Skip to content

Category: Fictional works

975

musafir terbaring beratap langit

di pelupuk matanya ada bulan tengah purnama

langit benderang, bernyalakan bintang-bintang

dan mendapati dirinya di antara padang pasir

tanpa ujung, sekujur tubuhnya menggigil

kedinginan, tersesat, tak tahu arah pulang

Leave a Comment

Tamu

Pagi ini aku menerima seorang tamu. Namanya Alim Hardiman. Ia sedang menulis buku, yang kalau tidak salah judulnya ‘Cara Mendapatkan Perkerjaan Bergaji Di Atas 50 Juta + Naik Pangkat Tiap Bulan’. Sebenarnya aku sama sekali tidak suka dengan buku-buku semacam itu. Tapi tuntutan pekerjaanku sebagai editorlah yang mewajibkanku meladeni permintaannya untuk mengonsultasikan buku itu.

Tamu itu datang dengan berpakaian safari. Caranya menyalamiku dan gaya bicaranya menunjukkan bahwa ia adalah tipe orang yang tidak begitu kusukai. Orang yang merasa tahu segalanya tentang hidup, orang yang yakin bahwa ia bisa menyelesaikan masalah-masalah mendasar dengan logika anak SD. Setelah duduk, aku membawakannya kopi yang sudah kubuat beberapa menit yang lalu. “Maaf, boleh saya merokok?” ia sudah berani merokok bahkan sebelum mulai bicara tentang kepentingannya denganku. “Tentu,” jawabku yang sebenarnya hanya formalitas saja.

Aku mengambil sebuah asbak kayu dari lemari di gudang dan meletakkannya di atas meja. “Ah, terima kasih,” kata tamu yang betul-betul sopan itu (ini sarkasme). Yah, sebenarnya aku tidak pernah menganggap orang yang merokok itu sopan. Tapi seorang tuan rumah yang baik tak seharusnya merendahkan tamu.

“Meskipun kopi itu pahit, tapi harus diberi gula,” katanya sembari menyeruput kopi yang disajikan. Entah maksudnya menyindir atau memuji betulan, aku tak peduli. Sekarang tamu ini mulai tak tahu diri.”Begitu pula hidup. Meski hidup itu menyengsarakan ia tetap harus dipermanis, bahkan sekalipun pemanisnya buatan!” Ia tertawa lalu meletakkan cangkir kopi yang diminumnya.

Aku diam dan menunggu. Selagi orang ini masih mengoceh dengan obrolan (sok) filosofisnya, aku sesekali melihat ke jam tanganku. Benar saja, dalam lima menit ceramah tamuku semakin melantur sampai akhirnya ia tertidur. Tapi di sini aku bukan seorang penjahat yang berniat menganiaya tamunya yang terhormat. Oleh karena itu aku mengambil sedikit air dari kamar mandi lalu memercikkannya ke muka tamuku.

Ia terbangun dengan raut muka bingung. Aku memulai pembicaraan dengan nada sopan, mengabaikan apa yang baru saja terjadi, “Maaf, saya lupa nama Anda.”

Ia terlihat memendam malu. Tamu itu berdehem lalu menjawab, “Alim Hardiman,”

“Ah, iya. Pak Alim ya,” tukasku. “Begini, Pak. Tadi kan Anda ke sini mau meminta pendapat saya soal draf buku Anda ini, benar?”

“Betul. Jadi bagaimana pendapat Anda?” ia bertanya sambil membenahi posisi duduknya.

Aku meraih draf yang diberikan Pak Alim, membacanya sekilas hingga habis, lalu membuka sebuah halaman,”Menurut saya, banyak penjelasan yang harus bapak perbaiki. Terutama cara bapak menggunakan perumpamaan. Misalnya ini: ‘hanya sedikit orang yang bisa melihat luar angkasa dengan mata kepala mereka sendiri’. Menurut saya ini terlalu remeh, bahkan anak TK pun tahu kalau bepergian ke luar angkasa tidak semudah di film kartun.

“Bapak terlalu banyak menggunakan analogi dan perumpamaan yang sebenarnya bermakna dangkal. Mungkin sebagian besar pembaca akan oke-oke saja dengan penataran yang seperti itu. Tapi di mata pembaca yang lebih terdidik dan para kritikus, buku bapak ini bisa jadi bulan-bulanan atau malah bahan tertawaan,” aku memperhatikan mata tamuku itu. Ia tampak serius memperhatikan penjelasanku.

“Tapi kalau dilihat dari aspek lainnya, sebenarnya karya bapak ini sudah layak untuk diterbitkan. Tapi bapak harus bisa memperdalam lagi gagasan-gagasan yang bapak utarakan itu. Berikan lebih banyak argumentasi logis, bukan analogi. Nah, mungkin itu dari saya. Ada yang mau bapak tanyakan lagi?” Aku mengakhiri penjelasanku dan meletakkan draf yang kupegang, lalu meminum kopiku.

“Ah, sepertinya sudah tidak ada lagi,” ia sepertinya terlihat buru-buru. Entah malu karena tertidur di ruang tamu rumah orang atau apa, aku tak lagi peduli,
“Kalau begitu saya pamit dulu. Terima kasih atas saran-sarannya ya.” Pak Alim memasukkan draf tulisannya ke dalam tasnya, lalu berdiri. Kami kemudian berpamitan.

Aku merasa sedikit bersalah mencampurkan obat tidur ke dalam kopinya, meski dalam dosis sangat ringan (sehingga ia bisa bangun hanya dengan percikan air). Tapi mau bagaimana lagi, memang seperti itu caraku ‘menangani’ orang yang kurang kusukai perangainya. Yang penting aku tidak melukai perasaan mereka, kan?

2 Comments

936

Kucing dan Manusia

semua kucing

tahu

kapan harus berhenti mengeong

tak semua manusia

tahu

kapan harus berhenti bicara

Teori Sastra

asonansi

aliterasi

tahu isi

rasa terasi

Tentang Penulis yang Tak Kunjung Bertambah Dewasa

anak SD

menulis cerpen

anak SMP

menulis puisi

anak SMA

menulis fanfic

3 Comments

Air, Bunga, Susu

Aan baru saja tiba di rumahnya yang sedang kosong. Begitu masuk ke kamar, ia kaget bukan main melihat laptopnya basah kuyup oleh air. “Siapa yang numpahin ini?” katanya panik sambil agak marah. Meskipun sudah jelas-jelas rusak, ia masih saja mencoba menyalakan laptop itu. Tentu saja percuma. Aan melihat ke sekeliling meja bundar tempat laptopnya diletakkan, yang sebenarnya adalah meja makan. Di kasur yang terletak tepat di sebelah meja itu ia melihat vas bunga dari ruang tamunya beserta bunganya tergeletak sementara air di dalamnya habis.

Aan langsung menyimpulkan bahwa ini adalah perbuatan orang yang menyusup ke rumahnya. Ia mengecek setiap jendela dan pintu di rumahnya. Benar saja, ternyata pagar teralis besi di loteng rumah tidak terkunci. Untung saja, sepertinya tidak ada barang yang hilang dari rumahnya.

Sayangnya ia lupa untuk menyelamatkan laptopnya dari kerusakan yang lebih parah. Begitu ia ingat, laptop itu segera dibersihkan dan dijemur. Saat itu, Aan menyadari bahwa air yang ditumpahkan itu bukan air tawar. Ada sedikit bau susu yang bercampur. Ia heran, kenapa penyusup itu masuk ke rumahnya hanya untuk menyiram laptopnya dengan air bercampur susu.

Ya, benar. Ini latihan menerapkan strategi tiga kata.

Leave a Comment

909

Selepas pulang sekolah, aku langsung melempar tas dan jaketku ke dalam kamar. Sejurus kemudian, aku sudah berada di atas atap rumah. Entah apa yang kulakukan. Matahari sudah berada di ufuk barat. Dalam pemandanganku, semua benda tampak memantulkan sinar jingga.

Sebenarnya aku tak suka melihat pemandangan seperti ini. Semua benda yang termandikan sinar jingga itu terlihat seperti akan musnah. Semakin lama, sinar itu semakin pekat sampai aku tak dapat melihat apapun yang tak jingga. Sinar jingga itu akhirnya membuatku tak bisa lagi membedakan benda-benda di sekitarku.

Senja itu semisal sekarat. Ia membatasi hari yang hidup dengan malam yang mati. Matahari seolah hendak mencabut nyawaku seraya terus terbenam. Aku bisa melihat bunga-bunga yang mekar di taman tetanggaku sebentar lagi akan layu. Rumah-rumah, gedung-gedung tinggi, dan menara-menara semuanya akan lapuk dan hancur dimakan usia suatu hari kelak. Ya, ternyata semua yang ada di dunia ini fana!

Aku mulai berpikir tentang impian, keberhasilan, dan cinta yang dipaksa menunggu. Semuanya kelak akan musnah seiring aku mendekati kematian. Aku pun tentu takkan tahu kapan kematian itu akan tiba.

Angin yang sepoi ditambah matahari yang sedang kembali ke peraduannya membuat kesadaranku semakin kabur. Seiring hilangnya kesadaranku, aku mulai menggumam soal hidup dan mati.

Sudah hampir maghrib, entah siapa nanti yang membangunkanku.

Leave a Comment
In word we trust