Skip to content

Category: Thoughts

“Nggak maksud ngejek sih, tapi…”

X
Eh, lagi ngapain? 😀

Y
Lagi bikin gambar anatomi nih. 🙂

stickman
X
(terdiam)
Nggak maksud ngejek sih, tapi kok kayaknya kurang proporsional ya…. 🙁

Y
Eh, uasem, der Hund! Kalo mau ngejek ngejek aja, gausah pake tapi-tapian! 👿

X
Lho, aku kan nggak– 😕

Y
Alah, mau alasan apa, ha? Kata-katamu aja udah nunjukin kalo kamu emang niatnya ngejek. 😡

Apa iya Si X yang nggak sensitif atau Si Y aja yang alayPedantically speaking, Si Y ada benarnya juga. Lah, kok bisa?

Perhatikan kalimat ini:

Nggak maksud ngejek sih, tapi kok kayaknya kurang proporsional ya….

Seperti yang kita lihat, kalimat ini mengandung dua bagian (istilah resminya klausa). Keduanya dihubungkan kata tapi. Kata tapi pada dasarnya menunjukkan pertentangan antara bagian pertama dan kedua. Kalau kita baca bagian pertamanya saja:

Nggak maksud ngejek sih, tapi…

berarti kata-kata yang keluar setelah itu adalah ejekan. Iya kan? :mrgreen:

Waktu SMP dulu aku pernah membaca buku ‘psikologi’ terapan (lupa judulnya) yang membahas masalah semacam ini. Di sana dikatakan, kalau ada orang yang bicara begitu padamu, berarti dia sedang mengejekmu secara tidak langsung. Aku sendiri tidak setuju. Kebanyakan orang bilang seperti itu karena tidak tahu makna sebenarnya dari kata-kata mereka. Inilah bahasa lisan yang seringkali suka mbeleset dari kaidah bahasa yang baku. Apalagi bahasa kita, bahasa Indonesia, yang kebanyakan penuturnya buta soal grammar.

Tapi lain lagi kasusnya kalau kata-kata ini diniatkan untuk mengejek, dengan sedikit bermain kata…. 🙄

Menurut sampean?

1 Comment

Olenka

Di zaman edan ini, kita sudah terlalu banyak melihat orang yang berpura-pura tentang dirinya. Masih ingat kan ibu kita pernah berkata, “Nak, jangan gampang percaya sama orang, apalagi kalau dibaik-baikin“? Bahkan sedari kecil kita sudah diajari untuk meragukan ketulusan orang lain. Tapi nasihat itu sedikit-banyak memang benar. Tempo hari kita dikejutkan dengan ditangkapnya ketua umum salah satu parpol Islam atas tuduhan korupsi. Pamor parpol yang diklaim sebagai satu-satunya parpol berkuasa yang bersih dari korupsi itu langsung hancur.

CCI03032013
Kover Olenka cetakan kesembilan. Cheesy banget, nggak terasa kayak terbitan Balai Pustaka. [gambar sendiri]
Dengan kebohongan dan kepura-puraan yang jadi santapan kita sehari-hari, Fanton Drummond, Olenka, dan Wayne Danton adalah contoh orang-orang yang akan jarang kita temui. Mereka tidak benar-benar ada. Ketiganya hanyalah bikinan penulis Budi Darma lewat novelnya Olenka (Balai Pustaka, 1986). Budi Darma tidak memasukkan satu pun pahlawan dalam ceritanya. Sebaliknya, ketiga tokoh utamanya adalah orang yang menjijikkan: Drummond yang hidupnya diombang-ambing nafsunya akan Olenka, Danton sang sastrawan gagal yang memperlakukan Olenka bak barang kepunyaan, dan Olenka sendiri yang hidup luntang-lantung dan gila lelaki.

Tapi di samping betapa menjijikkannya mereka, mereka punya satu kebaikan yang tak kita punya: kejujuran. Mereka menyadari bahwa mereka adalah orang-orang rusak. Mereka tetap sadar siapa dirinya tanpa harus menutup-nutupinya dengan jubah-jubah status sosial maupun agama. Dalam sebuah bagian, Fanton Drummond membaca petikan Al-Quran surat Al-Baqarah (2):62. Kemudian menjelang ending ia merenung bahwa Tuhan akan meminta pertanggungjawaban atas segala perbuatannya (surat Al-Baqarah (2):284). Ia orang yang menyadari ketuhanan, juga membaca kitab suci. Tapi semua itu tidak dia jadikan alasan untuk menutup-nutupi keburukannya.

Setelah membaca buku ini, kita akan merenungi diri kita sendiri. Sudahkah kita berterus terang terhadap diri kita sendiri?

Ada sekitar 53 catatan kaki di buku ini, hampir semuanya adalah rujukan ke karya-karya sastra Inggris (Budi Darma berlatar belakang pendidikan sastra Inggris). Sebagian lagi berisi pengalaman Budi Darma sendiri yang mengilhami adegan yang ia tulis. Parahnya, catatan-catatan kaki ini tidak ditulis langsung di bawah halaman tapi ditempatkan di sebuah bab tersendiri. Jadi perlu kesabaran ekstra kalau kau mau mengikuti semua catatan kaki yang ada, walau memang tidak wajib.

Jangan harapkan cerita yang runtut dan berkelanjutan dalam Olenka. Sebagian besar isi novel ini menceritakan apa yang terlintas di benak tokoh-tokohnya, dan sangat sedikit bab yang berfungsi untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Bahkan menurutku, plot novel ini cenderung terlalu biasa, apalagi kisah Fanton Drummond ini akhirnya dibiarkan begitu saja tanpa kesimpulan.

Untuk bisa mengerti novel ini secara keseluruhan, kita perlu membaca bab Asal-Usul Olenka yang terletak setelah akhir cerita. Budi Darma menjelaskan mulai dari inspirasi yang membawanya menulis buku ini hingga menjelaskan apa-apa yang terjadi dengan karakter-karakternya.  Lewat buku ini, beliau memang tidak bermaksud menuturkan sebuah kisah. Bahkan, mengutip salah satu sastrawan Inggris, beliau menuturkan, “Most of our lives is so dull.” Sebagian besar hidup kita begitu membosankan. Tapi beliau menandaskan, hal yang terpenting bukanlah kisah hidup kita sendiri tapi bagaimana kita memandang dan merenunginya.

Kutipan ini menurutku adalah pesan terpenting dari novel ini:

Pada hakikatnya, setiap orang adalah seorang Immanuel Kant. Hidupnya terkungkung, tetapi pikirannya berloncatan ke sekian banyak dunia. (Bab Asal-Usul Olenka)

Leave a Comment

Metablogging

Aku bukan orang yang straightforward.

Kadang-kadang susah sekali menumpahkan pikiranku di sini. Entah itu karena apa yang kutulis (menurutku) bukan untuk diketahui orang lain, atau karena aku merasa ini bukan tempatnya.

Sebenarnya, by definition, blog itu catatan harian yang dipublikasikan. Bisa dibaca orang banyak. Mengingat-ingat lagi artikel di XY Kids yang kubaca waktu SD dulu, blog itu idealnya sama dengan diary yang ditulis di web. Waktu itu aku merasa aneh. Diary kan sifatnya pribadi, rahasia, malah biasanya digembok. Lha ini kok malah sengaja dibuka ke orang ramai? But now, after following and reading a lot of blogs, I realized that there are people who just want to be read. Bahkan meski itu tentang sesuatu yang sangat pribadi, misalnya nilai rapor atau pacar. Bisa jadi mereka tak tahu malu atau memang sangat terbuka dengan dirinya.

But then again, ada banyak alasan buat ngeblog. Aku sendiri bukan orang yang memperlakukan blog seperti buku harian. Buatku, blog ini dipakai untuk menuliskan apapun yang biasanya-terpikir-tapi-gampang-kelupaan so that I won’t forget them. Tapi belakangan cara ngeblogku sendiri banyak berubah. Jadilah blog ini seperti catatan harian (yang sebenarnya jauh dari kata harian) berisi hal-hal randomTo refer to this blog’s tagline, the posts are still ‘nit-picking’, but no longer ‘sophisticated’.

Kalau ada satu-dua postingan curhat di sini, itu cuma yang “lolos sensor”. Di draf, ada banyak postingan yang lebih random dan memalukan lagi.  Sebenarnya untuk keperluan macam ini aku punya tempat sendiri untuk menuliskannya. Tapi entah kenapa aku merasa lebih nyaman dan lebih tergoda untuk menuliskannya di blog. Itulah kenapa tempat “buang hajat tulisan” tadi jadi kurang banyak berguna dan akhirnya tulisan-tulisan katarsisku malah tertulis di sini.

Dan setelah memperhatikan blog teman dekatku yang di-set private, tiba-tiba muncul ide buat bikin blog privat sendiri sehingga tulisan-tulisan curhat/katarsis/apalah ini bisa punya tempat tinggal sendiri dan nggak merusak blog ini.

Yeah, ide bagus! >.<

8 Comments

Menyambut Penghapusan Jurusan

Hasil nulis ulang esai yang tadi siang dikumpulin buat tugas bahasa Indonesia. Nggak bakal sama persis sih, ada beberapa bagian yang dipotong dan ditambahi. Lebih banyak ditambahinnya sih. :mrgreen:

Kurikulum 2013 masih memicu kontroversi sekalipun telah ditutup uji publiknya. Memang, gagasan terbaru Kemendiknas ini menjanjikan perubahan radikal pada sistem pendidikan nasional. Mulai tingkat SD hingga perguruan tinggi, semuanya terimbas oleh kebijakan yang rencananya akan digulirkan pada tahun ajaran depan ini. Namun, segala kritikan dan celaan terhadap perombakan yang entah keberapa kalinya ini seperti dianggap hanya angin lalu. Kemendiknas tetap bersikukuh untuk menerapkan rancangan kurikulum barunya.

Di samping kritikan-kritikan yang ada, ada satu perombakan di kurikulum ini yang patut diberikan pujian, yaitu dihapuskannya penjurusan di jenjang SMA. Dalam pernyataan yang pernah dimuat dalam situs uji publik Kurikulum 2013, Kemendiknas beralasan bahwa sudah hampir tidak ada lagi negara yang menerapkan sistem penjurusan. Selain itu, adanya penjurusan sudah tidak lagi relevan, terutama di tingkat perguruan tinggi.

Tujuan utama diadakannya penjurusan adalah sebagai modal untuk pendidikan lebih lanjut, yaitu perguruan tinggi. Akan tetapi, tren penerimaan mahasiswa baru menunjukkan sudah tidak dihiraukannya lagi sistem penjurusan. Seleksi-seleksi mahasiswa baru, yaitu SNMPTN dan seleksi mandiri universitas kebanyakan sudah tidak membatasi kursi program-program studinya untuk lulusan SMA dari jurusan tertentu. Saat ini sudah tidak jarang ditemui siswa jurusan Ilmu Alam (IA) yang mendaftar dan diterima pada program studi dalam rumpun Ilmu Sosial (IS) atau bahasa (sebenarnya lebih tepat disebut ilmu budaya), begitu juga sebaliknya. Jurusan sudah tidak lagi memiliki relevansi dan makna di luar sekolah.

Tidak hanya itu, adanya jurusan juga menciptakan jurang pemisah di antara rumpun-rumpun ilmu pengetahuan. Sudah menjadi anggapan umum bahwa jurusan IA adalah jurusan unggulan sememntara IS dan terlebih lagi bahasa adalah jurusan buangan. Pola pikir semacam ini tidak saja konyol namun juga berbahaya. Secara tidak langsung, orang akan berpikiran bahwa bekerja di pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan Ilmu Alam lebih bergengsi ketimbang bekerja di pekerjaan-pekerjaan dalam Ilmu Sosial dan bahasa/ilmu budaya. Bekerja sebagai insinyur atau dokter, misalnya, dianggap lebih bergengsi ketimbang menjadi sosiolog atau penerjemah. Ini dapat mengakibatkan ketimpangan jumlah angkatan kerja di masa depan kelak. Bisa saja nanti akan ada banyak dokter tanpa pasien sementara penerjemah yang dewasa ini dibutuhkan oleh pebisnis akan sulit dicari.

Selain masalah profesi, paradigma yang terbentuk karena adanya penjurusan berpotensi menghambat kemajuan ilmu pengetahuan di negeri ini. Sama dengan pola pikir masyarakat, di lingkungan akademik sendiri juga muncul anggapan bahwa jurusan-jurusan IA lebih patut diberi prioritas daripada jurusan-jurusan IS dan bahasa/ilmu budaya. Rumpun ilmu selain Ilmu Alam dianggap sebagai ilmu pengetahuan kelas dua. Mirisnya, kaum akademikus yang mestinya jadi panutan dalam hal ilmu dan pengetahuan juga banyak yang mengamini anggapan kolot semacam ini. Untuk membangun negeri yang sudah tertinggal jauh ini, satu macam ilmu saja tidak cukup! Praktik mengotak-ngotakkan dan menganakemas-tirikan rumpun ilmu ini harus dihentikan kalau bangsa ini ingin maju.

Jujun S. Suriasumantri, seorang guru besar Institut Pertanian Bogor pernah menulis bahwa membuat penjurusan adalah seperti halnya membangun Tembok Berlin. Oleh karena itu, patutlah kita menyambut langkah Kemendiknas ini dengan semangat bersatunya kembali Jerman Barat dan Jerman Timur (dalam hal ini, rumpun-rumpun ilmu yang selama ini terpisah). Kita berharap runtuhnya “Tembok Berlin” penjurusan ini akan membawa masa depan yang lebih baik bagi dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan di negeri kita. Dengan begitu, cita-cita negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa akan tercapai.

Leave a Comment

Pembunuhan ABC

Agatha Christie. Jujur, aku tak pernah tertarik dengan novel-novel misterinya sampai aku menonton Hyouka. Saking banyaknya referensi ke buku-buku Christie, akhirnya aku penasaran dan mulai membaca satu-dua judul yang terkenal. Yang pertama adalah Sepuluh Anak Negro (Inggris: And Then There were None). Bisa dikatakan bahwa novel ini adalah induk semua cerita closed circle mystery (macam cerita-cerita pembunuhan di pulau terpencil). Semakin mendekati akhir, bukan penyelesaian yang kutemukan, tapi kasus yang terjadi malah semakin tidak terpecahkan. Dan tiba-tiba pada bab terakhir, semua misteri langsung terpecahkan!

Tapi sesuai judul, sebenarnya aku akan menulis soal novel yang baru saja kutamatkan: Pembunuhan ABC (Inggris: The ABC Murders). Detektif yang membintangi novel ini tak lain dan tak bukan adalah Hercule Poirot (ngomong-ngomong, seharusnya nama belakangnya dibaca pwa-rou dan bukannya poi-rot seperti yang kita lakukan selama ini). Nah, banyak yang bilang bahwa novel ini adalah salah satu karya terbaik Christie. Apa sebabnya?

Ada tiga orang yang dibunuh oleh seorang yang tak diketahui identitasnya. Setiap akan membunuh, sang penjahat yang menggunakan nama inisial ABC mengirim surat pada Poirot untuk mengumumkan rencana kejahatannya. Dan selama tiga kali pembunuhan itu Poirot selalu gagal mencegah, apalagi mengungkap identitas sang pelaku. ABC membunuh korbannya secara berurutan: Ascher terbunuh di Andover, Betty Barnard terbunuh di Bexhill, dan Charmichael Clarke terbunuh di Churston. Di dekat jenazah korban, selalu ditemukan buku Petunjuk Kereta Api ABC dalam keadaan terbuka menunjukkan lokasi pembunuhan.

Selain dari identitas pembunuh, hal lain yang membingungkan Poirot dalam menyelidiki kasus ini adalah motif. Ketiga korban tampaknya tak saling berhubungan dalam hal apapun. Dengan bantuan rekannya Kapten Hastings (novel ini sebenarnya adalah catatan kasus yang ditulis Kapten Hastings), Poirot mengumpulkan kerabat para korban dan mulai mencari petunjuk tentang identitas ABC. Namun untuk mendapatkannya, Poirot kembali berbenturan dengan teka-teki soal motif.

Bagiku, pencarian identitas dan motif ABC inilah yang membuat Pembunuhan ABC menarik. Tampaknya tak ada petunjuk yang bisa ditemukan dan ketiga orang yang terbunuh juga tak saling memiliki hubungan apapun. Meski demikian, Poirot dengan “sel-sel kelabu”-nya menggali informasi dan mengungkap fakta dari arah yang tidak diduga. Ini yang membuat plot novel ini menjadi menarik untuk diikuti.

Selain bercerita soal penyelidikan Poirot, Kapten Hastings juga menyisipkan cerita tentang seorang bernama Alexander Bonaparte Cust. Cust adalah seorang veteran perang yang pemalu dan sering kali merasa gagal dalam hidupnya. Ia sering dianggap aneh oleh orang-orang di sekitarnya, termasuk pemilik apartemennya. Mengapa Kapten Hastings memberikan cerita soal Cust? Apa hubungannya dengan misteri pembunuhan ABC?

Misteri ABC dan teka-teki soal siapa sebenarnya Cust semakin lama terlihat membingungkan. Tapi pada akhirnya, penyelesaian yang dibawakan Poirot mengungkapkan seluruhnya. Yang jelas, tebakanku tentang siapa pembunuhnya dan siapa Cust ternyata tidak benar.

Sebenarnya misteri yang dibawakan oleh Agatha Christie tidak terlalu istimewa secara penulisan. Pembunuhan ABC sendiri, dan demikian juga karya-karya Christie lainnya, lebih dikenang karena plot-nya ketimbang muatan isinya (misalnya nilai sastra atau kritik sosial). Mungkin kelihatannya sudah jelas untuk sebagian besar pembaca, tapi aku sendiri baru sadar soal ini.

Jadi, kesimpulannya?

tl;dr : Siapapun yang suka cerita misteri atau novel thriller (bukan cerita horor) disarankan buat baca buku ini.

Leave a Comment
In word we trust