Skip to content

Tag: bahasa

“Nggak maksud ngejek sih, tapi…”

X
Eh, lagi ngapain? 😀

Y
Lagi bikin gambar anatomi nih. 🙂

stickman
X
(terdiam)
Nggak maksud ngejek sih, tapi kok kayaknya kurang proporsional ya…. 🙁

Y
Eh, uasem, der Hund! Kalo mau ngejek ngejek aja, gausah pake tapi-tapian! 👿

X
Lho, aku kan nggak– 😕

Y
Alah, mau alasan apa, ha? Kata-katamu aja udah nunjukin kalo kamu emang niatnya ngejek. 😡

Apa iya Si X yang nggak sensitif atau Si Y aja yang alayPedantically speaking, Si Y ada benarnya juga. Lah, kok bisa?

Perhatikan kalimat ini:

Nggak maksud ngejek sih, tapi kok kayaknya kurang proporsional ya….

Seperti yang kita lihat, kalimat ini mengandung dua bagian (istilah resminya klausa). Keduanya dihubungkan kata tapi. Kata tapi pada dasarnya menunjukkan pertentangan antara bagian pertama dan kedua. Kalau kita baca bagian pertamanya saja:

Nggak maksud ngejek sih, tapi…

berarti kata-kata yang keluar setelah itu adalah ejekan. Iya kan? :mrgreen:

Waktu SMP dulu aku pernah membaca buku ‘psikologi’ terapan (lupa judulnya) yang membahas masalah semacam ini. Di sana dikatakan, kalau ada orang yang bicara begitu padamu, berarti dia sedang mengejekmu secara tidak langsung. Aku sendiri tidak setuju. Kebanyakan orang bilang seperti itu karena tidak tahu makna sebenarnya dari kata-kata mereka. Inilah bahasa lisan yang seringkali suka mbeleset dari kaidah bahasa yang baku. Apalagi bahasa kita, bahasa Indonesia, yang kebanyakan penuturnya buta soal grammar.

Tapi lain lagi kasusnya kalau kata-kata ini diniatkan untuk mengejek, dengan sedikit bermain kata…. 🙄

Menurut sampean?

1 Comment

Menyambut Penghapusan Jurusan

Hasil nulis ulang esai yang tadi siang dikumpulin buat tugas bahasa Indonesia. Nggak bakal sama persis sih, ada beberapa bagian yang dipotong dan ditambahi. Lebih banyak ditambahinnya sih. :mrgreen:

Kurikulum 2013 masih memicu kontroversi sekalipun telah ditutup uji publiknya. Memang, gagasan terbaru Kemendiknas ini menjanjikan perubahan radikal pada sistem pendidikan nasional. Mulai tingkat SD hingga perguruan tinggi, semuanya terimbas oleh kebijakan yang rencananya akan digulirkan pada tahun ajaran depan ini. Namun, segala kritikan dan celaan terhadap perombakan yang entah keberapa kalinya ini seperti dianggap hanya angin lalu. Kemendiknas tetap bersikukuh untuk menerapkan rancangan kurikulum barunya.

Di samping kritikan-kritikan yang ada, ada satu perombakan di kurikulum ini yang patut diberikan pujian, yaitu dihapuskannya penjurusan di jenjang SMA. Dalam pernyataan yang pernah dimuat dalam situs uji publik Kurikulum 2013, Kemendiknas beralasan bahwa sudah hampir tidak ada lagi negara yang menerapkan sistem penjurusan. Selain itu, adanya penjurusan sudah tidak lagi relevan, terutama di tingkat perguruan tinggi.

Tujuan utama diadakannya penjurusan adalah sebagai modal untuk pendidikan lebih lanjut, yaitu perguruan tinggi. Akan tetapi, tren penerimaan mahasiswa baru menunjukkan sudah tidak dihiraukannya lagi sistem penjurusan. Seleksi-seleksi mahasiswa baru, yaitu SNMPTN dan seleksi mandiri universitas kebanyakan sudah tidak membatasi kursi program-program studinya untuk lulusan SMA dari jurusan tertentu. Saat ini sudah tidak jarang ditemui siswa jurusan Ilmu Alam (IA) yang mendaftar dan diterima pada program studi dalam rumpun Ilmu Sosial (IS) atau bahasa (sebenarnya lebih tepat disebut ilmu budaya), begitu juga sebaliknya. Jurusan sudah tidak lagi memiliki relevansi dan makna di luar sekolah.

Tidak hanya itu, adanya jurusan juga menciptakan jurang pemisah di antara rumpun-rumpun ilmu pengetahuan. Sudah menjadi anggapan umum bahwa jurusan IA adalah jurusan unggulan sememntara IS dan terlebih lagi bahasa adalah jurusan buangan. Pola pikir semacam ini tidak saja konyol namun juga berbahaya. Secara tidak langsung, orang akan berpikiran bahwa bekerja di pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan Ilmu Alam lebih bergengsi ketimbang bekerja di pekerjaan-pekerjaan dalam Ilmu Sosial dan bahasa/ilmu budaya. Bekerja sebagai insinyur atau dokter, misalnya, dianggap lebih bergengsi ketimbang menjadi sosiolog atau penerjemah. Ini dapat mengakibatkan ketimpangan jumlah angkatan kerja di masa depan kelak. Bisa saja nanti akan ada banyak dokter tanpa pasien sementara penerjemah yang dewasa ini dibutuhkan oleh pebisnis akan sulit dicari.

Selain masalah profesi, paradigma yang terbentuk karena adanya penjurusan berpotensi menghambat kemajuan ilmu pengetahuan di negeri ini. Sama dengan pola pikir masyarakat, di lingkungan akademik sendiri juga muncul anggapan bahwa jurusan-jurusan IA lebih patut diberi prioritas daripada jurusan-jurusan IS dan bahasa/ilmu budaya. Rumpun ilmu selain Ilmu Alam dianggap sebagai ilmu pengetahuan kelas dua. Mirisnya, kaum akademikus yang mestinya jadi panutan dalam hal ilmu dan pengetahuan juga banyak yang mengamini anggapan kolot semacam ini. Untuk membangun negeri yang sudah tertinggal jauh ini, satu macam ilmu saja tidak cukup! Praktik mengotak-ngotakkan dan menganakemas-tirikan rumpun ilmu ini harus dihentikan kalau bangsa ini ingin maju.

Jujun S. Suriasumantri, seorang guru besar Institut Pertanian Bogor pernah menulis bahwa membuat penjurusan adalah seperti halnya membangun Tembok Berlin. Oleh karena itu, patutlah kita menyambut langkah Kemendiknas ini dengan semangat bersatunya kembali Jerman Barat dan Jerman Timur (dalam hal ini, rumpun-rumpun ilmu yang selama ini terpisah). Kita berharap runtuhnya “Tembok Berlin” penjurusan ini akan membawa masa depan yang lebih baik bagi dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan di negeri kita. Dengan begitu, cita-cita negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa akan tercapai.

Leave a Comment
In word we trust