Skip to content

Tanya Kenapa, plus Curcol

Beberapa kejadian yang menimpa seminggu ini membuatku tersentak dari rutinitas dan aktivitasku selama hampir satu setengah tahun belakangan. Terpaksa berhenti dulu mengurus ini-itu. Meski agak berat melepasnya, tapi itu memberiku sedikit keleluasaan untuk berpikir dan memandang semuanya dari sudut pandang lain.

Cukup dramatisasinya. Sejak dimulainya musim regenerasi beberapa waktu lalu, sebenarnya aku sudah mulai punya suatu kecemasan. Aku yang sebenarnya berjiwa akademik (beneran, meski nilaiku jeblok pol) jadi mulai kehilangan semangat menuntut ilmu seiring dengan bertambahnya himpitan ini-itu yang harus dipenuhi. Semakin banyak beraktivitas dan sulit mengalokasikan waktu. Akhirnya jadilah tugas utama sebagai seorang pelajar terbengkalai.

Mungkin sama seperti satu-dua-tiga dan entah berapa orang, masuk Smala adalah suatu titik balik. Aku yang semula kurang suka berbaur dengan orang lain malah akhirnya keseringan ngumpul dan menyaksikan pembicaraan berbagai macam orang. Bahkan sampai mikir masalah organisasi siswa, masalah Smalane (sebutan bagi warga sekolahku). Aku yang mula-mula dibenci lantaran perangaiku yang aneh, kumenthus (sok tahu), dan nggak dikenal akhirnya mulai dikenal angkatanku. People change, and so do I.

Tapi kalau dipikir-pikir sekarang, aku malah heran sendiri: kenapa aku bisa berubah segitu drastis? Nggak lain dan nggak bukan ini gara-gara keputusanku waktu awal kelas X dulu untuk menerjunkan diri di organisasi dan kegiatan siswa. Atau istilah kerennya yang biasa digembar-gemborkan, berkontribusi untuk almamater. Tanpa disadari, ternyata aku sudah terjun dalam suatu simulasi masyarakat. Semakin hari, semakin sering aku mendengarkan orasi, pidato, sambutan, atau sekadar petuah dari pimpinan-pimpinan yang menjabat di OSIS dan MPK.

Aku ikut dua ekstrakurikuler, dan selalu dibuat sibuk oleh mereka. Mulai dari bersiap untuk diklat, latihan rutin, sampai pembekalan untuk mengader angkatan selanjutnya. Aku masih ingat pernah sakit kepala berhari-hari gara-gara mikir persiapan diklat, juga betapa aku harus bersatu dengan orang-orang lain yang nggak pernah kukenal untuk bisa menjadi sebuah angkatan. Betapapun ketidaksukaanku bercampur baur dengan orang lain. Setelahnya, ujian mental itu digantikan dengan kelelahan yang silih berganti dan kejenuhan yang acapkali datang karena latihan yang terus-menerus. Tapi entah kenapa aku nggak pernah jera untuk bertahan. Waktu hampir naik kelas, hal yang ramai-ramai dibicarakan orang seangkatanku adalah bagaimana calon penerus kami selanjutnya.

Itu baru satu, ada juga kesibukan sebagai seorang “anggota dewan” (baca: perwakilan kelas). Sebagai perwakilan kelas, aku dituntut untuk tahu permasalahan yang sedang terjadi di lingkungan sekolah. Mulai dari kepanitaan yang kekurangan dana, keterlibatan siswa dalam kegiatan OSIS, bahkan sebatas cara mengajar guru, hal-hal semacam itu sudah jadi makanan pikiranku sehari-hari. Benar-benar seperti sedang memikirkan masalah masyarakat. Simulasi ae wes njelimet koyok ngene, ndanio realitase, pikirku.

Tapi seperti yang sudah disebut di awal, aku sedang benar-benar tersentak sekarang. Dan harus memikirkan semuanya dari sudut pandang lain.

Musim regenerasi ini benar-benar membuatku berpikir. Seperti inikah organisasi siswa yang seharusnya? Sudah benarkah organisasi seperti ini? Aku berusaha melihat aktivitasku dari sisi pelajar. “Organisasi itu hanya suplemen, tugas utama ya belajar,” kata ketua OSIS tiga periode sebelum ini.

Banyak istilah-istilah dan frase-frase mentereng yang sering dipakai beretorika dalam berbagai kesempatan di OSIS, MPK, maupun SS (subseksi, istilah lain ekstrakurikuler di sekolahku). Contohnya dalam menyinggung keaktifan siswa, “aktif dalam kegiatan OSIS” diretorikakan sebagai “berkontribusi untuk almamater“. Sayangnya, retorika semacam ini sering dimaknai secara buta oleh beberapa organisator di Smala.

Sekarang bermunculan istilah-istilah dan retorika yang sebenarnya mengerikan untuk ukuran organisasi siswa SMA. Anak-anak yang lebih suka nge-game, nonton film, atau main musik daripada berorganisasi dan ikut kegiatan siswa dikatai apatis dan hedonis. Ketika suatu kepanitiaan OSIS kekurangan dana dan usaha untuk meminta bantuan siswa belum berjalan maksimal, langsung dibawasertalah kata-kata apatis dan hedonis itu. “Kepedulian siswa semakin menurun,” kata beberapa orang yang menaruh perhatian pada organisasi siswa. Semakin lama semakin banyak yang menggunakan dua kata sakti itu.

Hal lain yang agak mencemaskanku adalah soal regenerasi pengurus OSIS-MPK yang kelihatannya banyak “muatan politis”-nya. Aku banyak mendengar ada seorang atau beberapa orang anak kurang suka pada satu calon kemudian berusaha menjatuhkannya. Pokoknya jangan sampai dipilih. Bahkan sampai terucap kata “politik”. Memang benar bahwa sekolah adalah tempat pendidikan politik, tapi tidak seperti ini caranya. Kalau di simulasi masyarakat saja sudah seperti ini, bagaimana di masyarakat nyata nantinya?

Sebelum tulisan ini jadi tambah ruwet, panjang, dan nggak jelas, aku cuma ingin bilang bahwa aku prihatin dengan praktik beberapa pihak tentang organisasi siswa semacam dua contoh yang kusebut di atas. Semoga bisa menjadi evaluasi bagi organisasi siswa sekolahku untuk lebih maju dan menjadi sarana pendidikan bermasyarakat yang lebih baik.

Published inLife updates

7 Comments

  1. Kayaknya caraku menyampaikan gagasan masih terlalu random. Mungkin lain kali opiniku yang kebetulan nongol di di tulisan ini kutulis lagi dalam bentuk yang lebih genah.

  2. Cerdas An, kapan-kapan tulis lagi ya. Aku dapat idenya, aku setuju sama idenya.

    Dan untuk curcolmu di awal tentang ketidaksukaan bergumul dengan orang lain, aku juga pernah merasa. Sering sampai sakit kepala gitu. Yah, tapi percaya aja, hal-hal yang tidak membunuhku akan membuatku makin kuat.

    Btw, jadi kamu mau ngapain di sisa masa sekolahmu? Mau fokus di lahan apa nih?

  3. ^
    Wah, Mbaknya Nietzschean. – -a

    Hmm, lagi nyari lahan yang pas sih. Sebenernya masih bingung juga antara fokus ke akademik atau organisasi. Kayaknya bakal nungguin sisa musim regen ini.

  4. Nyangar kon An! SUmpah! Mestinya kau ikut KIR dan bukannya jadi anak IPU. Kata2mu potensial sekali untuk dikembangkan. Hahah. Cocok dah jadi wakil rakyat. 🙂

  5. nat nat

    This post basically summarizes what I have been thinking about Smala, and to think it has many years on it. Well, too bad I stumbled upon this right after I finished everything. Not quite, but.

    This might sound strange or downright crazy, but I swear I found your blog from tumblr, accidentally, through a tag that’s completely unrelated from Smala. I have a few questions I want to ask, if you don’t mind. Again, unrelated to Smala. Actually, it’s about university and major.

    (Although I am exicted to actually find your writings and generally this blog, might read some of them later when it’s not 1am.)

    (do I sound creepy? i’m sorry??)

    (you problaly won’t even see this. thanks anyway. I shall excuse myself before I embarrass myself even further.)

    • Sorry for the late reply.

      It’s good to see another Smalane here. And moreover, I’m more than happy to see a comment in this dusty rambling-filled blog. Are you still studying or a school grad?

      Do feel free to ask anything. One question though: Have we met before? I mean, there’s got to be some way that we know each other, right?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

In word we trust