Sebuah pesan dari seorang kawan masuk ke ponselku. Aku lekas-lekas membukanya dan terheran-heran. Isinya ucapan selamat. Benarkah ini? Aku bingung antara harus bersyukur atau masygul. Terlebih lagi, sialnya, aku sedang berada di kelas bimbel mengerjakan tryout. Konsentrasi yang sudah lama kubangun buyar. Hari itu aku lebih memilih untuk mengikuti tryout dahulu ketimbang langsung membuka pengumuman SNMPTN. Boro-boro punya ranking bagus, ulangan saja aku tidak pernah lolos. Nilai UN pun kepala empat. Mana mungkin diterima?
Sekitar satu setengah jam kemudian aku sudah berada di rumah. Setelah panik beberapa saat karena kehilangan kartu peserta, akhirnya pengumuman kelulusan itu berhasil kubuka. Ternyata benar. SMS-SMS yang menanyakan kabar kelulusan dan juga yang memberi selamat tadi kubalas. Alhamdulillah.
Alhamdulillah?
Terdengung-dengung lagi apa yang diingatkan temanku. Rasa syukur seseorang bisa menjadi penyakit hati bagi yang lain. Dan ya, memang sedari awal aku akan memilih untuk bersikap semadyanya. Ini bukan sesuatu yang perlu selebrasi. Ada yang bilang ini semacam undian, malah. Yang jelas, ada baiknya kalau kita yakin bahwa semua ini ada hitung-hitungannya: hitung-hitungan orang-orang di depan komputer dan terlebih lagi hitung-hitungan dari Yang Maha Menghitung. Dan sekali lagi, kejadian ini tidak istimewa.
Tapi, salahkah sekadar memuji-Nya jika Ia memang menyuruh yang demikian?
Walau kataku tak terdengar, tapi semoga lisan ini tetap dijaga.
Be First to Comment