Skip to content

Category: Reviews

Menjadi (2022) [respons pembaca]

Aslinya ditulis di Goodreads: https://www.goodreads.com/review/show/5087388772. Dipublikasikan ulang dengan beberapa tambahan dan perbaikan redaksi.

  1. Jarang ada orang Indonesia yang bisa nulis dengan perspektif selebar ini. Orang-orang “intelektual” di sini seringkali sudah punya ranah spesialisasi masing-masing. Akibatnya, meski tulisan-tulisan mereka banyak yang bisa tajam menghujam jantung persoalan, namun tidak terlalu menarik buat orang yang bukan pemerhati subjek yang dibahas, sebutlah di bidang-bidang sains, ekonomi, sosiologi, atau kebudayaan. Bukunya Afu ini tampak sudah bebas dari sekat-sekat keilmuan yang kaku itu, dan dari situ dia bisa meramu sebuah “cerita” yang unik, mengupas masalah-masalah masyarakat dengan cermat, tapi juga dengan sisi manusiawi yang semua orang bisa nyambung.
  2. Secara umum, buku ini terbagi jadi 3 bagian yang bisa menggambarkan urut-urutan proses “menjadi” yang diangkat sebagai judul. Bagian A (Umbi, Serambi, Bahari) berfokus pada mengapa dan bagaimana berpikir kritis, baik untuk memahami diri sendiri, memahami masalah, maupun memahami orang lain (empati). Bagian B (Membuka Jendela Pemikiran) banyak mengupas proses berpikir Afu dalam menanggapi tarik-menarik permasalahan-permasalahan hidup yang penting menurut perspektifnya (privilese vs. ketimpangan, nasionalisme vs. humanisme, ekonomi vs. lingkungan). Sementara itu, Bagian C (Bergerak dengan Kaki) berisi langkah-langkah dan rambu-rambu yang bisa diikuti untuk mewujudkan perubahan di dunia sebagai tahap final dalam “menjadi.”
  3. Di halaman 127, Afu menyebut tentang “membangun kembali angkatan intelektual Indonesia” yang sempat hilang lantaran Orde Baru. Mirisnya, sampai 24 tahun paska robohnya Orde Baru dan tegaknya Reformasi ini, rasa-rasanya masih belum ada “angkatan intelektual Indonesia” itu, kaum public intellectuals dari orang-orang di generasi Y dan Z. Tapi, membaca Menjadi ini membuatku agak optimis kalau mungkin kelompok orang-orang intelektual itu akan muncul dengan buku semacam ini sebagai pemicunya.
  4. Aku suka banget dengan banyaknya alat-alat berpikir atau mental models yang dikenalkan di Menjadi ini, seperti sistem I dan II dalam berpikir, tahap-tahap pendewasaan-nya Kegan, konsep need for cognitive closure, eksternalitas, ekonomi donat, sampai dikotomi reformis-revolusionis dalam manajemen perubahan. Rasa senangku ketika dikenalkan perkakas-perkakas konsep ini buat memperbaiki metode berpikirku mungkin sama dengan bapak-bapak habis belanja dari toko bangunan berupa toolbox yang isinya lengkap banget buat menunjang segala aktivitas pertukangan di rumah.
  5. Walaupun buku ini penuh dengan pergumulan dalam proses “menjadi” yang filosofis/etis/spiritual nan tidak duniawi, tapi sebetulnya Menjadi juga sekaligus bisa dipakai sebagai panduan yang bagus buat menentukan arah karir bekerja, rencana studi, esai kontribusi dan personal statement buat aplikasi beasiswa, bahkan mungkin rencana terjun ke politik praktis bagi yang memang berminat ke arah sana. Hehehe. Alat-alat berpikir dalam buku ini memungkinkan untuk diterapkan ke hal-hal seperti tadi, terutama di bagian C. Jadi, ini buatku satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa berpikir kritis atau refleksi diri atau berfilsafat atau “menjadi” itu bukan hanya kegiatan waktu senggang untuk menunjukkan privilese saja (mungkin istilah yang tepat untuk ini navel-gazing). Ia punya nilai yang sangat praktis dan sangat bisa diterapkan sebagai siasat bertahan hidup dan, pada akhirnya, untuk memenangkan the game of life.
  6. Pada akhirnya, sesuai anjuran Afu sendiri di akhir buku, aku menemukan titik-titik perseberangan pendapat. Titik perbedaan pendapatku yang terbesar adalah dari soal proses “menjadi” yang digambarkan linear sesuai dengan alur hidup. Buku ini ditulis dengan asumsi bahwa ada titik awal dan akhir yang jelas dalam proses “menjadi.” Ini bisa terlihat dari proses dialektika Hegelian yang dikutip Afu dengan tesis-antitesis-sintesisnya. Tapi, bisa juga kita katakan kalau proses pengembangan diri tidaklah seruntut itu. Afterall, life is messy, paradoxical, and full of randomness. Banyak hal yang tidak dapat terjelaskan dalam bentuk narasi (re: narrative fallacy, fooled by randomness), apalagi kalau urusannya dengan pengalaman pribadi (re: survivorship bias, Anna Karenina principle).
  7. Tentu saja, tidak bakal ada buku yang bisa menjelaskan semua hal di dunia ini alias the theory of everything. But, for me, the beauty of Menjadi is that for all its useful bits of knowledge and tools for critical thinking, it is ultimately NOT intended as a prescription of how to lead a good life, but rather as a call to action to start/restart our process of being/”menjadi”. Ini adalah hasil refleksi penulisnya atas proses “menjadi”-nya, yang bisa jadi sesuai ataupun tidak dengan situasi personal masing-masing pembaca. Akupun jadi merasa terpanggil untuk merespons apa yang sudah ditulis Afu dengan refleksi-refleksiku tentang prosesku sendiri dalam “menjadi.”

Keterangan gambar: Gambar fitur (featured image) diambil dari laman Goodreads untuk buku Menjadi (2022) (https://www.goodreads.com/book/photo/63068161-menjadi).

Leave a Comment

Dua Garis Biru (2019): Bukan Film Seks

Teman-teman tentu sudah pernah dengar soal film Dua Garis Biru yang diboikot sementara orang karena kontennya dianggap mempromosikan “seks bebas.” Tapi, percayalah bahwa film besutan Gina S. Noer ini bukan cuma itu. Justru ia jauh dari soal selangkangan. Yang lebih menarik di dalamnya adalah pesan bahwa anak, orang tua, dan keluarga itu bukan perkara sembarangan. Soal ini perlu kita ingat, diskusikan, bahkan perdebatkan terus-menerus.

Cerita Dua Garis Biru bukan hanya soal hubungan sepasang remaja SMA bernama Bima (Angga Aldi Yunanda) dan Dara (Adhisty Zara a.k.a Zara JKT48) yang bermain-main dengan seks dan berujung menanggung beban dan malu hamil di luar nikah saja. Ada pula cerita soal garis hubungan anak dan ayah-ibunya, juga soal garis yang memisahkan dua kasta sosial yang berbeda.

Sumber: Trailer film Dua Garis Biru yang ditangkap layar oleh Provoke! Online

Adegan Bima dan Dara bercumbu hanya disajikan beberapa menit saja di awal film. Bahkan bagian tentang mereka bermain kelamin (yang toh itu cuma sangat tersirat) muncul sebelum title card film ini ditampilkan ke pemirsa. Ya memang cerita sebenarnya film ini bukan soal esek-esek alias skidipapap sawadikap belaka.

Masalah utamanya muncul setelah hamilnya Dara dan Bima yang membuahinya diketahui oleh guru mereka, para teman, dan tentunya orang tua masing-masing. Ayahanda dan ibunda Dara (diperankan oleh Dwi Sasono dan Lulu Tobing) kaget luar biasa serta memaki-maki Bima yang selama ini mereka anggap cowok baik-baik. Bapak dan Ibu Bima (diperankan oleh Arswendi Bening dan Cut Mini Theo) pun juga sedih tiada karuan terhadap kelakuan putra mereka. Tapi mau kesal dan mengamuk bagaimana pun percuma, sebab janin sudah telanjur terkandung di rahim Dara. Lantas apakah kedua keluarga yang berbeda kelas sosial bisa menyelesaikan tragedi ini? Apa yang harus dilakukan orang tua Bima dan Dara yang sudah kadung luput mendidik anaknya? Bagaimana harusnya hubungan Dara dan Bima yang mau-tak mau harus menjadi orang tua atas anak mereka?

Sumber: Trailer film Dua Garis Biru yang ditangkap layar oleh Provoke! Online

Kita mungkin sudah beberapa kali disuguhi tontonan soal bahaya seks di luar nikah, apalagi yang tak dibarengi literasi yang memadai soal reproduksi. Namun semuanya hanya berhenti di soal hamilnya saja, aborsinya saja, malu terhadap tetangga dan handai-taulan saja, atau bahkan sekalian mengikut-ikutkan azab Tuhan supaya penonton ngeri sendiri. Dua Garis Biru jauh dari stigma-stigma seperti ini terhadap pasangan yang hamil di luar nikah berikut keluarga mereka.

Justru film ini berusaha mencari jalan keluar dari persoalan yang sudah apa lacur terjadi. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Dara yang sudah berprestasi dan rajin belajar hangukmal supaya bisa kuliah di Korea malah dilarang bersekolah lantaran hamil. Bima yang keluarganya sudah miskin-papa dan sulit cari uang malah dipaksa berpikir cara menafkahi satu orok yang belum pula lahir. Belum lagi masalah bahwa orang tua yang sudah kaya pun masih sulit mendidik anak, apalagi orang tua yang miskin. Mau tidak mau, orang tua Zara dan Bima harus berdamai dengan musibah ini, dan yang lebih penting lagi, dengan anak-anak mereka yang berbuat dosa. Keluarga Zara dan Bima pun harus juga belajar hidup berdampingan walaupun pola pikir dan nasib ekonomi jauhnya bagai bumi dan langit.

Sumber: Trailer film Dua Garis Biru yang ditangkap layar oleh Provoke! Online

Tampaknya cerita sekompleks ini tidak akan bisa menarik perhatian pemirsa di Indonesia tanpa tangan dingin sutradaranya. Singkatnya, dari segi film-making, tayangan ini luar biasa indahnya. Alur cerita disajikan tidak terburu-buru dan tidak pula bertele-tele, sehingga durasi film yang nyaris 2 jam pun tidak terasa membosankan dan tidak pula kurang. Dialog antara pasangan married by accident Dara dan Bima maupun orang tua masing-masing bisa disajikan dengan realistis serta manusiawi. Tidak ada juga akting yang over the top maupun yang kesannya setengah-setengah. Di sini baik para aktor senior (para orang tua) dan junior (Bima dan Zara) patut diacungi dua jempol. Kita betul-betul seolah diajak menyaksikan konflik antar dua kekasih, antar orang tua, dan antara orang tua dengan putra-putrinya. Yang juga aneh tapi juga hebat adalah dengan premis cerita seberat ini pun, penulis skrip masih juga sempat menyelipkan guyonan-guyonan, yang bisa mencairkan suasana di tengah-tengah emosi pemirsa yang sedang panas-dingin.

Sumber: Trailer film Dua Garis Biru yang ditangkap layar oleh Provoke! Online

Aspek suara didukung lagu-lagu soft pop dari musisi macam Naif dan Banda Neira, yang membangkitkan nuansa melankolis di sepanjang film ini.

Teknik pengambilan gambar juga menguatkan emosi yang dibangun dalam Dua Garis Biru. Contoh paling kentaranya adalah adegan di UKS sekolah yang diambil dalam satu long take. Dalam satu adegan itu saja kita bisa melihat konflik-konflik yang terjadi antara para karakternya. Aku yakin adegan ini nantinya bisa dipelajari mahasiswa-mahasiswa yang belajar soal film. Ada juga adegan-adegan lain yang menggambarkan suasana batin Zara kala mengandung dan kecemasannya menyapa bayinya yang ada dalam kadungan.

Bagaimana naluri keibuan muncul pada gadis yang bahkan baru kenal cinta, bagaimana rasa ingin melindungi terbit dari lubuk hati cowok yang bahkan masih ingusan dan naif, dan bagaimana figur ayah dan ibu yang mestinya sempurna mau berterus terang mengakui kegagalan mereka dalam mengasuh anak, semuanya terpampang jelas di tayangan ini.

Sumber: Trailer film Dua Garis Biru yang ditangkap layar oleh Provoke! Online

Untuk menutup ulasan ini, bisa dibilang bahwa meski film Dua Garis Biru sudah melampaui film sejenisnya dalam mengangkat soal seks di luar nikah, sejatinya ia masih meneruskan kebijaksanaan lama bahwa remaja sebaiknya tidak coba-coba bermain dengan kelamin sebelum menikah. Dalam kajian pendidikan seks atau sex education, film ini pada akhirnya mengajak para pemuda untuk mengambil sikap abstinence, atau tidak berhubungan seks sebelum menikah. Apakah teman-teman setuju atau tidak dengan ini, tentu aku tidak bisa memaksa sebab itu terpulang kepada suara hati masing-masing. Yang jelas, Dua Garis Biru adalah tontonan yang penting untuk mengetes suara hati tersebut.

Hal lain lagi yang jelas akan terpikir kala menonton film ini adalah bahwa menjadi orang tua itu bukan hanya soal bikin anak, dan bahwa menjadi anak itu bukan hanya soal menurut kata orang tua. Komunikasi antara orang tua dan anak sebagai satu keluarga itu penting, sebab meminjam ujaran ibunya Zara, “Mengandung itu cuma sekali. Jadi orang tua itu selamanya.”

Leave a Comment

[REVIEW] TENGKORAK – Should You Watch It?

Aku bingung waktu pertama kali nonton trailer film Tengkorak ini. Isinya rekaman-rekaman berita (bohongan) tentang penemuan tengkorak manusia yang tingginya 1,8 km di Yogyakarta dan potongan-potongan adegan aksi dan dialog-dialog nan bikin nderedeg dicampur dengan komentar-komentar tentang makna menjadi manusia. Tapi justru karena bingung itulah aku akhirnya bersemangat sekali buat nonton.

Di hari pertama penayangan pun (hari ini, 18 Oktober), se-Surabaya cuma ada 2 bioskop yang memainkan film garapan Yusron Fuadi ini. Kalo nggak cepat-cepat nonton, pasti bakal lupa dan akhirnya kehilangan kesempatan buat menyaksikan sendiri film yang katanya masuk dalam jajaran sinema fiksi ilmiah Indonesia. Bahkan, di trailer terpampang besar-besar testimoni Joko Anwar: “mindblowing ending!”

Seberapa mindblowing sih memangnya film Tengkorak ini?

Bingung-bingung sedap

Jadi ceritanya, setelah gempa di Yogyakarta tahun 2006 lalu penduduk di suatu pegunungan di Bantul menemukan wajah tengkorak yang sangat besar. Akhirnya, tersiar kabar bahwa itu kerangka manusia yang sangat besar, yang diperkirakan oleh salah satu ahli tingginya mengerdilkan Patung Liberty.

Pemerintah Indonesia menutup-nutupi penemuan ini, bahkan tak segan menembak siapa pun yang nekat ingin menyaksikan sendiri. Bukan cuma itu, PBB bahkan menawar supaya tengkorak ini dihancurkan dengan imbalan mengampuni semua utang negara dan memberi kompensasi 23 milyar dolar. Lha kok?

Sisanya tidak akan saya ceritakan panjang lebar supaya teman-teman pembaca ikut bingung. Hehehe. Intinya, sepanjang film penonton akan mengikuti perjalanan dari tiga karakter yang bernama Ani, Yos, dan Jaka. Seiring cerita interaksi Ani, Yos, dan Jaka mengantar mereka pada makna sebenarnya dari kemunculan bukit tengkorak.

2.jpg
Ani dan Yos. (IDNTimes.com)

Susahnya jadi film indie

Aktor-aktor yang main di film tengkorak semuanya orang baru (kecuali yang cameo seperti Darwis Triadi dan beberapa orang lain yang aku kurang tahu). Penggarapannya pun bukan oleh studio, melainkan kampus yaitu Fakultas Vokasi UGM. Tentu wajar kalau latar, asal karakter, dan tokoh-tokoh yang muncul pun berbau UGM dan Yogyakarta.

Tugas tim film Tengkorak ini berat, kalau tidak mau dikata mendekati mustahil. Aku bilang begitu mengingat premis film ini yang science fiction. Susah sekali buat film yang terbilang indie ini buat mendanai syuting-syuting di berbagai tempat yang selayaknya. Lebih susah lagi buat memenuhi kebutuhan akan special effects dan CGI, sehingga di film ini efeknya pun kurang halus. Banyak shoot lokasi yang terlihat ditempel ke latar belakang via manipulasi komputer.

1
Tampak depan Bukit Tengkorak. (Liputan6.com)

Banyak lagi yang menambah kesan indie di film ini. Salah satunya kostum dan para pemain figuran yang tampak sangat simpel. Banyak tempat syuting yang diakali sedemikian rupa sehingga bisa menyerupai tempat asli (misal laboratorium atau istana presiden). Gambar di layar pun terlihat sangat grainy. Sekali lagi, maklumlah karena toh film ini sponsornya universitas, bukan perusahaan-perusahaan besar.

Dari segi penceritaan, penonton terus-terusan dibuat bingung sepanjang film. Yang bikin bingung bukan hanya ide ceritanya saja seperti yang dijelaskan tadi, namun juga pembawaan penonton menuju inti cerita sendiri. Aku bahkan nggak tahu kapan karakter Ani dan Yos ini bertukar nama. Aku nggak tahu kenapa mereka akhirnya bisa punya keinginan untuk datang dan memecahkan misteri bukit tengkorak. Bagian-bagian film ini seakan terputus satu sama lain.

Tapi, di samping ketidaksinkronan cerita ini, banyak sekali faktor lebih yang bikin aku tetap betah menonton.

Pertama adalah ide ceritanya sendiri. Sangat jarang ada film fiksi ilmiah di Indonesia. Novel pun jarang. Yang aku ingat mungkin hanya Modus Anomali (2012), yang itu pun aku sendiri nggak nonton (belum suka nonton ke bioskop waktu itu). Langkah mengangkat ide cerita seperti ini kuharap bisa menyegarkan jagat film Indonesia, yang sekarang ini sudah mulai banyak meningkat dibandingkan beberapa tahun lalu dari segi banyaknya film-film bermutu.

Yang kedua, dialog antar karakter alami sekali. Mungkin ini karena dialek Yogyakarta yang dipakai, terutama oleh Yos dan Jaka. (Kalimat yang menarik buatku, mohon maaf: “rupamu iki kementhu” yang cuma dikasih terjemahan “rupamu menawan.”) Relasi antar tiga karakter utama ini asyik diikuti untuk ukuran film fiksi ilmiah. Sayangnya, kurang matang aja sih pendalamannya.

Yang ketiga adalah ending ceritanya. Jujur aku sendiri udah menebak sih bakal gimana akhirnya, dan tebakanku bener. Haha. Dari premisnya aja aku langsung ingat anime Neon Genesis Evangelion. Unsur-unsur ceritanya juga banyak yang mirip sih, walaupun ya pastinya nggak ada pilot dan Eva-nya sendiri. Jangan-jangan Yusron Fuadi ini juga nonton Eva? Bagaimanapun, memang akhir ceritanya cukup bikin syok sih. Penonton yang teliti mungkin akan bisa melihat petunjuk ke arah ending ini, misalnya ketika seorang karakter membuka-buka kitab-kitab suci, dan ayat-ayat yang muncul mengarah ke tema tertentu.

Kurasa film ini lebih cocok jadi web series daripada film feature. Bagian-bagian awalnya bisa jadi episode pertama yang bikin orang penasaran, sementara ending-nya akan bagus dibuat episode final yang bikin terperanjat. Toh secara nilai produksi, kalau jadi web series film Tengkorak ini akan sangat greget. Eksplorasi karakternya pun juga akan kuat, ditambah kesempatan mengembangkan cerita yang lebih lega. Tapi, mungkin ada pertimbangan sendiri dari pembuatnya untuk menjadikan Tengkorak sebagai feature film saja.

3
Evangelion dengan kearifan lokal? (Hipwee.com)

So, should you watch it?

Untuk ukuran film fiksi ilmiah, apa yang dilakukan para pembuat film Tengkorak ini tergolong sangat berani, kalau tidak mau dibilang nekat! Bahkan, di negara lain yang lebih maju pun pengembangan film fiksi ilmiah masih berjalan lambat. Sebagai contoh, pembuat film di China beberapa tahun ini sedang mengembangkan film adaptasi dari novel fiksi ilmiah terkenal Three Body Problem. Penggarapannya sudah dari tahun 2014, namun sampai hari ini ia masih macet di fase post-production. Dalam jangka waktu yang kurang lebih sama, hari ini kita bisa nonton Tengkorak di bioskop, yang dibuat di negara yang PDB-nya hanya sepersekian China. Ini patut disyukuri dan dibanggakan. Sekalipun banyak rumpang di sana-sini, tapi tim dari dosen dan mahasiswa Vokasi UGM ini bisa menghadirkan hiburan yang layak tonton.

Sebagai hiburan, Tengkorak mungkin bukan tontonan yang membuat orang senang. Itulah mengapa mungkin film ini tidak bakal direspons penonton pada umumnya, yang pergi ke bioskop buat melepas penat. Tapi, buat mereka yang suka dengan cerita-cerita baru dan tayangan-tayangan yang tidak bikin bosan, then heck yes they should try this movie.

Leave a Comment

Review: The Translator’s Invisibility: A History of Translation

The Translator's Invisibility: A History of Translation
The Translator’s Invisibility: A History of Translation by Lawrence Venuti

My rating: 3 of 5 stars

I picked the book on the wrong time. This is supposed to be a very theoretical book on translation studies aimed for advocating for the paradigm of foreignization. I, barely understanding scholarly discussion about translation, was frequently lost inside Venuti’s dense prose and near-eternal paragraphs.

Venuti argued that translators have too long underestimated their own role in shaping history by rendering themselves “invisible” in the translation process. He challenged mainstream idea (or so he said) that a good translation is a translation that does not read like a translation. This acceptance about translation leads to a fluent translation: a translation that is readable but conceals differences between the author’s and the translator’s culture. As a result, readers of the translated work think that they are directly interacting with the author while in fact they are accessing the original work through the ideological lenses of the translator. Venuti condemns this phenomenon as a kind of cultural opression where the author’s deeply-held values are discarded and replaced with the target-language culture’s presuppositions. A notable example is when a Roman text telling intimate interactions between two males was interpreted as homosexual activities in English translation during the Victorian era.

His “call for action” emphasizes the need for translators to preserve some kind of “strangeness” in their translators so that readers realize that they are reading something from a different mind. In some cases, calls like this makes sense since there are many translations that act as though as they are the author’s words in another language rather than the near-original work of the translator, such as the famous Fitzgerald’s “translation” of Omar Khayam’s Rubaiyat. However, in other cases Venuti just seemed to be paranoid of threats of cultural opression and how translators seem to be neglected.

I might need to read this book sometime later after having some good grasp of the fundamental issues in translation studies in order to enjoy the full depth’s of Venuti’s argument.

View all my reviews

2 Comments
In word we trust