Skip to content

Tag: filsafat-filsafatan

Permintaan

Peringatan: banyak negasi, hati-hati bacanya.

Menurut psikoanalis Jacques Lacan, cinta adalah permintaan. Apa maksudnya?

Pikirkan seorang anak yang terbiasa dimanjakan. Dia meminta biskuit pada ibunya. Setelah diberi, dia akan minta pisang. Setelah diberi lagi, dia akan minta dibelikan mainan. Dia akan terus-menerus meminta sampai ibunya tidak lagi mau atau mampu memberikannya apa-apa lagi.

Yang sebenarnya diminta anak itu bukan biskuit, pisang, atau mainan. Tapi ada hal lain yang  dia inginkan. Inilah yang dimaksud Lacan dengan permintaan: mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin bisa diberikan. Apa itu?

Menurut Lacan, objek yang tidak mungkin bisa diberikan ini tidak akan pernah ada. Ya, pada akhirnya orang yang meminta tidak akan mendapat apa-apa karena apa yang dia minta juga sebenarnya tidak ada. Permintaan hanyalah keadaan mengharapkan sesuatu yang tak akan bisa diberikan.

Lalu dikatakan: cinta itu permintaan. Karena permintaan itu sesuatu yang barangnya ‘tidak ada’, apa berarti cinta itu juga sebenarnya ‘tidak ada’? Bukan cinta yang tidak ada, yang tidak ada adalah objeknya, tujuannya.

Dua orang yang saling mencintai berarti dalam keadaan saling meminta. Ketika mereka sudah tidak saling cinta, artinya mereka sudah sadar bahwa apa yang mereka minta itu sebenarnya tidak ada.

Mencintai berarti berusaha memberikan apa yang tidak kumiliki pada yang memintanya dan  meminta pada orang yang kucintai apa yang tidak mereka miliki.

Leave a Comment

“…L’enfer, c’est les autres.”

GARCIN : ….neraka adalah orang lain.

[Jean-Paul Sartre dalam Pintu Tertutup, terjemahan Asrul Sani]

Tunggu dulu. Bukan berarti aku bilang kalau semua orang harus dijauhi.

Kita tak hidup sendirian di dunia ini. Meski kita memegang kendali atas diri kita, tapi kita akan selalu dibayangi oleh tatapan orang lain. Tatapan orang lain atas diri kitalah yang membatasi kebebasan kita untuk bertindak.

GARCIN : Biarkan aku. Dia ada di antara kita. Aku tidak dapat mencintai kau kalau dia melihat.

Kita hidup untuk diri kita sendiri [1], dan orang lain adalah objek bagi kesadaran kita. Tapi kita mesti ingat kalau orang lain juga hidup dan memandang diri kita sebagai objek bagi kesadaran mereka [2]. Semua yang kita lakukan akan kita lakukan dengan kesadaran bahwa kita sedang diperhatikan oleh orang lain.

Agar bisa diterima, kita harus mencocokkan diri kita dengan apa yang diinginkan orang lain. Hilanglah satu per satu kebebasan kita. Beberapa orang malah pasrah sepenuhnya pada tatapan orang lain dan kehilangan dirinya sendiri.

Beberapa orang yang lain sadar bahwa mereka tidak boleh terpengaruh siapapun. Mereka akhirnya malah menyakiti orang lain, dengan dasar bahwa orang lain menginjak-injak kebebasan mereka.

Meski begitu, sudah kukatakan bahwa semua ini bukan alasan untuk menjauhi orang lain.

Sekarang pikirkanlah bagaimana jika kita hidup tanpa orang lain. Kita dapat ada karena orang lain mengenali bahwa kita ada. Bila orang lain tidak ada, maka tidak ada yang akan mengenali keberadaan kita. Ada atau tidaknya kita tidak akan bermakna apa-apa.

Mencocokkan diri kita dengan pandangan orang lain tidak berarti harus menghapus persepsi diri kita sendiri. Kita dapat membaur dengan orang lain dengan apa adanya diri kita. Biarlah orang lain berkata, tapi kita sendiri yang memutuskan.

Dan yang terpenting, menganiaya orang lain tidak termasuk dari kebebasan kita. Jika kita menganiaya orang lain, sama saja kita tidak bertanggung jawab pada kebebasan kita.

_________________

[1] Pada dasarnya, kesadaran yang dimiliki manusia adalah tanda bahwa dia ada. Kesadaran ini menegaskan dan menopang identitasnya sebagai subjek. Oleh Jean-Paul Sartre, ini disebut dengan l’etre pour soi (ada untuk dirinya).
[2] Sebagai lawan dari l’etre pour soi, Sartre menyebut l’etre en soi (ada dalam dirinya). L’etre en soi berarti manusia hidup sebagai dirinya sendiri, sebagai objek bagi kesadaran yang lain.

Leave a Comment
In word we trust