Skip to content

Category: Life updates

Empat Tahun ke Belakang

Lanjutan dari Edisi Tiga Tahun.

[2008]

Jika kamu bisa menjaga hati, ketika semua yang kamu punya menghilang dan semua orang menyalahkanmu;

jika kamu bisa percaya terhadap dirimu sendiri di saat semua orang meragukanmu dan memberi kelonggaran pada keraguan mereka;

jika kamu dapat bermimpi tanpa membuatnya jadi raja;

jika kamu bertemu dengan kemenangan dan bencana dan memperlakukan mereka dengan sama;

maka untukmu adalah dunia dan semua yang ada di dalamnya,

dan selebihnya kamu akan menjadi seorang manusia.

Dikopas dari blog seorang alumni yang belum pernah saya temui  (?). Mohon izin ya, Mas. :mrgreen:

Leave a Comment

Edisi Tiga Tahun

[2009]

Saya belajar bahwa dunia dan waktu akan terus berputar, dan saya ada di dalam mereka. Maka langkah demi langkah saya tidak akan sama setiap waktu dan di manapun saya berada.

Saya belajar nantinya saya akan bertemu dengan berbagai manusia yang berbeda-beda. Maka saya harus memutuskan, apakah akan melebur dengan mereka atau membaur dengan apa adanya diri saya.

Saya belajar untuk bisa menjadi apa yang saya mau, bukan untuk diri saya tapi untuk mereka dan dunia. Dan bahwa menjadi bijaksana adalah sesuatu yang harus saya kuasai di tengah-tengah dunia yang penuh dengan benar dan salah. Maka kebijaksanaan itu akan membawa saya menjadi manusia yang hidup dan tidak lemah.

[2010]

Menjadi pion catur yang terus maju, itulah ibarat aku. Setiap pijakanku adalah belajar dan berlatih. Terus maju, menapaki kotak-kotak baru dan menambah ilmu.

Jalanku adalah panjang dan berliku, sementara langkahku hanya mampu satu demi satu. Tapi tekadku tidak pernah ragu. Bahkan jika nanti aku terkalahkan takdir, akan ku pastikan pengorbanan itu membuka jalan untuk penerusku.

Aku bukanlah pemimpin terbesar, bukan manusia terhebat. Tapi pasti kan kutulis kebajikan-kebajikan di atas pasir. Agar angin keikhlasan menerbangkannya jauh dari ingatan. Agar ia terhapus, menyebar bersama butir pasir ketulusan. Karena aku bukanlah apa-apa melainkan seorang hamba.

Dengan nama Tuhanku, aku memulai perjuangan ini..

[2011]

Aku akan terus membangun jejakku, menjalani peran sebagai manusia pembelajar. Bersama manusia lainnya menggerakkan dunia yang dinamis. Bagai roda-roda gigi yang bersinergi. Menegakkan kerja besar: memperbaiki diri pribadi dan juga umat ini.

Meski beratnya perjuangan sering membuatku lelah, tapi Tuhan tahu akan kelelahanku. Maka aku akan berhenti sejenak sebelum melanjutkan perjalananku, untuk menengok keadaan jiwa dan memompa semangatku.

Aku akan berusaha karena kutahu dan percaya: sesungguhnya kehidupan itu hanyalah suatu permainan yang terus berputar. Walau kadang aku berada di atas atau di bawah

Namun aku yakin, sekecil apapun kebaikan yang kuperjuangkan, aku akan ikut membawa perubahan besar untuk peradaban dunia.

__________
Dua yang teratas dikopas dari blog-nya Mbak Vivin yang lama.

Leave a Comment

Menjadi Apatis dan Hedonis

Kita adalah siswa yang dipenuhi istilah dan jargon. Kontribusi, cinta almamater, Smalane sejati, apatisme, hedonisme, kata-kata semacam itu kita jadikan bahan perbincangan, bahan renungan, dan sering juga bahan pengaderan.

Dan sudah pernah kukatakan sebelumnya, banyak yang suka memaknai istilah-istilah semacam ini secara buta. Waktu ada ribut-ribut soal kepanitiaan yang kekurangan dana, apatis dan hedonis ini terkesan dijadikan kambing hitam. “Ini gara-gara Smalane sekarang banyak yang apatis dan hedonis,” kita sering mengatakan seperti itu.

Orang-orang yang lebih suka nge-game atau bersantai di mall daripada mengikuti kegiatan organisasi kita sebut sebagai hedonis.

Orang-orang yang enggan membayar urunan untuk kepanitiaan atau ikut meramaikan lapangan tengah atau venue even OSIS kita sebut sebagai apatis.

Bahkan, apatis dan hedonis ini dijadikan ejekan. Aku pernah mendengar ada yang memanggil dengan kata-kata, “he, apatis!”

Sudahkah kita tahu arti dari apatis dan hedonis?

Anggaplah arti harfiah dari apatis itu tidak peduli dan hedonis itu hura-hura. Tapi apa pemahaman kita sudah benar? Belum tentu. Bisa jadi kita terbias, menganggap kita sendiri lebih tinggi dengan merasa tidak menjadi apatis dan hedonis yang suka kita capkan ke orang-orang yang menurut kita hatinya kurang peka itu.

Mungkin kita lebih merasa tinggi dari mereka yang kita katai apatis dan hedonis. Merasa lebih cinta almamater dari mereka. Merasa  lebih punya jiwa berkontribusi daripada mereka. Merasa lebih berguna daripada mereka yang kita anggap hidupnya percuma di sekolah ini.

Sungguh, kita harus malu kalau beranggapan seperti itu. Apakah kita sendiri sudah tidak apatis dan hedonis?

Mencap orang lain dengan sebutan apatis dan hedonis tanpa mempedulikan perasaan mereka, itu juga apatis.

Terlalu sibuk menikmati acara sampai lalai dengan panggilan untuk beribadah, itu juga hedonis.

Tanpa disadari, kita juga menjadi apatis dan hedonis. Bahkan bisa jadi lebih apatis dan hedonis daripada mereka yang kita sebut seperti itu.

Leave a Comment

Tanya Kenapa, plus Curcol

Beberapa kejadian yang menimpa seminggu ini membuatku tersentak dari rutinitas dan aktivitasku selama hampir satu setengah tahun belakangan. Terpaksa berhenti dulu mengurus ini-itu. Meski agak berat melepasnya, tapi itu memberiku sedikit keleluasaan untuk berpikir dan memandang semuanya dari sudut pandang lain.

Cukup dramatisasinya. Sejak dimulainya musim regenerasi beberapa waktu lalu, sebenarnya aku sudah mulai punya suatu kecemasan. Aku yang sebenarnya berjiwa akademik (beneran, meski nilaiku jeblok pol) jadi mulai kehilangan semangat menuntut ilmu seiring dengan bertambahnya himpitan ini-itu yang harus dipenuhi. Semakin banyak beraktivitas dan sulit mengalokasikan waktu. Akhirnya jadilah tugas utama sebagai seorang pelajar terbengkalai.

Mungkin sama seperti satu-dua-tiga dan entah berapa orang, masuk Smala adalah suatu titik balik. Aku yang semula kurang suka berbaur dengan orang lain malah akhirnya keseringan ngumpul dan menyaksikan pembicaraan berbagai macam orang. Bahkan sampai mikir masalah organisasi siswa, masalah Smalane (sebutan bagi warga sekolahku). Aku yang mula-mula dibenci lantaran perangaiku yang aneh, kumenthus (sok tahu), dan nggak dikenal akhirnya mulai dikenal angkatanku. People change, and so do I.

Tapi kalau dipikir-pikir sekarang, aku malah heran sendiri: kenapa aku bisa berubah segitu drastis? Nggak lain dan nggak bukan ini gara-gara keputusanku waktu awal kelas X dulu untuk menerjunkan diri di organisasi dan kegiatan siswa. Atau istilah kerennya yang biasa digembar-gemborkan, berkontribusi untuk almamater. Tanpa disadari, ternyata aku sudah terjun dalam suatu simulasi masyarakat. Semakin hari, semakin sering aku mendengarkan orasi, pidato, sambutan, atau sekadar petuah dari pimpinan-pimpinan yang menjabat di OSIS dan MPK.

Aku ikut dua ekstrakurikuler, dan selalu dibuat sibuk oleh mereka. Mulai dari bersiap untuk diklat, latihan rutin, sampai pembekalan untuk mengader angkatan selanjutnya. Aku masih ingat pernah sakit kepala berhari-hari gara-gara mikir persiapan diklat, juga betapa aku harus bersatu dengan orang-orang lain yang nggak pernah kukenal untuk bisa menjadi sebuah angkatan. Betapapun ketidaksukaanku bercampur baur dengan orang lain. Setelahnya, ujian mental itu digantikan dengan kelelahan yang silih berganti dan kejenuhan yang acapkali datang karena latihan yang terus-menerus. Tapi entah kenapa aku nggak pernah jera untuk bertahan. Waktu hampir naik kelas, hal yang ramai-ramai dibicarakan orang seangkatanku adalah bagaimana calon penerus kami selanjutnya.

Itu baru satu, ada juga kesibukan sebagai seorang “anggota dewan” (baca: perwakilan kelas). Sebagai perwakilan kelas, aku dituntut untuk tahu permasalahan yang sedang terjadi di lingkungan sekolah. Mulai dari kepanitaan yang kekurangan dana, keterlibatan siswa dalam kegiatan OSIS, bahkan sebatas cara mengajar guru, hal-hal semacam itu sudah jadi makanan pikiranku sehari-hari. Benar-benar seperti sedang memikirkan masalah masyarakat. Simulasi ae wes njelimet koyok ngene, ndanio realitase, pikirku.

Tapi seperti yang sudah disebut di awal, aku sedang benar-benar tersentak sekarang. Dan harus memikirkan semuanya dari sudut pandang lain.

Musim regenerasi ini benar-benar membuatku berpikir. Seperti inikah organisasi siswa yang seharusnya? Sudah benarkah organisasi seperti ini? Aku berusaha melihat aktivitasku dari sisi pelajar. “Organisasi itu hanya suplemen, tugas utama ya belajar,” kata ketua OSIS tiga periode sebelum ini.

Banyak istilah-istilah dan frase-frase mentereng yang sering dipakai beretorika dalam berbagai kesempatan di OSIS, MPK, maupun SS (subseksi, istilah lain ekstrakurikuler di sekolahku). Contohnya dalam menyinggung keaktifan siswa, “aktif dalam kegiatan OSIS” diretorikakan sebagai “berkontribusi untuk almamater“. Sayangnya, retorika semacam ini sering dimaknai secara buta oleh beberapa organisator di Smala.

Sekarang bermunculan istilah-istilah dan retorika yang sebenarnya mengerikan untuk ukuran organisasi siswa SMA. Anak-anak yang lebih suka nge-game, nonton film, atau main musik daripada berorganisasi dan ikut kegiatan siswa dikatai apatis dan hedonis. Ketika suatu kepanitiaan OSIS kekurangan dana dan usaha untuk meminta bantuan siswa belum berjalan maksimal, langsung dibawasertalah kata-kata apatis dan hedonis itu. “Kepedulian siswa semakin menurun,” kata beberapa orang yang menaruh perhatian pada organisasi siswa. Semakin lama semakin banyak yang menggunakan dua kata sakti itu.

Hal lain yang agak mencemaskanku adalah soal regenerasi pengurus OSIS-MPK yang kelihatannya banyak “muatan politis”-nya. Aku banyak mendengar ada seorang atau beberapa orang anak kurang suka pada satu calon kemudian berusaha menjatuhkannya. Pokoknya jangan sampai dipilih. Bahkan sampai terucap kata “politik”. Memang benar bahwa sekolah adalah tempat pendidikan politik, tapi tidak seperti ini caranya. Kalau di simulasi masyarakat saja sudah seperti ini, bagaimana di masyarakat nyata nantinya?

Sebelum tulisan ini jadi tambah ruwet, panjang, dan nggak jelas, aku cuma ingin bilang bahwa aku prihatin dengan praktik beberapa pihak tentang organisasi siswa semacam dua contoh yang kusebut di atas. Semoga bisa menjadi evaluasi bagi organisasi siswa sekolahku untuk lebih maju dan menjadi sarana pendidikan bermasyarakat yang lebih baik.

7 Comments

Ekstrakurikuler

Waktu SD dulu, saya suka bergonta-ganti ekstrakurikuler. Kelas 1 SD melukis, kelas 2-3 teater. Kenapa tidak konsisten begitu? Karena…. ah, susah dijelaskan. Saya cuma merasa ekstrakurikuler itu tidak cocok untuk saya. Nah, setelah hengkang dari teater, terus apa? Saya ikut sebuah ekstrakurikuler yang dinamakan SIAS. SIAS adalah Sanggar Ilmiah ala Sekolah Saya. :mrgreen: Singkatannya memang seperti itu, kok.

Jadi alkisah, saya berkenalan dengan ekstrakurikuler tersebut dan langsung suka. Saya jadi bisa lebih sering memegang-megang mikroskop dan kit-kit di lab sains SD. Walhasil, jadilah lab tersebut salah satu spot favorit saya waktu itu. Saya mengenal peralatan laboratorium dari sana. Saya masih ingat ketika percobaan mengamati pernafasan pada tumbuhan air (yang pakai labu Erlenmeyer dan tabung reaksi dibalik itu), juga percobaan rangkaian listrik dinamis dengan kit listrik.

Tapi yang paling berkesan bukan percobaan-percobaan itu. SIAS memperkenalkan saya pada metodologi ilmiah. Saat materi tentang metodologi ilmiah, selain mengajarkan bagaimana cara menyusun laporan ilmiah, guru pembina saya juga mengajarkan pentingnya berpikir kritis. Saya masih ingat waktu itu beliau memberi tugas yang kira-kira seperti ini:

Saya akan menunjukkan sebuah objek. Cari minimal 20 deskripsi dari benda ini, kalau sudah kumpulkan ke saya di ruang guru.

Kemudian beliau menempelkan secarik kertas putih polos ke papan tulis dan langsung pergi.

Saya, seperti anak-anak lain jelas bingung. Saya lupa apakah saya berhasil menyelesaikannya atau tidak. Ah, yang jelas itu mengubah cara pandang saya terhadap mata pelajaran sains untuk selama-lamanya. 😀

Selain SIAS, waktu itu saya juga ikut ekstrakurikuler lain yang saya lupa namanya. Katanya, yang masuk ekstrakurikuler tersebut anak pilihan. Dan pilihannya adalah berdasarkan mata pelajaran. Singkat cerita, saya masuk ekstrakurikuler tersebut melalui jalur IPS. Ya, waktu itu saya memang jago IPS meski tahun depannya malah mendapat juara 2 olimpiade matematika yang diadakan sekolah *lho*. Yang ini pengalamannya nggak seberapa, sih. Tapi saya mulai jadi lebih jago pengetahuan umum sejak itu, yang menyebabkan saya direkrut menjadi pengada soal pengetahuan umum untuk sebuah lomba di SMA saya (yang baru saja berakhir).

Seingat saya, ekstrakurikuler tersebut sebenarnya cuma semacam pengayaan. Pembinaan, kalau pakai istilah olimpiade sains di SMA saya sekarang. 😆

2 Comments
In word we trust