Skip to content

Category: Thoughts

Dramaturgi XIII: Cerita tentang Omong Kosong

[catatan: belum di-edit betul. mohon masukan pembaca sekiranya ada yang perlu diperbaiki atau bisa ditingkatkan lagi. terima kasih.]

poster dramaturgi.jpg

1. Mukadimah

Malam kemarin saya menonton pentas lakon Matahari di Sebuah Jalan Kecil. Naskah drama Arifin C. Noer ini dibawakan kembali oleh mahasiswa Sastra Indonesia UNAIR di Gedung Cak Durasim, Surabaya, pada 29 Desember 2017. Baru sekali ini saya bisa datang untuk menonton pertunjukan tahunan jurusan Sastra Indonesia yang tahun ini bertajuk Dramaturgi XIII. Seperti bayangan saya, memang dari sisi pelaksanaan dan teknis, drama ini sudah sangat rapi. Aktor-aktornya bisa terdengar jelas meski tidak pakai mikrofon yang ditempelkan ke wajah. Kesalahan teknis seperti nyala lampu, tata suara, dan lain-lainnya juga bisa dibilang nihil. Saya bisa saja berkomentar soal bagaimana pembawaan aktor dalam menghantarkan naskah yang umurnya sudah puluhan tahun itu. Namun, hemat saya, sebetulnya sudah tidak ada yang perlu ditanggapi lagi. Yang membuat saya berpikir adalah isi drama itu sendiri.

2. Ini cerita tentang apa?

Matahari di Sebuah Jalan Kecil banyak berbicara soal kejujuran. Pasal ceritanya sebetulnya sederhana: ada pemuda yang makan nasi pecel lalu tidak bayar. Katanya, uangnya ketinggalan di rumah, yang katanya masih dekat situ. Orang-orang yang bekerja di pabrik es dekat lapak simbok penjual nasi pecel kemudian ramai-ramai menginterogasi si pemuda ini. Betulkah pemuda ini memang penduduk kampung? Saat ditanyai, ternyata dia tidak bisa menjawab. Akhirnya dia dianggap berbohong dan dipaksa untuk membayar. Karena memang pemuda itu saat itu tidak membawa uang, akhirnya dilucutilah baju yang dia kenakan dan diserahkan kepada simbok penjual nasi pecel sebagai jaminan. Si pemuda bisa pergi untuk mengambil uangnya. Saat semua orang di pabrik kembali bekerja, tinggallah si pemuda yang telanjang dada dan simbok penjual nasi pecel. Tiba-tiba si pemuda menangis sambil bercerita bahwa dia datang dari desa untuk mencari kerja. Sama sekali tidak ada niat dia untuk berbohong. Simbok terenyuh juga mendengar tangisan ini, dan teringat anaknya yang dipenjara karena jadi pencuri motor. Akhirnya dia percaya bahwa pemuda ini adalah orang yang jujur dan diserahkannya kembali baju si pemuda. Setelah si pemuda pergi, datanglah petugas ronda yang sedang mencari maling. Setelah menyimak ciri-ciri yang disebutkan tukang ronda, barulah simbok sadar bahwa orang yang tadi ditolongnya adalah seorang maling. Ternyata, ia memang pembohong.

Lakon Arifin C. Noer menggambarkan tekanan dan masalah yang dialami Indonesia lewat karakter-karakternya, tidak terkecuali Si Pemuda. Mochtar Lubis, beberapa tahun setelah ditulisnya lakon ini, berpidato soal sifat-sifat bangsa Indonesia. Sifat yang pertama disebut adalah hipokrit alias munafik. Tersebab dijajah bangsa lain, orang Indonesia banyak yang belajar tidak jujur dengan menjilat penguasanya atau menilap uang negara sehingga mereka bisa bertahan hidup. Si Pemuda, dengan kepandaiannya menipu orang banyak dan mempermainkan perasaan Simbok Penjual Nasi Pecel, merupakan contoh ideal dari manusia Indonesia yang munafik ini. Agar bisa makan, dia gunakan kepandaiannya membohongi. Sekarang pun kita bisa melihat kebohongan ini. Pejabat pura-pura sakit supaya tidak dipenjara. Pedagang mencurangi timbangan supaya untungnya bertambah. Pengemis pura-pura terluka dan berdandan tak terurus supaya dikasihani. Sampai hari ini, betullah bahwa orang Indonesia masih akrab dengan sifat munafik.

dramaturgi xiii

3. Kebohongan dan omong kosong

Saat Si Pemuda mengaku uangnya tertinggal, Simbok tidak lantas percaya. Katanya, dia sudah kapok dibohongi seperti itu. Barulah waktu Si Pemuda sudah bertelanjang dada dan menangis sambil mengaku mencari kerja Simbok jadi terenyuh. Dua kali Si Pemuda berkata tidak benar. Tapi, Si Pemuda hanya berbohong di awal. Waktu “mengaku” itu, dia sudah bukan berbohong lagi. Kok bisa?

Ada dua jenis perkataan tidak benar: kebohongan dan omong kosong. Harry Frankfurt, seorang filosof berkebangsaan Amerika, berpendapat bahwa seseorang dikatakan berbohong (lying) jika tujuannya adalah menutupi suatu kebenaran. Sementara itu, orang yang mengeluarkan omong kosong (bullshit) sudah tidak peduli lagi pada kebenaran. Yang penting adalah kata-katanya bisa menarik orang lain.

Nah, inilah mengapa saya bilang Si Pemuda hanya berbohong sekali. Saat ia bilang uangnya ketinggalan dan rumahnya ada di dalam kampung, ia menutupi kebenaran bahwa dirinya sebetulnya tak punya uang dan bukan penduduk kampung. Ini dia lakukan supaya terhindar dari amuk para pekerja pabrik. Namun, saat semua pekerja pergi, dia berusaha memancing rasa iba Simbok dengan bercerita soal asal-usulnya. Di sini, dia sudah tidak lagi peduli soal benar atau salah. Yang penting, dia bisa pergi tanpa membayar nasi pecel santapannya dengan membawa kembali bajunya yang dijadikan jaminan.

4. Matinya kata-kata

Apa akibatnya kalau banyak orang munafik yang berujar omong kosong? Orang akan susah untuk membangun rasa percaya. Saat semua orang mengaku anti-korupsi, kita tidak akan tahu bedanya mana yang jujur dan mana yang maling duit rakyat. Saat sebagian orang dituduh menistakan agama dan sebagian lagi dituduh membohongi orang pakai ayat kitab suci, kita akan bingung bagaimana beragama dengan benar. Saat semua orang berkata cinta dan sayang, kita tak tahu lagi mana yang tulus dan mana yang bermanis mulut.

Akhirnya, kita tak bisa lagi saling percaya. Hilang sudah rasa empati dalam hati kita, sebab ketika kita merasa kasihan kita juga curiga bahwa orang lain hanya pura-pura saja. Saat orang datang minta-minta, kita ragu-ragu mengeluarkan uang sebab kita pernah membaca berita soal pengemis yang hanya berakting miskin tapi kedapatan punya motor sport di rumahnya. (Ini betul ada, sumbernya ada di bawah.)

Bahkan, bisa jadi hilang pula kecenderungan kita untuk setia pada kebenaran. Bagaimana tidak? Setiap hari kita dibombardir dengan omong kosong dari orang-orang munafik yang sudah tidak lagi peduli mana yang benar dan mana yang salah.

Tak mudah memang mengetahui isi hati orang, kalau tidak mau dibilang mustahil. Sebab, kita tak punya cara untuk langsung mengerti jalan pikiran dan perasaan satu sama lain. Kita hanya bisa bertukar gagasan lewat bahasa, lewat tuturan dan tulisan, lewat kata-kata. Semakin banyak omong kosong yang kita terima, semakin tidak yakinlah kita dengan kebenaran kata-kata yang dituturkan orang lain. Kita tidak bisa membedakan antara kabar benar dan berita palsu. Inilah mengapa omong kosong berbahaya buat kita.

5. Kejujuran Pengarang dan Kita

Matahari di Sebuah Jalan Kecil adalah karya Arifin C. Noer yang terbilang klasik dan banyak dipentaskan. Cari-cari saja videonya di YouTube. Namun, beliau sebetulnya lebih terkenal sebagai seorang sineas, terutama karena salah satu filmnya yang sangat terkenal dan masih banyak diperbincangkan sampai sekarang. Saya yakin teman-teman sudah pernah menontonnya. Judulnya Pengkhianatan G30S/PKI. Gara-gara film inilah orang sampai sekarang masih fobia dengan PKI dan komunisme, padahal negara-negara komunis saja sudah runtuh atau berpindah haluan. Film ini juga menjadi cerita sejarah versi Orde Baru, yang di dalamnya Pak Harto dielu-elukan dan Bung Karno disalahkan karena lalai terhadap PKI. Tidak sedikit yang menuding Arifin C. Noer turut serta menyebarkan kebohongan sejarah. Sayangnya, ini berlawanan dari pesan yang beliau sampaikan di naskah drama Matahari.

Lakon Matahari (1963) memang ditulis jauh sebelum film Pengkhianatan (1984). Keduanya diciptakan di bawah dua rezim yang berbeda (yang satu zaman Bung Karno, satunya zaman Pak Harto). Kita tidak tahu apakah beliau sadar bahwa ada kekeliruan dalam film garapannya. Menurut sebagian berita, beliau mengaku kaget saat film Pengkhianatan dijadikan tontonan wajib dan pada akhirnya menjadi karya propaganda. Barangkali beliau tahu soal beberapa hal yang salah dalam filmnya, namun terpaksa diam mengingat kondisi zaman itu. Kalau sudah begitu, masih layakkah kita berdiskusi tentang drama beliau yang berkisah soal kejujuran?

Tentu saja! Kita tentu sepakat bahwa manusia hendaknya berkata jujur. Lalu, adakah dari kita yang seumur hidup tidak pernah berbohong, tidak pernah menyontek, tidak pernah berkata yang lain daripada isi kepala kita? Saya yakin tidak. Namun, justru di situlah kita harus makin ingat pentingnya bersikap jujur, bahkan pada saat kita terpaksa menyampaikan hal yang tidak benar seperti Arifin C. Noer. Kita mesti berusaha sesetia mungkin kepada kebenaran, bahkan sekalipun kita tahu bahwa banyak penipu dan pembohong di sekitar kita. Jangan sampai mata hati kita dikaburkan oleh kebohongan dan omong kosong.

Referensi

Arifin C. Noer. Matahari di Sebuah Jalan Kecil. Berdasarkan laman http://naskahdramapbsi.blogspot.co.id/2012/11/lakon-matahari-di-sebuah-jalan-kecil.html

Indria Ambarwati. 2014. Citraan dalam Naskah Drama Matahari di Sebuah Jalan Kecil Karya Arifin C. Noer. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Mochtar Lubis. 1977. Manusia Indonesia. Ceramah di Taman Ismail Marzuki. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia.

Harry Frankfurt. 2005. On Bullshit. https://www.stoa.org.uk/topics/bullshit/pdf/on-bullshit.pdf

Inilah Rumah ‘Mewah’ Pengemis Kakek Winnie The Pooh. 2015. http://surabaya.tribunnews.com/2015/06/17/inilah-rumah-mewah-pengemis-kakek-winnie-the-pooh

Intan Paramadhita. 2007. “Contesting Indonesian Nationalism and Masculinity in Cinema.” Asian Cinema 18(2): 41-61. doi https://doi.org/10.1386/ac.18.2.41_1

Kredit foto

Poster Dramaturgi XIII diambil dari laman Twitter @SasindoUNAIR. Bila kurang berkenan, nanti saya cabut. Foto pertunjukan diambil sendiri. Mohon maaf amatiran.

3 Comments

Review: Catatan Seorang Demonstran

Catatan Seorang Demonstran
Catatan Seorang Demonstran by Soe Hok Gie

My rating: 3 of 5 stars

Apa yang ada di benak seorang demonstran? Itu pertanyaan yang saya ajukan sebelum membaca buku ini. Selama ini, dalam hemat saya, demonstrasi hanya tindakan sia-sia yang merusak dan tak jarang berbuntut perkara. Apa pikiran yang melandasi tindakan konfrontatif para mahasiswa? Cara terbaik untuk mengenal pemikiran seseorang adalah dengan membaca tulisannya. Oleh karena itu saya mencoba menemukan jawabannya di sini.
Agak kecewa sebenarnya saat saya menemukan bahwa buku ini bukanlah sepenuhnya “catatan seorang demonstran”. Buku ini lebih merupakan sebuah memoar perjalanan hidup Soe Hok Gie, dengan segala kerumitan pikirannya. Bagian yang benar-benar saya suka hanya bab Catatan Seorang Demonstran di mana Soe Hok Gie menuturkan jalannya demonstrasi-demonstrasi tahun 1966 dari sudut pandang mahasiswa.
Tapi sosok Soe Hok Gie sendiri bukannya sosok yang tidak menarik. Sedari kecil dia sudah menolak mentah-mentah pakem keagamaan dan mengikuti sastra dan pemikiran barat. Dia juga mengolok-olok guru bahasa Indonesianya yang dianggapnya tidak mengerti sastra. Di masa mahasiswa, dia adalah seorang idealis tangguh yang benci dengan agenda komunisme. Menjelang akhir hidupnya yang singkat, bisa dikatakan bahwa Soe Hok Gie seorang humanis tulen (bedakan humanis dengan humanitarian) yang menentang segala bentuk militansi.
Walau titik penting buku ini adalah gagasan politiknya, tapi buku ini lebih banyak memuat sisik-melik kehidupan Soe Hok Gie. Soal hidup, cinta, dan aktivitas pecinta alam yang digeluti juga ditulisnya. Semua ini dituliskan dengan pemikiran dan renungan yang dalam sehingga tidak terkesan remeh.
Banyak mahasiswa yang mengaku pernah membaca Catatan Seorang Demonstran tapi banhkan tindakannya amat jauh dari apa yang dicita-citakan Soe Hok Gie. Entah mereka menghayati apa yang dipikirkan Soe Hok Gie dengan sungguh-sungguh atau hanya sekadar mencari pembenaran untuk berdemo saja.

View all my reviews

Leave a Comment

Mengapa Kita Akan Menikah dengan Orang yang Salah

Menyusul ramainya berita soal dua orang yang sedang dalam proses perceraian, rasanya cocok kalau artikel teratas The New York Times 2016 ini dibaca sekarang. Ini terjemahan bahasa Indonesia dari artikel Why You Will Marry the Wrong Person.

Artikel asli dan sumber gambar: https://mobile.nytimes.com/2016/05/29/opinion/sunday/why-you-will-marry-the-wrong-person.html

Mengapa Kita Akan Menikah dengan Orang yang Salah
Alain de Botton, The New York Times 28 Mei 2016

Ada satu hal yang kita sangat takuti terjadi pada diri kita. Kita berusaha sekuat tenaga untuk menghindarinya. Namun, kita toh tetap juga akan sampai pada hal yang sama: kita menikah dengan orang yang salah.

Bisa dibilang, ini terjadi karena banyaknya kecamuk masalah yang muncul saat kita berusaha mendekati orang lain. Kita hanya terlihat biasa di depan mata orang yang tidak begitu mengenal kita. Seandainya masyarakat kita lebih sadar diri ketimbang sekarang, mungkin di kencan pertama orang akan lazim bertanya: “Lalu, kegilaan yang kamu punya itu seperti apa?”

Barangkali kita punya kecenderungan tak sadar untuk marah saat seseorang tidak sependapat dengan kita atau hanya bisa tenang saat kita sedang bekerja. Barangkali kita goyah soal kedekatan setelah seks atau merundung ketika merasa dipermalukan. Tidak ada orang yang sempurna. Masalahnya, sebelum menikah, kita jarang menyelami kerumitan-kerumitan yang ada dalam diri kita sendiri. Saat keburukan-keburukan kita terancam terbongkar dalam hubungan yang belum serius, kita menyalahkan pasangan kita dan segera menjauhinya. Teman kita pun tidak cukup peduli untuk memberitahu kita yang mana yang benar. Karena itu, salah satu kelebihan menjadi sendiri adalah bahwa kita bisa menganggap diri kita mampu-mampu saja menjalani hidup sendirian.

Pasangan kita tidak sesadar itu terhadap dirinya sendiri. Tentu saja, kita mencoba-coba untuk memahami mereka. Kita kunjungi keluarga mereka. Kita lihat foto-foto mereka. Kita temui teman-teman mereka waktu kuliah. Semua hal ini memberi kesan seolah-olah kita sudah cukup banyak mencari tahu. Nyatanya, tidak. Pernikahan sejatinya adalah suatu taruhan yang penuh harapan, penuh kasih, dan penuh kerendahan hati yang diambil dua orang yang tidak tahu siapa mereka dan siapa pasangan mereka, guna menambatkan diri mereka ke suatu masa depan yang tidak bisa mereka bayangkan dan berusaha mereka hindari dengan hati-hati.

Sepanjang sejarah, orang menikah karena alasan-alasan rasional: karena petak tanah dia berhimpit dengan petak tanah kita, karena keluarganya punya usaha yang sukses, karena ayahnya seorang pejabat, karena ada kerajaan yang harus dilindungi bersama, atau karena kedua orang tua pasangan punya pemahaman yang sama terhadap suatu kitab suci. Lalu, dari pernikahan yang berdasarkan akal itu, lahirlah kesepian, perselingkuhan, penganiayaan, kerasnya hati, dan teriakan-teriakan yang dapat terdengar dari kamar bayi. Pernikahan berdasar akal, pada akhirnya, sama sekali tidak masuk akal. Sifatnya banyak mengakali, bernalar sempit, penuh kecongkakan, dan sarat pemerasan. Oleh karenanya, pengganti dari konsep ini, yaitu pernikahan berdasarkan rasa, sering kali dianggap tidak perlu dipertimbangkan dengan seksama.

Yang penting dalam pernikahan berdasarkan rasa hanyalah bahwa dua orang tertarik satu sama lain berdasar perasan mereka yang menggebu-gebu dan tahu dari hati mereka bahwa perasaan itu benar adanya. Oleh karenanya, semakin tidak hati-hati kelihatannya sebuah pernikahan (mungkin baru enam bulan mereka bertemu; salah satu dari mereka tidak punya pekerjaan, atau mereka baru beranjak dewasa), rasanya justru hubungan itu lebih aman. Kecerobohan sering kali dianggap sebagai pengimbang dari semua cacat dari sikap mengedepankan akal, yang menimbulkan bencana-bencana yang disebutkan sebelumnya, oleh karena terlalu banyaknya perhitungan. Menangnya rasa dari akal merupakan reaksi trauma dari lintasan sejarah manusia yang dipenuhi dengan permainan akal yang sebetulnya tidak masuk akal.

Namun, meski kita meyakini bahwa kita menikah untuk mencari kebahagiaan, kenyataannya tidak segampang itu. Hal yang sebetulnya kita cari adalah kenyamanan, yang bisa merumitkan tujuan kita untuk mencapai bahagia. Dalam hubungan kita di masa dewasa, kita hanya ingin menciptakan kembali perasaan yang akrab dengan kita saat kanak-kanak. Rasa cinta yang kita alami pada saat masih kecil sering kali tertukar dengan perasaan-perasaan lain yang sifatnya merusak: rasa ingin menolong orang dewasa yang tidak bisa mengendalikan dirinya, rasa kekurangan kasih sayang dari atau takut kepada orang tua, atau rasa tidak nyaman dalam menyampaikan keinginan kita. Tentunya masuk akal kalau kita sebagai orang dewasa menolak calon pasangan bukan karena mereka tidak sempurna tapi justru karena terlalu sempurna- terlalu stabil, terlalu dewasa, terlalu pengertian, terlalu bisa diandalkan– mengingat dalam hati kita, orang yang seperti itu rasanya aneh. Kita menikahi orang yang salah sebab kita tidak mengaitkan rasa dicintai dengan rasa bahagia.

Kita juga membuat kesalahan sebab kita merasa begitu kesepian. Tidak ada seorang pun yang pikirannya jernih untuk memilih pasangan saat kesendirian itu tampaknya sangat tidak tertahankan. Kita harus mampu menerima bahwa kita perlu sendiri selama bertahun-tahun agar bisa betul-betul memilih dengan jernih. Jika tidak begitu, maka kita akan lebih cinta pada tidak lagi sendirinya kita ketimbang pada pasangan yang sudah menyelamatkan kita dari kesendirian itu.

Pada akhirnya, kita menikah untuk mengabadikan perasaan yang menyenangkan. Kita membayangkan bahwa pernikahan akan membantu kita untuk mengemas rasa senang yang kita alami pada saat lamaran. Mungkin terbayang ketika kita berbulan madu di Venesia, menyusuri laguna di atas sebuah kapal motor, dengan kilau sinar matahari senja di ufuk lautan, sembari berbincang-bincang tentang relung-relung jiwa kita yang tak pernah orang pahami sebelumnya, disusul jamuan makan malam yang mewah. Kita menikah agar kesan seperti itu menjadi abadi, namun kita sendiri lupa bahwa tidak ada hubungannya perasaan semacam ini dengan lembaga pernikahan.

Bahkan, pernikahan pada umumnya akan membuat kita mengurus hal-hal yang sifatnya monoton, semisal mengurus rumah, pulang-pergi kantor, dan mengatur anak-anak yang menjengkelkan kita sampai-sampai kita lupa anak-anak itu lahir berkat kehendak kita juga. Yang bisa menemani kita dalam saat-saat begitu hanya pasangan kita. Bahkan, bisa jadi dia adalah teman yang salah.

Di sini, ada kabar baik: tidak masalah kalaupun kita menikahi orang yang salah.

Jangan kita abaikan pasangan kita. Yang harus kita abaikan adalah gagasan tentang Romantisisme yang membentuk pemahaman Barat atas pernikahan selama 250 tahun belakangan: bahwa ada seseorang yang bisa memenuhi semua kebutuhan kita dan memuaskan semua keinginan kita.

Kita perlu menukar Romantisisme dengan suatu kesadaran tentang tragedi (dan juga terkadang komedi) bahwa setiap manusia akan membuat kita marah, jengkel, murka, dan kecewa—dan kita sendiri pun (tanpa maksud buruk) akan melakukan hal yang sama kepada mereka. Rasa hampa dan kekurangan dalam diri kita tidak akan pernah habis. Namun, semua ini tidak aneh, dan bukan pula alasan yang baik untuk berpisah. Memilih orang yang akan terikat dengan kita sebetulnya hanyalah soal memilih wujud penderitaan mana yang paling mampu kita hadapi dengan pengorbanan.

Pemikiran pesimis ini menunjukkan sebuah jalan keluar atas banyaknya keresahan dan kebimbangan soal pernikahan. Meski kedengaran aneh, sikap pesimis justru mengangkat tekanan batin yang ditimpakan budaya romantis kita terhadap pernikahan. Tidak berhasilnya pasangan kita menyelamatkan kita dari dukacita dan kesedihan bukan pertanda kekurangan dia, dan bukan berarti bahwa ikatan kita akan gagal atau harus diperbaiki.

Orang yang paling cocok bersama kita bukanlah orang yang seleranya sama persis dengan kita (orang itu tidak akan pernah ada). Yang ada adalah orang yang mampu menengahi perbedaan selera secara cerdas—orang yang terampil dalam menyatakan ketidaksetujuan. Orang yang cocok bagi kita bukanlah orang yang bisa “melengkapi”, namun orang yang “tidak terlalu keliru” buat kita, yang bisa menanggapi ketidaksamaan dengan murah hati. Kecocokan adalah pencapaian dari cinta, bukan syarat untuk meraih cinta.

Romantisisme tidak membantu kita, sebab ia adalah pemikiran yang rupanya sangat keras. Gagasan ini membuat kejadian-kejadian yang kita alami dalam pernikahan tampak begitu besar dan memuakkan. Kita akan menjadi kesepian dengan menganggap bahwa ikatan kita, dengan segala ketidaksempurnaannya, sudah tidak lagi “normal.” Kita mesti melatih diri kita untuk menerima “kekeliruan” dalam hidup kita dan selalu berusaha memiliki pandangan yang penuh dengan kemaafan, kejenakaan, dan kerendahan hati dalam menanggapi ketidaksempurnaan pada diri kita dan pasangan kita.

Catatan akhir:

Terjemahan ini dibuat sendiri, dengan menyederhanakan banyak bagian yang kurasa rumit. Teks aslinya, dan gaya menulis pengarangnya, memang cukup ruwet. Seperti biasa, mohon saran kalau ada yang bisa disempurnakan.

Apa yang ditulis di sini nggak harus disetujui, bahkan aku sendiri nggak sepenuhnya setuju. Tapi, menurutku gagasan semacam yang ditulis Alain de Botton ini perlu lebih banyak dibahas untuk menyegarkan pemahaman kita selama ini soal cinta dan pernikahan.

2 Comments

The Thing about Crushes

Federico_Faruffini_-_Sordello_e_Cunizza
(from Wikimedia Commons)

Crushes happen because we seek perfection, the ultimate person, the savior.

In our desperate attempt to search the remedy of all our wounds, we turn to a potential person and examines maybe their most minute details: hairs, bags, palms, the tone of their voice, their favorite color, even their pens and pencils. We, in our palaces of thought, turn this person into some kind of messiah. We believe in this person so much that we want to depend on him or her and never gonna give them up (pun intended).

Sure you will form some kind of “emotional wet-dream” (I know this is too brash, but it’s also somewhat accurate), where you imagine living a perfect life with him/her. You will think all your problems will be solved if only this one person accepts you as their lover. You won’t need anything or anyone else. You will stop praying as soon as this magical prince or princess is in your possession because all your prayers have been listened to and fulfilled.

Unfortunately, that is where it is a slippery slope. We assume too much to the point that we forget that the crush is also just a mere human being. Like us, they may be mightily annoying, superfluous, or even is a faker and a liar. We just don’t want to admit it and prefer sinking ourselves deeper in our wet dreams. We are just yet to discover that our crushes are capable of believing in stupid things or doing stuff that we think is silly or even outrageous. We just don’t know enough.

That’s when the crush becomes a poison. I think we should all remember that every person is all too human. They are capable of doing good as well as evil. If you think you have found “the one”, be very sure that you know the misdeeds this person is capable of.

This sounds pessimistic, but hey maybe you are not as difficult-going as I am (i.e. more easy-going). Care to share your opinion on this?

[youtube https://www.youtube.com/watch?v=88q8XDJKZVs&w=560&h=315]

2 Comments
In word we trust