Skip to content

Month: January 2013

Menyambut Penghapusan Jurusan

Hasil nulis ulang esai yang tadi siang dikumpulin buat tugas bahasa Indonesia. Nggak bakal sama persis sih, ada beberapa bagian yang dipotong dan ditambahi. Lebih banyak ditambahinnya sih. :mrgreen:

Kurikulum 2013 masih memicu kontroversi sekalipun telah ditutup uji publiknya. Memang, gagasan terbaru Kemendiknas ini menjanjikan perubahan radikal pada sistem pendidikan nasional. Mulai tingkat SD hingga perguruan tinggi, semuanya terimbas oleh kebijakan yang rencananya akan digulirkan pada tahun ajaran depan ini. Namun, segala kritikan dan celaan terhadap perombakan yang entah keberapa kalinya ini seperti dianggap hanya angin lalu. Kemendiknas tetap bersikukuh untuk menerapkan rancangan kurikulum barunya.

Di samping kritikan-kritikan yang ada, ada satu perombakan di kurikulum ini yang patut diberikan pujian, yaitu dihapuskannya penjurusan di jenjang SMA. Dalam pernyataan yang pernah dimuat dalam situs uji publik Kurikulum 2013, Kemendiknas beralasan bahwa sudah hampir tidak ada lagi negara yang menerapkan sistem penjurusan. Selain itu, adanya penjurusan sudah tidak lagi relevan, terutama di tingkat perguruan tinggi.

Tujuan utama diadakannya penjurusan adalah sebagai modal untuk pendidikan lebih lanjut, yaitu perguruan tinggi. Akan tetapi, tren penerimaan mahasiswa baru menunjukkan sudah tidak dihiraukannya lagi sistem penjurusan. Seleksi-seleksi mahasiswa baru, yaitu SNMPTN dan seleksi mandiri universitas kebanyakan sudah tidak membatasi kursi program-program studinya untuk lulusan SMA dari jurusan tertentu. Saat ini sudah tidak jarang ditemui siswa jurusan Ilmu Alam (IA) yang mendaftar dan diterima pada program studi dalam rumpun Ilmu Sosial (IS) atau bahasa (sebenarnya lebih tepat disebut ilmu budaya), begitu juga sebaliknya. Jurusan sudah tidak lagi memiliki relevansi dan makna di luar sekolah.

Tidak hanya itu, adanya jurusan juga menciptakan jurang pemisah di antara rumpun-rumpun ilmu pengetahuan. Sudah menjadi anggapan umum bahwa jurusan IA adalah jurusan unggulan sememntara IS dan terlebih lagi bahasa adalah jurusan buangan. Pola pikir semacam ini tidak saja konyol namun juga berbahaya. Secara tidak langsung, orang akan berpikiran bahwa bekerja di pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan Ilmu Alam lebih bergengsi ketimbang bekerja di pekerjaan-pekerjaan dalam Ilmu Sosial dan bahasa/ilmu budaya. Bekerja sebagai insinyur atau dokter, misalnya, dianggap lebih bergengsi ketimbang menjadi sosiolog atau penerjemah. Ini dapat mengakibatkan ketimpangan jumlah angkatan kerja di masa depan kelak. Bisa saja nanti akan ada banyak dokter tanpa pasien sementara penerjemah yang dewasa ini dibutuhkan oleh pebisnis akan sulit dicari.

Selain masalah profesi, paradigma yang terbentuk karena adanya penjurusan berpotensi menghambat kemajuan ilmu pengetahuan di negeri ini. Sama dengan pola pikir masyarakat, di lingkungan akademik sendiri juga muncul anggapan bahwa jurusan-jurusan IA lebih patut diberi prioritas daripada jurusan-jurusan IS dan bahasa/ilmu budaya. Rumpun ilmu selain Ilmu Alam dianggap sebagai ilmu pengetahuan kelas dua. Mirisnya, kaum akademikus yang mestinya jadi panutan dalam hal ilmu dan pengetahuan juga banyak yang mengamini anggapan kolot semacam ini. Untuk membangun negeri yang sudah tertinggal jauh ini, satu macam ilmu saja tidak cukup! Praktik mengotak-ngotakkan dan menganakemas-tirikan rumpun ilmu ini harus dihentikan kalau bangsa ini ingin maju.

Jujun S. Suriasumantri, seorang guru besar Institut Pertanian Bogor pernah menulis bahwa membuat penjurusan adalah seperti halnya membangun Tembok Berlin. Oleh karena itu, patutlah kita menyambut langkah Kemendiknas ini dengan semangat bersatunya kembali Jerman Barat dan Jerman Timur (dalam hal ini, rumpun-rumpun ilmu yang selama ini terpisah). Kita berharap runtuhnya “Tembok Berlin” penjurusan ini akan membawa masa depan yang lebih baik bagi dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan di negeri kita. Dengan begitu, cita-cita negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa akan tercapai.

Leave a Comment

Pembunuhan ABC

Agatha Christie. Jujur, aku tak pernah tertarik dengan novel-novel misterinya sampai aku menonton Hyouka. Saking banyaknya referensi ke buku-buku Christie, akhirnya aku penasaran dan mulai membaca satu-dua judul yang terkenal. Yang pertama adalah Sepuluh Anak Negro (Inggris: And Then There were None). Bisa dikatakan bahwa novel ini adalah induk semua cerita closed circle mystery (macam cerita-cerita pembunuhan di pulau terpencil). Semakin mendekati akhir, bukan penyelesaian yang kutemukan, tapi kasus yang terjadi malah semakin tidak terpecahkan. Dan tiba-tiba pada bab terakhir, semua misteri langsung terpecahkan!

Tapi sesuai judul, sebenarnya aku akan menulis soal novel yang baru saja kutamatkan: Pembunuhan ABC (Inggris: The ABC Murders). Detektif yang membintangi novel ini tak lain dan tak bukan adalah Hercule Poirot (ngomong-ngomong, seharusnya nama belakangnya dibaca pwa-rou dan bukannya poi-rot seperti yang kita lakukan selama ini). Nah, banyak yang bilang bahwa novel ini adalah salah satu karya terbaik Christie. Apa sebabnya?

Ada tiga orang yang dibunuh oleh seorang yang tak diketahui identitasnya. Setiap akan membunuh, sang penjahat yang menggunakan nama inisial ABC mengirim surat pada Poirot untuk mengumumkan rencana kejahatannya. Dan selama tiga kali pembunuhan itu Poirot selalu gagal mencegah, apalagi mengungkap identitas sang pelaku. ABC membunuh korbannya secara berurutan: Ascher terbunuh di Andover, Betty Barnard terbunuh di Bexhill, dan Charmichael Clarke terbunuh di Churston. Di dekat jenazah korban, selalu ditemukan buku Petunjuk Kereta Api ABC dalam keadaan terbuka menunjukkan lokasi pembunuhan.

Selain dari identitas pembunuh, hal lain yang membingungkan Poirot dalam menyelidiki kasus ini adalah motif. Ketiga korban tampaknya tak saling berhubungan dalam hal apapun. Dengan bantuan rekannya Kapten Hastings (novel ini sebenarnya adalah catatan kasus yang ditulis Kapten Hastings), Poirot mengumpulkan kerabat para korban dan mulai mencari petunjuk tentang identitas ABC. Namun untuk mendapatkannya, Poirot kembali berbenturan dengan teka-teki soal motif.

Bagiku, pencarian identitas dan motif ABC inilah yang membuat Pembunuhan ABC menarik. Tampaknya tak ada petunjuk yang bisa ditemukan dan ketiga orang yang terbunuh juga tak saling memiliki hubungan apapun. Meski demikian, Poirot dengan “sel-sel kelabu”-nya menggali informasi dan mengungkap fakta dari arah yang tidak diduga. Ini yang membuat plot novel ini menjadi menarik untuk diikuti.

Selain bercerita soal penyelidikan Poirot, Kapten Hastings juga menyisipkan cerita tentang seorang bernama Alexander Bonaparte Cust. Cust adalah seorang veteran perang yang pemalu dan sering kali merasa gagal dalam hidupnya. Ia sering dianggap aneh oleh orang-orang di sekitarnya, termasuk pemilik apartemennya. Mengapa Kapten Hastings memberikan cerita soal Cust? Apa hubungannya dengan misteri pembunuhan ABC?

Misteri ABC dan teka-teki soal siapa sebenarnya Cust semakin lama terlihat membingungkan. Tapi pada akhirnya, penyelesaian yang dibawakan Poirot mengungkapkan seluruhnya. Yang jelas, tebakanku tentang siapa pembunuhnya dan siapa Cust ternyata tidak benar.

Sebenarnya misteri yang dibawakan oleh Agatha Christie tidak terlalu istimewa secara penulisan. Pembunuhan ABC sendiri, dan demikian juga karya-karya Christie lainnya, lebih dikenang karena plot-nya ketimbang muatan isinya (misalnya nilai sastra atau kritik sosial). Mungkin kelihatannya sudah jelas untuk sebagian besar pembaca, tapi aku sendiri baru sadar soal ini.

Jadi, kesimpulannya?

tl;dr : Siapapun yang suka cerita misteri atau novel thriller (bukan cerita horor) disarankan buat baca buku ini.

Leave a Comment
In word we trust