Skip to content

Antariksa Akhmadi Posts

“High school never ends”

That deplorable statement. Come on. It sucks, man, but high school does end. From here on, you will have to find yourself new friends. Also, you will be separated from your old friends. You feel like you’re old already. You think that what lies ahead is no more than a painful life at college and work and work and all the miserable, ugly, truth about real life the adults may have had warned you of.

While I’m not an adult yet, at least I can assure myself that there’s nothing to be feared about. We all grow up. As soon as we get older and no longer enjoyed things we’ve enjoyed as kids, we’ll find other kinds of enjoyment. Life’s difficult, it is, but at least not impossible to live.

Good news, though. You’re still considered a teenager until you reach twenty. Even when you’ve eventually been a 20-ish person, you’re still considered young by the society until you’re at least 25 (or if you get wrinkles sooner).  But it also could be 30 or even 45. So, take your time, especially if you’re still under 18 by the time of your graduation.

Anyway, congrats on graduating and starting your new life at college. 😉

3 Comments

Puisi XX, Pablo Neruda

[youtube=”https://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=yanU4dFC7lU”]
Pablo Neruda adalah seorang pujangga kenamaan asal Chile yang lahir tahun 1904 dan wafat tahun 1973. Selain menggubah puisi, beliau juga seorang diplomat yang konon pernah tinggal di Hindia Belanda. Di masa sekarang, pemenang Hadiah Nobel bidang sastra tahun 1971 ini dikenal sebagai salah satu pujangga termasyhur abad XX.

Pablo Neruda menulis puisi pertamanya di usianya yang kesepuluh. Pada usia 19 tahun, antologi puisinya yang berjudul Veinte poemas de amor y una canción desesperada (Bhs. Indonesia: Dua Puluh Puisi Cinta dan Satu Nyanyian Putus Asa) diterbitkan. Antologi ini mengundang kontroversi karena muatannya yang dianggap terlalu sensual dan pengarangnya yang terbilang masih belia. Di sisi lain, antologi inilah yang melejitkan nama Pablo Neruda sebagai pujangga besar.

Puisi di bawah ini bisa menjadi gambaran gaya berpuisi beliau. Ini sebenarnya cuma terjemahan separuh-separuh entah benar entah salah dari versi bahasa Inggrisnya. Kalau ingin membandingkan, silakan lihat di sini. Mohon koreksinya bila ada yang salah. 😉

XX

Aku Menulis

Malam ini aku tulis sajak paling sedih.

Aku tulis, semisal, “Langit malam berbintang
dan bintang-bintang kebiruan menggigil di kejauhan.”

Angin malam bersemilir di awang-awang dan bernyanyi.

Malam ini aku tulis sajak paling sedih.
Dulu aku mencintainya, dan kadang dia pun mencintaiku.

Di malam-malam seperti ini, aku dekap dia dengan kedua tanganku.
Aku kecup dia lagi dan lagi di bawah naungan langit yang mahaluas.

Dulu dia mencintaiku, dan kadang aku pun mencintainya.
Betapa aku dulunya tak berdaya dengan kedua mata besarnya
yang tegar.

Malam ini aku tulis sajak paling sedih.
Kupikir aku tak lagi memiliki dia. Kurasa aku telah
kehilangan dia.

Aku dengar sunyi malam belantara, tambah belantara tanpa dirinya.
Dan bait-bait turun ke kalbu seperti embun kepada pekarangan.

Apalah artinya jika cintaku tak dapat menjaganya.
Langit malam berbintang, dan dia tak bersamaku.

Beginilah. Di kejauhan, seorang bernyanyi. Di kejauhan.
Jiwaku tak rela kehilangan dirinya.

Mataku mencari-cari seolah ingin mendekapnya.
Hatiku mencoba mencarinya, dan dia tak bersamaku.

Malam-malam yang sama menyinari pohon-pohon yang sama.
Namun aku dan dia tak lagi sama.

Aku tak lagi mencintainya, tentu, tapi betapa aku dulu mencintainya.
Suaraku mencari angin agar dapat menjamah gendang telinganya.

Yang lain. Dia akan jadi milik yang lain. Dia yang dulu sebelum ciumanku.
Suaranya, tubuhnya. Matanya yang tak berbatas.

Aku tak lagi mencintainya, tentu, tapi mungkin aku mencintainya.
Cinta hanya sekejap, namun sungguh lama melupakannya.

Karena di malam-malam seperti ini aku dekap dia
hingga jiwaku tak rela telah kehilangan dirinya.

Tapi ini akan jadi siksa terakhir yang dia hempaskan kepadaku
dan inilah bait terakhir yang aku tulis untuknya.

2 Comments

1206

Mesin Waktu

kalau aku bisa pergi
meretas batas ingatan
biarlah nanti kulihat
wajah ceria mereka
yang belum pernah kukenal
dan biarlah hati kecil mereka
menjelaskan padaku
peristiwa panjang
yang bakal dikenang
lalu kuceritakan
bahwa suatu masa kelak
aku akan mencintai mereka

Leave a Comment

Syukur

Sebuah pesan dari seorang kawan masuk ke ponselku. Aku lekas-lekas membukanya dan terheran-heran. Isinya ucapan selamat. Benarkah ini? Aku bingung antara harus bersyukur atau masygul. Terlebih lagi, sialnya, aku sedang berada di kelas bimbel mengerjakan tryout. Konsentrasi yang sudah lama kubangun buyar. Hari itu aku lebih memilih untuk mengikuti tryout dahulu ketimbang langsung membuka pengumuman SNMPTN. Boro-boro punya ranking bagus, ulangan saja aku tidak pernah lolos. Nilai UN pun kepala empat. Mana mungkin diterima?

Sekitar satu setengah jam kemudian aku sudah berada di rumah. Setelah panik beberapa saat karena kehilangan kartu peserta, akhirnya pengumuman kelulusan itu berhasil kubuka. Ternyata benar. SMS-SMS yang menanyakan kabar kelulusan dan juga yang memberi selamat tadi kubalas. Alhamdulillah.

Alhamdulillah?

Terdengung-dengung lagi apa yang diingatkan temanku. Rasa syukur seseorang bisa menjadi penyakit hati bagi yang lain. Dan ya, memang sedari awal aku akan memilih untuk bersikap semadyanya. Ini bukan sesuatu yang perlu selebrasi. Ada yang bilang ini semacam undian, malah. Yang jelas, ada baiknya kalau kita yakin bahwa semua ini ada hitung-hitungannya: hitung-hitungan orang-orang di depan komputer dan terlebih lagi hitung-hitungan dari Yang Maha Menghitung. Dan sekali lagi, kejadian ini tidak istimewa.

Tapi, salahkah sekadar memuji-Nya jika Ia memang menyuruh yang demikian?

Walau kataku tak terdengar, tapi semoga lisan ini tetap dijaga.

Leave a Comment
In word we trust