersirat) muncul sebelum title card film ini ditampilkan ke pemirsa. Ya memang cerita sebenarnya film ini bukan soal esek-esek alias skidipapap sawadikap belaka.
Masalah utamanya muncul setelah hamilnya Dara dan Bima yang membuahinya diketahui oleh guru mereka, para teman, dan tentunya orang tua masing-masing. Ayahanda dan ibunda Dara (diperankan oleh Dwi Sasono dan Lulu Tobing) kaget luar biasa serta memaki-maki Bima yang selama ini mereka anggap cowok baik-baik. Bapak dan Ibu Bima (diperankan oleh Arswendi Bening dan Cut Mini Theo) pun juga sedih tiada karuan terhadap kelakuan putra mereka. Tapi mau kesal dan mengamuk bagaimana pun percuma, sebab janin sudah telanjur terkandung di rahim Dara. Lantas apakah kedua keluarga yang berbeda kelas sosial bisa menyelesaikan tragedi ini? Apa yang harus dilakukan orang tua Bima dan Dara yang sudah kadung luput mendidik anaknya? Bagaimana harusnya hubungan Dara dan Bima yang mau-tak mau harus menjadi orang tua atas anak mereka?
Kita mungkin sudah beberapa kali disuguhi tontonan soal bahaya seks di luar nikah, apalagi yang tak dibarengi literasi yang memadai soal reproduksi. Namun semuanya hanya berhenti di soal hamilnya saja, aborsinya saja, malu terhadap tetangga dan handai-taulan saja, atau bahkan sekalian mengikut-ikutkan azab Tuhan supaya penonton ngeri sendiri. Dua Garis Biru jauh dari stigma-stigma seperti ini terhadap pasangan yang hamil di luar nikah berikut keluarga mereka.
Justru film ini berusaha mencari jalan keluar dari persoalan yang sudah apa lacur terjadi. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Dara yang sudah berprestasi dan rajin belajar hangukmal supaya bisa kuliah di Korea malah dilarang bersekolah lantaran hamil. Bima yang keluarganya sudah miskin-papa dan sulit cari uang malah dipaksa berpikir cara menafkahi satu orok yang belum pula lahir. Belum lagi masalah bahwa orang tua yang sudah kaya pun masih sulit mendidik anak, apalagi orang tua yang miskin. Mau tidak mau, orang tua Zara dan Bima harus berdamai dengan musibah ini, dan yang lebih penting lagi, dengan anak-anak mereka yang berbuat dosa. Keluarga Zara dan Bima pun harus juga belajar hidup berdampingan walaupun pola pikir dan nasib ekonomi jauhnya bagai bumi dan langit.
Tampaknya cerita sekompleks ini tidak akan bisa menarik perhatian pemirsa di Indonesia tanpa tangan dingin sutradaranya. Singkatnya, dari segi film-making, tayangan ini luar biasa indahnya. Alur cerita disajikan tidak terburu-buru dan tidak pula bertele-tele, sehingga durasi film yang nyaris 2 jam pun tidak terasa membosankan dan tidak pula kurang. Dialog antara pasangan married by accident Dara dan Bima maupun orang tua masing-masing bisa disajikan dengan realistis serta manusiawi. Tidak ada juga akting yang over the top maupun yang kesannya setengah-setengah. Di sini baik para aktor senior (para orang tua) dan junior (Bima dan Zara) patut diacungi dua jempol. Kita betul-betul seolah diajak menyaksikan konflik antar dua kekasih, antar orang tua, dan antara orang tua dengan putra-putrinya. Yang juga aneh tapi juga hebat adalah dengan premis cerita seberat ini pun, penulis skrip masih juga sempat menyelipkan guyonan-guyonan, yang bisa mencairkan suasana di tengah-tengah emosi pemirsa yang sedang panas-dingin.
Aspek suara didukung lagu-lagu soft pop dari musisi macam Naif dan Banda Neira, yang membangkitkan nuansa melankolis di sepanjang film ini.
Teknik pengambilan gambar juga menguatkan emosi yang dibangun dalam Dua Garis Biru. Contoh paling kentaranya adalah adegan di UKS sekolah yang diambil dalam satu long take. Dalam satu adegan itu saja kita bisa melihat konflik-konflik yang terjadi antara para karakternya. Aku yakin adegan ini nantinya bisa dipelajari mahasiswa-mahasiswa yang belajar soal film. Ada juga adegan-adegan lain yang menggambarkan suasana batin Zara kala mengandung dan kecemasannya menyapa bayinya yang ada dalam kadungan.
Bagaimana naluri keibuan muncul pada gadis yang bahkan baru kenal cinta, bagaimana rasa ingin melindungi terbit dari lubuk hati cowok yang bahkan masih ingusan dan naif, dan bagaimana figur ayah dan ibu yang mestinya sempurna mau berterus terang mengakui kegagalan mereka dalam mengasuh anak, semuanya terpampang jelas di tayangan ini.
Untuk menutup ulasan ini, bisa dibilang bahwa meski film Dua Garis Biru sudah melampaui film sejenisnya dalam mengangkat soal seks di luar nikah, sejatinya ia masih meneruskan kebijaksanaan lama bahwa remaja sebaiknya tidak coba-coba bermain dengan kelamin sebelum menikah. Dalam kajian pendidikan seks atau sex education, film ini pada akhirnya mengajak para pemuda untuk mengambil sikap abstinence, atau tidak berhubungan seks sebelum menikah. Apakah teman-teman setuju atau tidak dengan ini, tentu aku tidak bisa memaksa sebab itu terpulang kepada suara hati masing-masing. Yang jelas, Dua Garis Biru adalah tontonan yang penting untuk mengetes suara hati tersebut.
Hal lain lagi yang jelas akan terpikir kala menonton film ini adalah bahwa menjadi orang tua itu bukan hanya soal bikin anak, dan bahwa menjadi anak itu bukan hanya soal menurut kata orang tua. Komunikasi antara orang tua dan anak sebagai satu keluarga itu penting, sebab meminjam ujaran ibunya Zara, “Mengandung itu cuma sekali. Jadi orang tua itu selamanya.”
Be First to Comment