Skip to content

Tag: indonesia

Melacak Sejarah Pembaratan Nusantara: Sebuah Resensi

Catatan pengantar

Tulisan ini merupakan tugas resensi dari mata kuliah Pengantar Ilmu Budaya semester ganjil tahun akademik 2013/2014.

Melacak Sejarah Pembaratan Nusantara

Antariksa Akhmadi (NIM. 121311233004)
Pengantar Ilmu Budaya kelas A

Judul buku                           : Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-batas Pembaratan
Pengarang                           : Denys Lombard
Penerbit                               : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman                   : 309 halaman

Berbicara tentang Indonesia, orang tidak akan bisa melepaskan diri dari mengangkat soal Jawa. Bisa dikatakan bahwa di Jawalah seluruh peristiwa yang kini dan yang lampau berpusat. Aidit pernah mengeluarkan nasihat yang amat terkenal dan diamini kebenarannya hingga hari ini: jika ingin menguasai Indonesia, kuasai dulu Jawa. Berangkat dari sentimen inilah Denys Lombard menyusun karya besarnya yang berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya.

Tidak banyak kajian ilmiah tentang sejarah Indonesia, apalagi yang ditulis berdasarkan kacamata asing. Lombard sedari kalimat pertama dalam bukunya mengakui bahwa dia menulis dalam “…pandangan kami yang Eropasentris…”. Bisa dikatakan bahwa kajian yang dilakukannya merupakan History of Java baru, seperti yang dikarang Stamford Raffles pada awal abad ke-19. Pandangan keeropaan ini penting karena akan memberi gambaran pada pembaca Indonesia sendiri tentang bagaimana sikap dan opini para “penjajah” terhadap bangsa yang pernah diperintahnya selama ratusan tahun.

Nusa Jawa dibagi menjadi tiga buku yang mewakili peradaban-peradaban asing yang mempengaruhi Nusantara hingga mencapai bentuknya yang sekarang, yaitu Barat, Islam, dan Cina-India. Lombard mendefinisikan kajiannya sebagai sebuah “geologi budaya”, sehingga ia menyajikan suatu kronologi sejarah Nusantara yang regresif. Ia memulai dengan menyajikan proses pembaratan yang dilakukan oleh Belanda, lalu mundur ke zaman ekspansi Islam dan Cina di Indonesia, dan akhirnya menelusuri warisan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di jilid terakhir.

Pada buku pertama ini, Lombard memulai investigasinya dengan memberikan gambaran mengenai kondisi geografis, geologis, ekonomi, serta historisnya secara umum. Secara geografis, Jawa terletak di tengah-tengah Nusantara dan di tengah-tengah jalur perdagangan laut yang membuatnya menjadi tempat persilangan peradaban-peradaban besar. Bisa dikatakan bahwa secara geografis Jawa adalah jantung Nusantara. Komposisi geologis alam di Jawa menjadikannya sebagai daerah yang makmur. Kekuatan ekonomi Nusantara berporos di Jawa, sekali lagi karena letak geografisnya yang ada di jantung Nusantara. Sedangkan secara kesejarahan, dengan mengecualikan Sriwijaya, seluruh kerajaan besar yang menguasai Nusantara berpusat di Jawa.

Mulainya pembaratan di Indonesia secara efektif ditandai dengan mendaratnya para pelayar Belanda di bawah Cornelis de Houtman di Banten. Selang enam tahun setelah itu, berdirilah Vereenidge Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1602. Pada awalnya pembaratan itu hanya sedikit sekali terjadi karena sikap orang Belanda yang eksklusif dan tidak mau menjadikan Nusantara sebagai rumahnya. Orang-orang Belanda bukannya mendirikan institusi pendidikan di Nusantara, namun malah mengirimkan anak-anaknya kembali ke Belanda untuk dididik. VOC bersikap agresif pada setiap penguasa lokal yang mencoba melawan monopolinya. Sikap non-kooperatif ini, ditambah dengan kebobrokan internal para pegawai VOC, menyebabkannya harus gulung tikar pada 1799. Setelah itu, pembaratan atas Indonesia diteruskan langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah kolonial tidak lagi bersikap ingin memusnahkan pengaruh para penguasa lokal karena sadar akan potensi mereka untuk menggerakkan rakyat di bawahnya. Oleh karena itu, pemerintah kolonial berusaha meraih simpati untuk pada akhirnya dapat menguasai para raja dan sultan secara halus. Pembaratan sejatinya baru terjadi setelah dicanangkannya politik etis di akhir abad ke-19.

Pada masa-masa kolonial belanda inilah lahir empat golongan besar yang terpengaruh proses pembaratan. Yang pertama yaitu orang-orang Kristen asli Nusantara yang timbul dari hasil aktivitas misionaris Belanda yang gencar (yang sebelumnya amat dibatasi pada masa VOC). Yang kedua adalah golongan priyayi yang diberikan legitimasi oleh pemerintah kolonial namun dikerdilkan pengaruhnya sehingga menutup peluang terjadinya perlawanan. Golongan ketiga adalah tentara dan akademisi yang baru muncul menjelang kemerdekaan Indonesia menyusul dibentuknya universitas oleh pemerintah kolonial dan angkatan bersenjata lokal oleh Jepang dalam pendudukannya yang singkat. Yang terakhir adalah golongan kelas menengah. Kelas menengah ini muncul sebagai dampak dari urbanisasi yang makin gencar setelah kemerdekaan Indonesia. Ini tidak lepas dari pengaruh Belanda yang telah membangun perkotaan dan merangsang pindahnya masyarakat dari desa ke kota.

Lombard kemudian mengulas warisan-warisan pembaratan yang ditinggalkan oleh Belanda. Dalam bidang teknik, Indonesia menerima masuknya besi dalam skala yang masif, pembangunan jalan raya dan rel kereta api, serta pengembangan ilmu kedokteran dalam bentuk obat-obatan dan pendidikan kedokteran lokal (salah satunya Nederlandsch Indisch Artsenschool yang sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga). Dalam bidang kemasyarakatan, Belanda mewariskan jalur komunikasi telegraf yang disusul dengan telepon, pemetaan Jawa yang lengkap, data-data statistik, ditulisnya catatan sipil, sistem administrasi negara yang memungkinkan berdirinya Republik Indonesia di kemudian hari, sistem percetakan, penanggalan, dan etos kerja. Atas pengaruh barat pula, orang Indonesia mulai menerima pakaian ala Eropa yang meski demikian masih diikuti oleh laki-laki saja. Gestur-gestur seperti berjabat tangan, makan dengan menggunakan peralatan makan, serta olahraga Barat seperti sepak bola dan berkuda juga diterima dari kehadiran para kolonis. Berkat proses pembaratan pula, aksara latin dapat dikenal luas di seantero negeri dan bahasa Melayu dipakai secara umum. Penyerapan-penyerapan kata ke dalam bahasa Melayu juga berlangsung secara besar-besaran sehingga membuka jalan bagi terbentuknya bahasa nasional yakni bahasa Indonesia. Warisan politik Eropa pun juga diterima Indonesia dalam wujud istilah seperti nasionalisme, komunisme, demokrasi, dan revolusi. Akan tetapi, di sisi lain Lombard menunjukkan bahwa konsep-konsep ini tidak diterima secara penuh namun mendapat distorsi dan penyesuaian dengan kondisi Indonesia sehingga pada akhirnya menjadi tak serupa dengan rumusan aslinya.

Agaknya perubahan selera estetika di Indonesia menjadi aspek yang amat penting untuk dikaji sehingga Lombard mengangkatnya sebagai suatu bahasan tersendiri. Citarasa arsitektur di Indonesia telah banyak dipengaruhi gaya Eropa, demikian pula isme-isme dalam seni rupa menggantikan gaya tradisional serta gaya penulisan sastra yang mulai berkiblat pada Barat. Tradisi perfilman Indonesia mulai bangkit menjelang kemerdekaan, meskipun kalah awalan ketimbang negara-negara lainnya. Di sisi lain, seni musik Eropa ternyata tidak dapat menggeser sepenuhnya gamelan Jawa yang telah begitu kuat posisinya. Ide-ide Barat juga mulai diterima oleh masyarakat dan terlihat pengaruhnya baik dalam kesenian, akademik, maupun kehidupan sehari-hari. Di samping kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, masuknya estetika Eropa ini membawa ekses yang mengerosi kebudayaan daerah. Aktivitas pariwisata yang makin padat membuat ritus-ritus yang mestinya sakral menjadi dangkal. Upacara-upacara dan tarian suci diperlakukan layaknya komoditas hiburan biasa untuk dinikmati wisatawan. Selain itu, muncul barang-barang antik tiruan dari masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Penggalian gencar dilakukan untuk mencari artefak sejarah yang pada akhirnya didistribusikan secara ilegal sehingga memiskinkan Indonesia dari warisan kebudayaannya sendiri.

Sebagai akhir dari buku ini, Lombard mengetengahkan reaksi-reaksi yang timbul atas peristiwa pembaratan di Indonesia. Di tengah-tengah masyarakat kolonis yang enggan berasimilasi dengan pribumi, sejumlah penganut Kristen Belanda murtad dan sejumlah lainnya kawin campur sehingga muncullah orang-orang Indo. Merekalah yang berperan besar dalam membaratkan Indonesia. Di pihak lain, orang-orang Indonesia yang terdidik terpecah dalam memilih apakah akan mengadopsi nilai-nilai Barat atau kembali pada nilai-nilai Timur keindonesiaan. Golongan yang memeluk pembaratan memajukan Indonesia dari segi kesusasteraan dan kesenian, sementara golongan yang ingin mengembalikan Indonesia ke asal ketimurannya berkontribusi dalam memajukan pendidikan dan menanamkan nasionalisme serta jati diri kebangsaan.

Secara keseluruhan, Nusa Jawa dalam jilid Batas-batas Pembaratan merupakan risalah yang komprehensif bagi siapapun yang ingin mengenal Indonesia dan bagaimana ia bisa mencapai kemodernan dan kebudayaannya hari ini. Setiap detil disampaikan dengan gaya yang merangsang keingintahuan dan informatif sehingga memberi pencerahan bagi pembacanya. Meski demikian, Lombard tidak senantiasa memberi porsi penjelasan yang sama dalam menyampaikan ilustrasi dan fakta-faktanya. Ada sebagian penjelasan yang kelewat berkepanjangan dan ada sebagian lagi yang sebetulnya masih perlu dielaborasi. Berbagai ilustrasi dan peta juga disertakan guna memperkaya penjabaran-penjabaran yang telah disusun secara runtut dalam buku ini.

Meski Lombard sendiri mengakui bahwa bukunya ini dibangun atas pandangan Barat, namun tidak ditemukan bias-bias yang membahayakan. Semuanya disampaikan apa adanya namun tetap dengan penuh penghargaan pada subjek yang diceritakan, yakni Nusantara dan Jawa pada khususnya. Baik pembaca Barat maupun Indonesia sendiri akan menemukan kepuasan tersendiri dan barangkali “sentilan” atas tindakan bangsanya yang tidak benar di masa lampau.

Terlepas dari semua kelebihan dan kekurangan dalam penulisannya, Nusa Jawa: Silang Budaya jilid Batas-batas Pembaratan ini adalah suatu karya penting yang mungkin tidak akan ada gantinya dalam beberapa dekade mendatang. Isinya perlu diperhatikan oleh semua pemangku kepentingan dalam membangun bangsa ini. Pihak-pihak yang melaksanakan pembangunan dapat mereflesikan keberhasilan dan kegagalan pembangunan kebaratan di masa lalu sebagai acuan untuk masa depan. Mahasiswa, utamanya yang mempelajari kebudayaan, dapat memperoleh gambaran utuh tentang sejarah bangsanya dan bagaimana Indonesia hari ini tak lepas dari warisan-warisan Barat. Dengan berbekal wawasan itu, mereka akan dapat mengembangkan peradaban bangsa Ini ke arah yang lebih baik. Masyarakat Indonesia biasa pun dapat menikmati buku ini, walau hanya sekadar sebagai pengingat sehingga ia tak tercerabut dari akar kebangsaannya.

Leave a Comment

Pluralisme, Solusi Konflik Agama dan Budaya

Catatan pengantar Tulisan ini saya tulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mengikuti Studi Ekskursi Universitas Airlangga tahun 2013 yang rencananya akan diselenggarakan di Desa Tengger, Pasuruan pada tanggal 19-20 Oktober nanti. Saya menyadari betul bahwa tulisan ini masih sangat mentah dan berantakan karena penulisannya juga dikebut. Namun, semoga tulisan ini membawa manfaat bagi pembaca, terutama yang ingin mengikuti kegiatan serupa yang saya ikuti.

PLURALISME, SOLUSI KONFLIK AGAMA DAN BUDAYA

Antariksa Akhmadi
Program Studi Sastra Inggris
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga

Agama adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan manusia. Bisa dibilang, agamalah yang membimbing miliaran orang di dunia ini untuk menjalani hidupnya sesuai dengan jalan kebenaran. Segala aspek lain dari kehidupan seorang yang beragama pasti tidak akan terlepas dari hakikatnya sebagai insan yang religius. Dalam bidang politik, kita bisa melihat kehadiran partai-partai politik Islam maupun Kristen, demikian pula dengan organisasi-organisasi masyarakat agama lainnya yang semuanya memberikan pengaruh bagi kehidupan berbangsa dan bertanah air. Dalam bidang ekonomi, kita melihat pesatnya perkembangan lembaga-lembaga amil zakat dan kegiatan-kegiatan amal dari berbagai komunitas agama.

Aspek kebudayaan manusia juga tak lepas dari peran dan kehadiran agama. Kebudayaan masyarakat Indonesia pada mulanya amat rekat dengan tradisi animisme, yakni kepercayaan yang meyakini kekuatan-kekuatan adialami di luar pengalaman manusia (Tylor dalam Koentjaraningrat, 2002:198). Tradisi-tradisi seperti pemberian sesajen atau sedekah bumi adalah contoh nyata dari pengaruh animisme yang bertahan hingga kini. Dalam perkembangannya, setelah masuknya agama Hindu dan Buddha ke Indonesia sekitar abad 5 masehi, pengaruh-pengaruh animisme mulai diperkaya dengan tradisi dan kepercayaan Hindu dan Buddha. Tradisi keagamaan Hindu-Buddha tidaklah merusak tatanan budaya yang sudah ada namun melengkapi dan menyempurkan local genius yang sudah ada di bumi Indonesia. Justru kehadiran agama-agama itulah yang menyesuaikan diri dengan kondisi kebudayaan masyarakat yang telah ada. Sebagai contoh, kita bisa melihat perbedaan-perbedaan antara agama Hindu (Hindu Siwa) yang dianut di Jawa dengan agama Hindu di Bali (Hindu Wisnu).

Tidak berhenti di sana, Islam dan Kristianitas yang masuk ke Indonesia juga memberikan tambahan kekayaan bagi bangsa Indonesia. Sama seperti agama-agama pendahulunya, baik Islam dan Kristianitas tidak mentah-mentah membuang semua warisan kebudayaan yang telah ada. Di setiap daerah di Indonesia, wajah Islam tidaklah sama. Jika kita bandingkan umat Islam di Jawa dengan Sumatera, pastilah kita temui perbedaan-perbedaan dari kehidupan beragamanya. Kita bisa melihat Islam Kejawen yang meneruskan warisan tradisi Hindu dan bahkan animisme. Agama Kristiani juga demikian. Di daerah Batak dan Minahasa kita temukan tradisi Kristiani yang berbeda pula.

Sekalipun agama itu merupakan sesuatu yang mendasar bagi kehidupan manusia, dan semua hal di luar agama selayaknya selaras dengan agama, tapi pada praktiknya justru agama itu sendirilah yang seolah-olah menyesuaikan diri dengan kebudyaan setempat. Kehadiran agama-agama pada akhirnya menuntun kebudayaan yang telah ada agar sesuai dengan ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin agama yang masuk. Jadi, ada interaksi timbal-balik dan saling menguntungkan di antara agama dan budaya. Agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan di Indonesia bisa hidup berdampingan tanpa ada saling menggusur satu sama lain.

Namun, hubungan antara agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan di Indonesia masih menyisakan persoalan. Dalam sejarah Indonesia, acapkali terjadi konflik di antara kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama yang telah ada. Salah satu contoh klasiknya adalah Perang Paderi, pertempuran antara umat Islam yang puritan dengan masyarakat adat di Minangkabau. Sejarah masuknya Islam ke Indonesia bukannya bersih dari konflik dengan penganut-penganut agama Hindu, terutama di Kerajaan Majapahit. Konflik-konflik berlatarkan perbedaan-perbedaan agama ini terus terjadi sepanjang sejarah Indonesia.

Latar-belakang keagamaan dan kebudayaan yang berbeda-beda menyebabkan sulitnya merajut integrasi nasional. Bangsa Indonesia pada umumnya dipersatukan atas dasar nasib: 350 tahun dijajah oleh Belanda. Kesadaran ini pun baru muncul pada tahun 1928, saat Sumpah Pemuda dideklarasikan dan menjadi tonggak persatuan bangsa Indonesia hingga hari ini. Delapan belas tahun berselang, tahun 1945, Indonesia menentukan ideologi negaranya. Proses lahirnya Pancasila ini juga dipenuhi dengan dialog-dialog agama.

Pada makalah ini, penulis mengangkat masalah dialog agama dan kebudayaan dalam pembentukan identitas nasional. Pancasila sebagai dasar negara dibangun di atas dialog-dialog keagamaan dan melibatkan unsur-unsur kebudayaan di Indonesia. Implementasinya hingga hari ini juga tidak lepas dari interaksi antaragama dan antarkebudayaan beserta segenap permasalahannya. Dalam menyikapi masalah-masalah ini hendaknya masyarakat, dengan latar keagamaan dan kebudayaannya yang berbeda-beda, dapat mengedepankan prinsip pluralisme dan inklusivisme. Pluralisme dan inklusivisme tidaklah harus dicapai dengan memperjualkan akidah dan corak kebudayaan yang telah melekat pada setiap etnis dan umat beragama. Yang terpenting adalah kesadaran hidup bersama dan mengedepankan diskusi dan bukannya koersi atau malah kekerasan.

Pancasila Terbentuk dari Dialog Lintas Agama dan Budaya

    Pancasila mulai disidangkan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 29 Mei 1945. Ada tiga rancangan yang didiskusikan pada sidang itu, yaitu rancangan Mohammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno. Pada tanggal 1 Juni, Soekarno mempresentasikan lima asas yang diberi nama Pancasila yang sekarang diabadikan sebagai pidato Lahirnya Pancasila. Pancasila inilah yang lebih bisa diterima oleh BPUPKI. Dalam rumusan Soekarno inilah terdapat penekanan pada harmoni umat beragama, seperti tercantum pada penggalan pidato Lahirnya Pancasila berikut:

Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!

    Namun, rupanya tidak semua anggota BPUPKI menyepakati usulan ini. Golongan Islam, yang antara lain digawangi oleh M. Natsir, tidak menyetujui rumusan Pancasila karena dipandang tidak Islami. Komposisi BPUPKI tidak banyak melibatkan golongan Islam di dalamnya dan didominasi oleh kaum nasionalis yang antara lain juga merepresentasikan kepentingan non-muslim di Indonesia. Baik Mohammad Yamin, Soepomo, maupun Soekarno, semuanya adalah tokoh nasionalis. Kaum Islam yang minoritas merasa tidak difasilitasi dalam mewujudkan cita-cita politiknya, yaitu dijadikannya syariat Islam sebagai pedoman bernegara.

    Soekarno menolak keberatan dari golongan Islam. Ia berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila bersumber dari kebijaksanaan budaya dan keagamaan seluruh elemen masyarakat di Indonesia. Dengan sendirinya, Pancasila kompatibel dengan keislaman sebagaimana ia kompatibel dengan kekristenan, Hindu, Buddha, maupun Konghuchu. Demikian pula dengan kebudayaan yang berbeda-beda, Pancasila dirancang untuk mengakomodasi semua itu.

    Dalam skema hubungan antarsila, sila pertama yakni Ketuhanan yang Maha Esa menempati tingkatan teratas. Ini berarti bahwa Pancasila sebagai sebuah ideologi sangat lekat dengan paham ketuhanan. Ini tidak bisa ditawar-tawar. Tapi, dalam bingkai keagamaan yang sangat beragam, Pancasila akan melahirkan banyak persepektif dari agama yang berbeda-beda. Demikian pula sila-sila lain yang dipersepsikan dalam kacamata kebudayaan yang saling berlainan. Hal inilah yang acapkali menimbulkan konflik.

Masalah-Masalah Hari Ini

    Bersamaan dengan turunnya Orde Baru, mulailah muncul ekspresi-ekspresi baru dalam beragama dan berkeyakinan serta berbudaya. Banyak sekali ormas dan partai politik keagamaan yang muncul ke permukaan. Dominasi kebudayaan Jawa juga tidak lagi sekuat dulu, sehingga kebudayaan-kebudayaan lain mulai mendapat tempat. Sebut saja kehadiran wakil presiden Hamzah Haz dan Jusuf Kalla yang bukan orang Jawa, padahal para pejabat di zaman Orde Baru amat didominasi orang Jawa.

    Karena tatanan masyarakat yang berubah dan kontrol pemerintah yang tidak lagi ketat, maka bermunculanlah konflik-konflik horizontal antar masyarakat yang berbudaya dan antarumat beragama. Pemikiran-pemikiran yang tak lagi menghargai perbedaan mulai berkembang. Akibatnya, muncul rasa tidak aman dan saling berprasangka antarelemen masyarakat.

    Beberapa contoh mutakhir dari konflik-konflik tersebut adalah kasus Syiah di Sampang, GKI Yasmin, dan aksi-aksi destruktif yang dilancarkan ormas-ormas tertentu. Keseluruhan konflik tersebut terjadi karena pemahaman bahwa mayoritas berhak memaksa minoritas agar bertindak sesuai pahamnya. Konflik-konflik budaya, di lain pihak, memperlihatkan tidak saling memahaminya satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sebut saja kasus Sampang.

    Baik kasus-kasus konflik keagamaan maupun antarbudaya, hemat penulis, sama-sama dilatarbelakangi oleh kecemburuan sosial. Meskipun para pelaku yang terlibat konflik sama-sama menegaskan firman Ilahi sebagai pembenaran atas tindakan mereka, namun jika ditilik lagi, konflik yang terjadi adalah masalah vested interest belaka (Achmad (ed.), 2001:84).

Pluralisme, Berbahayakah?

Sementara kalangan menilai bahwa bersikap pluralistik berarti sama dengan menjual akidah dan merampas identitas kebudayaan. Organisasi-organisasi masyarakat dan golongan agama tertentu malah mengharamkan pengikut-pengikut agama untuk menganut pluralisme.

Tapi apa sebenarnya makna dari pluralisme itu sendiri? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya). Pluralisme bisa mendatangkan pengertian yang bermacam-macam. Ada yang disebut pluralisme agama, budaya, sosial, maupun filosofis.

    Nilai-nilai pluralisme bukanlah nilai, seperti tuduhan banyak pihak, yang diimpor dari “Barat” atau dari luar agama dan budaya kita. Justru dalam kesejarahan dan keagamaan kita, terlihat banyak sekali contoh-contoh tindakan pluralisme. Umat-umat Hindu dan Buddha pada masa-masa kerajaan Hindu-Buddha telah memperlihatkan pola hidup pluralistik jauh sebelum istilah pluralisme itu sendiri diperkenalkan. Demikian pula Islam yang menunjukkan toleransi dan keluwesannya ketika dihadapkan dengan kepercayaan asli dan agama Hindu yang telah kukuh di Indonesia.

    Kita tentu ingat dengan semboyan negara kita: Bhinneka Tunggal Ika. Versi lebih lengkap dari ujaran sansekerta tersebut lebih kurang demikian:

Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

(Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.)

Ini menunjukkan adanya toleransi antara penganut agama Buddha dengan Hindu Siwa yang ada dalam kerajaan Majapahit. Tiada kerancuan dalam kebenaran, maka selayaknyalah kita tidak usah saling menyalahkan dalam mencari kebenaran. Atau menurut Al-Quran dapat dikatakan, Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan (Al-Baqarah [2:256]). Kita harus menjunjung toleransi beragama dan berbudaya dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika dan juga Pancasila dengan berketuhanan Yang Maha Esa. Jika landasan-landasan ini dapat dimengerti dan dijalankan dengan baik, pastilah kerukunan bergama dan dialog peradaban yang betul-betul beradab akan dapat berjalan.

Daftar Pustaka

Achmad, Nur (ed.). 2001. Pluralitas Agama. Jakarta: Kompas.
Soekarno. 1945. Lahirnya Pancasila. Dimuat dalam http://id.wikisource.org/wiki/Lahirnya_Pancasila.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Ali, Jamilludin. 2010. Bab Sekilas Perkembangan Islam di Indonesia Sebelum Orde Baru (1942-1965) dalam Islam Kultural: Kajian Pemikiran Politik Nurcholish Madjid 1972-1998. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.

Leave a Comment

“Sekolah Lain-Lain”

Tadi pagi, aku melihat-lihat hasil tryout SMA RSBI yang diadakan sekolah hari minggu kemarin. Hari itu aku sempat bercakap-cakap dengan beberapa peserta tryout. Banyak yang ternyata berasal dari luar kota Surabaya. Meskipun pagu (jumlah diterima) yang disediakan untuk pendaftar sekolah dari luar kota hanya satu persen dari total pagu (SMA-ku berpagu 300, jadi kuota untuk siswa luar kota hanya 3 siswa saja), tapi sepertinya tidak mengurangi semangat mereka untuk tetap mengejar pendidikan di metropolitan ini. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional yang memiliki citra prestisius hanya tersedia di kota-kota tertentu. Sehingga tidak aneh jika banyak siswa luar kota yang mendaftarkan diri ke sekolah-sekolah RSBI.

Peringkat satu dan dua diraih oleh siswa dari salah satu SMP bergengsi (dan tentu juga RSBI) dalam kota. Bukan hal istimewa, namanya juga main di kandang sendiri. Peringkat 3 diraih oleh siswa yang berasal dari SMP Lain-Lain. Sebentar, SMP apa ini? Berdasarkan pengalamanku mengurus pengisian LJK di sebuah even lomba sekolah,  SMP Lain-Lain ini didapat karena sekolah asal dari peserta ini tidak mendapat kode sekolah untuk ditulis di LJK. Yang mendapat “gelar” seperti ini biasanya adalah sekolah yang bisa dibilang tidak begitu terdengar namanya atau yang mendaftarnya terlambat (tapi yang terlambatpun biasanya juga dari sekolah yang kurang terkenal). (Disclaimer: aku nggak tahu sistem pengerjaan tryout ini, dan cuma bisa mengira berdasarkan pengalaman.)

Beberapa hari silam, sempat ada pernyataan dari mantan Menteri Pendidikan Daoed Joesoef tentang RSBI. Dalam pernyataan beliau yang dimuat di Detik, beliau mengatakan:

“RSBI dan SBI sama saja dengan menimbulkan kekastaan. Karena secara tidak langsung telah menyiapkan dua jenis kelompok yaitu, kelompok cerdas yang begitu rupa, dan kelompok kedua, adalah kelompok yang sekadar penonton belaka dalam pembangunan nasional. Ini jelas telah melanggar azas demokrasi pendidikan,”

Kata pengkastaan sering digunakan pengkritik RSBI ketika membandingkan sekolah RSBI dengan “sekolah lain-lain”. Sebagaimana dinyatakan oleh salah satu orang terkenal di era Orde Baru ini, RSBI menyebabkan pendidikan tidak merata. Siswa tidak akan mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang setara. Ketimpangan pun pasti akan terjadi di kemudian hari. Sekolah RSBI akan semakin maju dengan lulusan-lulusan yang punya nama besar, sementara sekolah-sekolah lainnya hanya akan jalan di tempat dengan lulusan yang biasa-biasa saja.

Beberapa dari kita sepertinya sudah sering mendengar perkataan,  “kalau ada pahlawan lewat, harus ada yang bertepuk tangan di pinggir jalan“. Ibaratnya, RSBI  diprogram untuk menciptakan pahlawan sedangkan “sekolah lain-lain” hanya akan menciptakan orang-orang yang bertepuk tangan di pinggir jalan. Akan timbul kasta cerdik cendekia dan kasta rakyat biasa. Bukankah ini mirip dengan kondisi Bumiputera dengan rakyat jelata pada masa kolonial dulu? Mereka sama-sama bangsa Indonesia, tapi benar-benar berbeda peradabannya.

5 Comments
In word we trust