Tadi pagi, aku melihat-lihat hasil tryout SMA RSBI yang diadakan sekolah hari minggu kemarin. Hari itu aku sempat bercakap-cakap dengan beberapa peserta tryout. Banyak yang ternyata berasal dari luar kota Surabaya. Meskipun pagu (jumlah diterima) yang disediakan untuk pendaftar sekolah dari luar kota hanya satu persen dari total pagu (SMA-ku berpagu 300, jadi kuota untuk siswa luar kota hanya 3 siswa saja), tapi sepertinya tidak mengurangi semangat mereka untuk tetap mengejar pendidikan di metropolitan ini. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional yang memiliki citra prestisius hanya tersedia di kota-kota tertentu. Sehingga tidak aneh jika banyak siswa luar kota yang mendaftarkan diri ke sekolah-sekolah RSBI.
Peringkat satu dan dua diraih oleh siswa dari salah satu SMP bergengsi (dan tentu juga RSBI) dalam kota. Bukan hal istimewa, namanya juga main di kandang sendiri. Peringkat 3 diraih oleh siswa yang berasal dari SMP Lain-Lain. Sebentar, SMP apa ini? Berdasarkan pengalamanku mengurus pengisian LJK di sebuah even lomba sekolah, SMP Lain-Lain ini didapat karena sekolah asal dari peserta ini tidak mendapat kode sekolah untuk ditulis di LJK. Yang mendapat “gelar” seperti ini biasanya adalah sekolah yang bisa dibilang tidak begitu terdengar namanya atau yang mendaftarnya terlambat (tapi yang terlambatpun biasanya juga dari sekolah yang kurang terkenal). (Disclaimer: aku nggak tahu sistem pengerjaan tryout ini, dan cuma bisa mengira berdasarkan pengalaman.)
Beberapa hari silam, sempat ada pernyataan dari mantan Menteri Pendidikan Daoed Joesoef tentang RSBI. Dalam pernyataan beliau yang dimuat di Detik, beliau mengatakan:
“RSBI dan SBI sama saja dengan menimbulkan kekastaan. Karena secara tidak langsung telah menyiapkan dua jenis kelompok yaitu, kelompok cerdas yang begitu rupa, dan kelompok kedua, adalah kelompok yang sekadar penonton belaka dalam pembangunan nasional. Ini jelas telah melanggar azas demokrasi pendidikan,”
Kata pengkastaan sering digunakan pengkritik RSBI ketika membandingkan sekolah RSBI dengan “sekolah lain-lain”. Sebagaimana dinyatakan oleh salah satu orang terkenal di era Orde Baru ini, RSBI menyebabkan pendidikan tidak merata. Siswa tidak akan mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang setara. Ketimpangan pun pasti akan terjadi di kemudian hari. Sekolah RSBI akan semakin maju dengan lulusan-lulusan yang punya nama besar, sementara sekolah-sekolah lainnya hanya akan jalan di tempat dengan lulusan yang biasa-biasa saja.
Beberapa dari kita sepertinya sudah sering mendengar perkataan, “kalau ada pahlawan lewat, harus ada yang bertepuk tangan di pinggir jalan“. Ibaratnya, RSBI diprogram untuk menciptakan pahlawan sedangkan “sekolah lain-lain” hanya akan menciptakan orang-orang yang bertepuk tangan di pinggir jalan. Akan timbul kasta cerdik cendekia dan kasta rakyat biasa. Bukankah ini mirip dengan kondisi Bumiputera dengan rakyat jelata pada masa kolonial dulu? Mereka sama-sama bangsa Indonesia, tapi benar-benar berbeda peradabannya.