Skip to content

Category: Quotes and excerpts

Puisi tentang Informasi (dan Sekilas Piramida DIKW)

Sang Elang terbang di pucuk Langit,
Sang Pemburu dengan anjingnya mengejar arah terbangnya.
Wahai bintang-bintang yang beredar tak henti,
Wahai musim-musim yang selalu silih berganti,
Wahai dunianya musim semi dan gugur, yang lahir dan yang mati!
Tiada hentinya putaran gagasan dan tindakan,
Penemuan tiada akhir, percobaan tiada akhir,
Membawa pengetahuan akan gerakan, namun tidak ketenangan;
Pengetahuan akan bicara, namun tidak dengan diam;
Pengetahuan akan kata-kata, dan kebodohan akan Kata.
Semua pengetahuan mendekatkan kita pada kedunguan,
Semua kedunguan mendekatkan kita pada kematian,
Tapi dekat dengan mati tanpa dekat dengan Tuhan.
Di mana Hidup kita yang tenggelam dalam bertahan hidup?
Di mana kebijaksanaan kita yang tenggelam dalam pengetahuan?
Di mana pengetahuan kita yang tenggelam dalam informasi?

Berputar-putarnya langit selama dua puluh abad
Menjauhkan kita dari Tuhan dan membawa kita jadi Debu.

Dikutip dari “Choruses from The Rock” karya T.S. Eliot, terjemahan sendiri

Yang spesial dari petikan korus drama The Rock di atas bukan sang penulis T.S. Eliot yang tidak asing dibahas di program studi Bahasa dan Sastra Inggris, bukan pula kualitas untaian katanya secara sastra, meskipun kedua hal ini juga sudah membuat petikan ini di atas rata-rata karya puisi lain. Pada dua bait yang aku tebalkan di atas, ada beberapa konsep yang digambarkan berkaitan satu sama lain. Kebijaksanaan dikatakan tenggelam dalam pengetahuan, dan pengetahuan itu sendiri digambarkan tenggelam dalam informasi. Artinya, menurut Eliot, informasi (information) itu bisa disaring menjadi pengetahuan (knowledge), dan pengetahuan bisa disaring lagi menjadi kebijaksanaan (wisdom). Inilah yang dikutip sebagai asal mula dari istilah Piramida DIKW.

Bagan Piramida DIKW (data, information, knowledge, wisdom). Sumber: Soloviev (2016) dalam Baldassare (2016).

Piramida DIKW (DIKW Pyramid) terdiri dari empat hal yang tersusun bak piramida.

Yang pertama adalah data. Data dapat kita artikan sebagai sinyal, simbol, atau fakta yang ada dalam dunia. Contohnya, ketika kita lihat warna merah, merah itu bisa dilihat sebagai data.

Selanjutnya ada konsep informasi (information), yang bisa kita jabarkan sebagai “data yang berguna.” Bagaimana cara kita bisa membuat data jadi berguna? Caranya adalah dengan memberikan dan menjawab pertanyaan atas data tersebut. Ketika tadi kita melihat warna merah, kita bisa menanyakan, “Ada di mana warna merah itu?” Misalkan saja kita lihat warna tadi di lampu lalu lintas di perempatan jalan. “Kapan warna merah itu terlihat?” Andaikan kita melihatnya pada saat kita membawa kendaraan waktu pergi ke kantor. Dari sini, data berupa warna merah itu sudah bisa kita simpulkan menjadi informasi tentang isyarat lampu lalu lintas yang ditujukan kepada orang yang sedang berkendara.

Berikutnya, informasi diolah lagi menjadi suatu pengetahuan (knowledge). Definisi pengetahuan lebih sulit dijelaskan, tapi secara singkat kita bisa menganggap pengetahuan itu sebagai berbagai kepingan informasi yang terpadu menjadi suatu susunan yang bisa dimengerti. Dari contoh tentang lampu merah tadi, setelah kita mengumpulkan banyak informasi, tidak saja mengenai lampu merah dan situasi kita di tempat tersebut, tapi juga informasi lain mengenai tata cara berlalu lintas dan tata cara berkendara yang kita pelajari waktu ujian SIM, kita jadi tahu bahwa pada saat kita melihat warna merah di lampu lalu lintas, kita diwajibkan untuk berhenti.

Terakhir, di puncak piramida, ada konsep kebijaksanaan (wisdom). Ini lebih sulit lagi diartikan ketimbang pengetahuan, tapi pendeknya dapat kita katakan bahwa kebijaksanaan itu ialah kemampuan atau keadaan seseorang untuk memilih dan melakukan hal yang benar (what is right) dan hal yang terbaik (what is best) berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang mereka punya. Masih dengan contoh lampu merah, jika kita orang yang bijaksana, maka kita akan bijak memilih untuk menghentikan kendaraan saat melihat warna merah di lampu lalu lintas perempatan. Banyak orang yang tahu arti warna merah di lampu lalu lintas dan apa yang harusnya mereka lakukan, tapi mereka tidak cukup bijak sehingga memilih untuk langsung menerabas. Mereka kurang mempertimbangkan beberapa pengetahuan yang lain yang harusnya atau bahkan sudah mereka punya, semisal tentang kemungkinan terjadinya kecelakaan dan efek dari kecelakaan tersebut atas keselamatan badan mereka.

Gambaran lain tentang DIKW dalam bentuk proses, dengan tambahan konsep pemahaman/understanding dan juga pengetahuan yang sifatnya tersurat (e = explicit) dan tersirat (t = tacit). Sumber: Wikimedia Commons.

Puisi T.S. Eliot tadi memasukkan informasi, pengetahuan, dan kebijaksanaan, tapi tidak dengan data. Ini bisa kita mengerti karena konsep yang kita kenal sekarang soal data (seperti misalnya dalam istilah data di komputer, data penelitian, atau jargon data science dan big data) itu baru populer setelah drama yang memuat bait puisi ini terbit pada tahun 1934. Lebih tepatnya lagi, konsep data baru umum digunakan setelah ditemukannya komputer modern dari konsep Mesin Turing (Turing Machine) yang digagas ilmuwan Alan Turing sekitar tahun 1936.

Piramida DIKW buatku sangat membantu sebagai alat berpikir (mental model), walau tentu banyak yang akan tidak sepakat dengan pengertian-pengertian di atas. Menurutku, Piramida DIKW ini skema yang lebih sederhana ketimbang model-model mengenai pengetahuan yang lain, seperti Taksonomi Bloom. DIKW ini juga punya posisi yang spesial buatku karena aku sendiri juga bekerja di bidang yang terkait dengan informasi (khususnya ilmu perpustakaan dan informasi), banyak yang terpikir bahkan dari membaca petikan puisi TS Eliot di atas saja. Mudah-mudahan ada kesempatan untuk menggali konsep ini lebih jauh lagi. 😀

Leave a Comment

Titik Biru

Lihatlah lagi titik itu. Itulah tempat kita. Itulah rumah kita. Itulah kita. Di sanalah hidup semua orang yang kita cintai, semua orang yang kita kenal, semua orang yang pernah kita tahu, semua orang yang pernah hidup. Seluruh bahagia dan derita, beribu-ribu agama, ideologi, dan gagasan ekonomi yang dipercaya, semua pemburu dan peramu, semua pahlawan dan pecundang, semua pencipta dan pemusnah peradaban, semua raja dan jelata, semua muda-mudi yang pernah jatuh cinta, semua ibu dan ayah, anak-anak mereka yang penuh cita-cita, penemu dan penjelajah, semua guru kebajikan, semua politikus busuk, semua “bintang terkenal”, semua “pemimpin besar”, semua pendeta dan pendosa sepanjang sejarah spesies kita, mereka semua hidup di sana—hanya setitik debu yang mengambang di tengah sinar matahari.

Bumi adalah panggung yang teramat kecil di tengah-tengah belantara alam raya. Bayangkanlah banjir darah yang ditumpahkan para jenderal dan kaisar dengan segala kegagahan dan keangkuhan hanya supaya mereka bisa jadi penguasa sesaat atas secuil dari titik itu. Bayangkanlah kekejian yang tiada henti dilakukan penduduk secuil titik itu kepada penduduk secuil titik di sudut lainnya, betapa seringnya mereka berselisih paham, betapa seringnya mereka saling membunuh, betapa mendidih kebencian di antara mereka.

Kesombongan kita, rasa congkak kita, khayalan seolah kitalah yang punya posisi penting di alam semesta, semua itu dimentahkan oleh sebintik titik pucat ini. Planet kita hanyalah butiran yang mengambang sendirian di kegelapan kosmos. Dalam kesepian kita, di tengah belantara ini, tidak ada tanda-tanda siapapun dari manapun yang bisa menolong kita dari diri kita sendiri.

Bumi ini adalah satu-satunya tempat yang memiliki kehidupan. Tidak ada tempat lain yang bisa kita huni, setidaknya dalam waktu dekat. Mampir, bisa. Tinggal, belum. Suka tidak suka, saat ini Bumilah titik darah penghabisan kita.

Ada yang mengatakan bahwa astronomi mengajarkan kerendahan hati dan membangun karakter. Rasanya tidak ada lagi bukti betapa bodohnya kesombongan manusia selain gambar yang menunjukkan betapa mungilnya dunia kita ini. Bagi saya, ini menunjukkan betapa kita perlu mawas diri agar berbuat lebih baik kepada sesama, dan agar kita dapat melestarikan dan merawat titik biru pucat ini, satu-satunya rumah yang kita punya.

Dipetik dari “Pale Blue Dot” karya Carl Sagan. Terjemahan sendiri.
Foto Pale Blue Dot yang diambil dari Voyager 1 pada tanggal 14 Februari 1990. Diambil dari Wikimedia Commons.

Sering kita larut dalam kesibukan dan rutinitas hidup sehari-hari dengan segala kegilaannya. Beberapa kali kita merasa dalam kejenuhan yang tak larut-larut. Tak jarang kita bertemu masalah besar yang seolah-olah mengancam diri kita. Kita sibuk dengan secuil bagian bumi yang kita kitari sehari-hari, entah itu rumah, kantor, sekolah, jalan raya, dan lain-lain. Jarang sekali kita berpikir soal kecilnya dan singkatnya kita di dunia ini.

Dunia ini sangatlah kecil dan hidup kita sangatlah singkat jika dibandingkan dengan luasnya dan tuanya alam semesta. Seperti yang digambarkan kutipan buku Pale Blue Dot di atas, manusia sehebat apapun tidak ada artinya apa-apa dibanding dengan alam yang kita tinggali ini. Sungguh dunia ini rapuh, begitu pula kita.

Sekitar tiga tahun lalu, aku membaca trilogi novel China Remembrance of Earth’s Past karya Liu Cixin atau yang sering dikenal sebagai Three-Body Problem Trilogy. Fiksi ilmiah ini bercerita soal bumi, manusia, dan riwayat mereka di sepanjang sejarah kosmos. Awal cerita ini adalah tahun 1966 saat Revolusi Kebudayaan di China, dan pada bagian terakhir pembaca disajikan cerita 18 juta tahun di masa depan. Terus terang, begitu tamat jilid terakhir dari trilogi ini aku langsung menangis, bukan karena ceritanya sedih, tapi karena aku merasa begitu tidak ada apa-apanya dibanding alam semesta ini, yang di sinipun aku hanya akan sekadar mampir jika dibandingkan usia dunia ini yang sudah jutaan tahun. Bahkan, Presiden Barack Obama sampai bilang kalau pengalamannya baca buku ini membuat urusan politik yang dia hadapi sehari-hari serasa begitu remeh.

Satu lagi bacaan yang membuatku berpikir soal betapa kecil dan rapuhnya dunia ini adalah manga Bokurano karya Mohiro Kitoh. Di Bokurano, dunia kita dan semua isinya ini menjadi taruhan dalam permainan memperebutkan eksistensi melawan dunia paralel lainnya. Karakter-karakter di dalamnya bergelut dengan kematian diri mereka sendiri dan orang-orang yang mereka cintai. Dari buku ini aku memahami bahwa hidup adalah sesuatu yang layak diperjuangkan, meski planet yang kita tinggali ini berisi kejadian-kejadian seram dan orang-orang jahat.

Saatnya hidup ini dihayati sebagaimana mestinya: sebagai perjalanan yang terasa panjang tapi sejatinya amat singkat, sebagai tantangan yang terasa amat besar tapi sejatinya tiada apa-apanya dibandingkan belantara raya yang kita tinggali, dan sebagai kesempatan untuk terus berpikir dan belajar sekuat-kuatnya karena sejatinya sampai kita nanti mati pun hanya sedikit rahasia alam yang bisa kita mengerti.

Leave a Comment

Sinaga dan Soetjipto

Indonesia punya topik baru, yaitu seorang mahasiswa yang bernama Reynhard Sinaga. Baru-baru ini tersiar kabar bahwa yang bersangkutan telah dijatuhi hukuman seumur hidup atas kelakuan bejatnya memperkosa ratusan pria di Manchester, kota tempatnya tinggal dalam rangka berkuliah. Yang menjadikan orang ini sangat santer dibicarakan bukan hanya karena dia dianggap sebagai pelaku perkosaan berantai terburuk sepanjang sejarah Kerajaan Serikat (United Kingdom). Tampaknya yang membuat orang Indonesia sangat bersemangat memperbincangkan Sinaga adalah bahwa dia adalah seorang pemerkosa yang juga seorang gay. 

Perilaku gay, homoseksual, dan LGBT pada umumnya dianggap sebagai suatu penyakit. Jika ada orang terpergok suka sesama jenisnya, langsunglah ia dicap sebagai manusia berpenyakit jiwa dan dianggap seolah dia bukan bagian dari masyarakat yang menjunjung Ketuhanan Yang Maha Esa. Adanya Reynhard Sinaga ini pastinya menjadi bahan bakar untuk menyemarakkan prasangka di masyarakat yang semacam tadi. Di mata orang Indonesia, Reynhard menjadi representasi LGBT itu sendiri: terlihat tanpa dosa tapi berkelakuan bejat dan bersikap seperti psikopat yang tak menyesali perbuatannya sedikit pun. 

Saking semaraknya orang memperbincangkan Reynhard Sinaga, mereka barangkali lupa atau tak sadar bahwa ia bukanlah satu-satunya gambaran orang LGBT di Indonesia. Kalau kita mau berhenti mendengarkan syak wasangka yang sehari-hari kita anut dan mulai membaca sekitar secara jujur, kita akan banyak menemuman orang-orang lain yang suka sesama jenis tanpa sedikitpun kebejatan dalam hati, namun justru keinginan untuk menemukan kebaikan dan kebenaran sejati. Salah satu contoh yang harus kita lihat adalah Soetjipto. 

Soetjipto sudah lama tiada. Kita tidak tahu kapan dan di mana ia meninggal, tapi kita tahu bahwa Soetjipto dilahirkan tahun 1915 di Balongbendo, Waru, Sidoarjo. Hal ini dituliskan Soetjipto dalam naskah memoarnya yang berjudul Djalan Sampoerna, yang ia selesaikan tahun 1928. Sampai hari ini, naskah ini masih bisa dibaca di Perpustakaan Nasional, dengan tajuk entri katalog Jalan Sempurna Hidupku. Naskah setebal 200 halaman ini ditulis menggunakan mesin tik, dengan ilustrasi di beberapa halaman.

Di masa kolonial Belanda, belum ada yang namanya gerakan LGBT. Penjajah waktu itu pun punya sikap yang keras terhadap orang-orang yang diketahui suka dengan sesama jenis. Namun, pada saat itu Soetjipto secara terang-terangan berkisah tentang cinta pertamanya pada umur 13 tahun dengan seorang “kanda” yang umurnya terpaut dua tahun dengan dia.  

Soetjipto bertutur mengenai awal mula pertemuannya dengan sang kekasih di jalan menuju ke H.I.S. Situbondo tempatnya bersekolah. Setelah sempat kehilangan jejak selama beberapa hari, ia kembali bertemu dengan sang “kakak” pada perayaan bertahtanya Sri Ratu Wilhelmina. Hatinya diliputi kesenangan dan kasih saat mereka bercinta, di samping keragu-raguan tentang bagaimana bisa seorang laki-laki jatuh hati pada laki-laki lain. Mereka kerap bertemu di sela-sela jam istirahat sekolah dan menikmati hari-hari berdua sebagai sepasang kekasih. Sekira 7 bulan kemudian, di atas bukit yang mengintai tempat para santri  bertirakat, sang kakak menuturkan bahwa mereka harus berpisah lantaran ia harus meneruskan sekolahnya ke Malang. Hati Soetjipto pun hancur. Patah hati yang dialaminya itu ia tuangkan dalam paragraf berikut: 

TJINTA-ah berat benar Orang mengan [sic] t j i n t a itoe. Demikijanlah rasanja orang mengandoeng t j i n t a itoe, koerasa bertambah tambah terbajang, koeloepaken boekannja mendjadi loepa, tetapi semangkin inget rasanja. Tetapi kalau koe pikir jang betoel, tida baiklah keadaan ini. Perkara Rama Tiri taro hati bentji padakoe, itoe tida apa; karena itoe telah Nasipkoe. Biarlah koekoewat-koewatken atikoe di dalem taoen ini, karena doeloe saja perloe memoetoesken olehkoe beladjar sekolah. Tetapi kalau demikijan sela anja, tentoe tida baik adanja, ka rena [sic] jang selaar lamanja hanja bertemoe dengan moeka asa sadja. Tetapi sadja saja h e r a n! Ah, mengapa maka lakisama laki sadja bisa djatoeh tjinta jang demikijan ini? ………………….. O, ja; djadi kelau begitoe t j i n t a itoe ada terletak di segala roepa keadaan. Biarpoen pada a n a k, b i n i, t e m a n, dan segala roepa keadaan, semoanja ada terletak tjinta; tetapi jang membikin tjinta, jalah b a d a n s e n d i r i. Djadi sekarang soeda trang bahwa tjinta itoe ada soewatoe keadaan jang tijada bergoena. Ada banjak dari pepatah Orang Belanda, menoendjoeken tijada dari keadaan tjinta itoe, jang dengan di djadiken pepatah kata, demikijan:

Liefde is vondervel! 
Liefde is verschrikelijk! 
Liefde is zacht! 
Liefde is brutaal! 
Liefde is wreed! 
Liefde is heeld! 
Liefde is v u u r! 
Liefde is i j s! 

Ada banjak lagi jang menoendjoeken matjem-matjem kata-kata, dari keadaan t j i n ta (Liefde) itoe. Jalah tjinta itoe bisa menjdadi-djerat leher siapa jang di lekati. Kebanjakan orang harta bendanja abis kaena [sic] dari…………, demikijan poela jang sampai ada jang keloewar tali peroetnja, karena dari……….., apa lagi jang bertaoen-taoen di dalem pendjara. Djadi trang bahwa itoe semoewa hanja karena di lekati t j i n t a sianat itoe sadja. Ada banjak lagi dari djalan kesoesaan, kebingoengan, kenespaan, jang djalannja hanja dari tjinata [sic] itoe sadja. Daji terang sekali bahwa keadaan tjinta itoe ada soewatoe keadaan jang tijada berfaedah. Tetapi sekarang boewat dirikoe, perkara t j i n t a itoe telah tijada terletak padakoe. Jalah karena saja ada o b a t jang boewat………. mempoewasken Napsoekoe. Meskipoen saja tida kawin, djoega tida apa-apa; seperti t e m a n koe atau Dokter jang di kediri itoe. Oo, jaaaa; masi ada banjak lagi djalan bagai kesoesaan; tetapi oempama ranting pohon, ialah jang sebesar-besarnja. Nau, perkara itoe.’ Sekarang soeda abis perkara; karena soeda rasa selesai di dalem h a t o k o e [sic].

Djalan Sampoerna hlm. 62-63

Apa sebetulnya yang bisa kita ambil dari sini? Bagiku, ini adalah suatu tanda bahwa meskipun berbeda orientasi seksual, orang yang suka dengan sesama jenisnya pun merasakan cinta yang sama tulusnya dan sama murninya sebagaimana mereka yang berkasih-kasihan dengan lawan jenis. Soetjipto membuktikan lewat memoarnya bahwa dirinya adalah sebenar-benar manusia, bahkan meskipun ia sadar bahwa perilakunya tidak umum dijalani orang.  

Yang juga penting dalam naskah ini adalah bahwa kaum LGBT di Indonesia tidak menjadi seperti mereka saat ini hanya gara-gara pengaruh ide dari “Barat.” Bahkan sebelum terma LGBT itu sendiri lahir, telah hidup orang-orang yang berperilaku non-heteroseksual. Kita boleh saja berdebat apakah perilaku LGBT itu pantas dianggap normal atau tidak. Tapi kisah semacam ini adalah bukti sejarah yang sulit ditolak bahwa perilaku LGBT sudah ada jauh sebelum kita ramai-ramai mempermasalahkannya seperti sekarang ini. 

Naskah Djalan Sampoerna sendiri tidak berhenti di soal cinta sesama jenis Soetjipto saja. Justru ia lebih banyak bertutur mengenai perjalanan batin yang dilalui Soetjipto menuju jiwa yang murni. Sayangnya, mendiang Benedict Anderson yang mempopulerkan naskah ini lewat terjemahannya hanya menyampaikan kembali 90 halaman pertama saja. Setelah ditinggal oleh sang kekasih, Soetjipto menghadapi konflik dengan ayah tirinya, sampai-sampai ia harus kabur dari rumahnya dan luntang-lantung mencari sanak familinya di Surabaya, Waru, Kudus, dan Kediri. Aku pun belum lagi sempat membaca sisanya, yang sama sekali belum bisa diakses selain lewat naskah asli dan rekaman mikrofilmnya.

Membaca karya Soetjipto ini menjadi penting di tengah-tengah masyarakat yang semakin antipati terhadap kaum LGBT gara-gara tingkah Sinaga yang dengan keterlaluan mengklaim bisa memberi ramuan untuk membuat orang jatuh cinta (yang ternyata diketahui adalah obat tidur untuk membuat korban-korbannya tidak berdaya saat diperkosa). Kita harus ingat bahwa bejatnya Reynhard itu bukanlah karena ia seorang gay. Di samping 1 orang gay yang menempuh jalan kebusukan seperti Sinaga, barangkali ada sejuta orang gay yang berjuang menuju jalan kesempurnaan sebagaimana halnya Soetjipto mengalaminya, hampir seratus tahun silam. 

2 Comments

Logika Berpikir, Memangnya Kenapa Dipikirin?

Kita sering mendengar kata logika. Biasanya sih, orang terutama yang masih muda memakai kata logika untuk menjelaskan perbedaan cowok dan cewek. Cowok digambarkan sebagai makhluk yang berlogika, sementara cewek merupakan makhluk yang minim logika dan cenderung “main perasaan”. Benarkah demikian? Agnes Monica dalam salah satu lagunya membawakan lirik, “Cinta ini kadang-kadang tak ada logika.” Yah, kalau perbedaan di atas dipakai berarti bisa kita simpulkan cowok nggak bisa jatuh cinta, dong. Tentu saja ada yang salah di sini.

Kalau kita mau sedikit mengamati, sebenarnya logika itu ada hubungannya dengan bahasa. Kok bisa begitu? Coba perhatikan orang gila di sekitarmu, atau kalau tidak ada coba bayangkan saja. Orang yang gila tentu bicaranya akan tidak teratur dan tidak bisa dipahami. Kita bisa menyebut orang gila sebagai orang yang lemah akal, atau juga bisa dibilang lemah logika. Jan Hendrik Rapar dalam bukunya Pengantar Logika menandaskan bahwa logika adalah alat berbahasa. Menyusun kata-kata, menyampaikan pikiran dalam lisan dan tulisan, semuanya tidak lepas dari logika. Beberapa kasus medis menunjukkan bahwa orang yang mengalami kerusakan pada bagian otaknya yang mengatur berpikir logis akan mengalami masalah berbahasa. Oleh karena itu, kayaknya kita perlu pertanyakan lagi pembedaan cewek dan cowok atas dasar logika, apalagi buat yang cewek. Memangnya pada mau disamain kayak orang gila atau pengidap gangguan otak?

Dalam pengertian ilmiahnya, logika merupakan seni dan ilmu untuk berpikir secara tepat dan mencapai kesimpulan yang benar. Logika pada umumnya berkutat pada pernyataan-pernyataan yang disusun untuk membentuk sebuah argumentasi. Tidak seperti pengertiannya dalam konteks sehari-hari, dalam logika yang disebut argumentasi adalah proses menunjang pendapat kita dengan alasan-alasan.

Dalam filsafat, adanya logika menjadi penting sekali karena filsafat pada intinya adalah serangkaian argumentasi dari berbagai macam tokoh. Seringkali pendapat para filosof menuntut kemampuan menalar dan daya imajinasi abstrak yang tinggi. Oleh karena itu, untuk memahaminya dibutuhkan logika berpikir yang baik. Jika penalaran logis dapat kita kuasai, maka kita tidak akan kebingungan atau malah “tersesat” dalam menghadapi argumentasi-argumentasi filsafat yang acapkali membingungkan.

Untuk lebih jelasnya, mari kita simak beberapa konsep dalam logika, seperti yang terpapar berikut ini:

  1. Argumentasi adalah serangkaian pernyataan yang digunakan untuk mendukung sebuah pendapat atau ide
  2. Argumentasi terdiri dari dua bagian, yaitu premis dan kesimpulan
  3. Kesimpulan merupakan sebuah pernyataan yang dicapai dengan jalan pernyataan-pernyataan lainnya
  4. Pernyataan-pernyataan yang dipakai dalam argumentasi dan penarikan kesimpulan disebut sebagai premis
  5. Premis dan kesimpulan dapat dibenarkan jika ia memiliki dua syarat:
    1. Bentuknya valid. Contoh: “Manusia berjalan dengan dua kaki. Andi manusia. Maka, Andi berjalan dengan dua kaki,” merupakan argumentasi yang valid sementara “Semua sapi melenguh. Kambing melenguh. Maka, kambing adalah sapi,” adalah argumentasi yang tidak valid. Dalam hal bentuk, yang diperhatikan adalah cara menalarnya, apakah sesuai ketentuan logika atau tidak.
    2. Isinya benar. Contoh: “Pak lurah adalah seorang laki-laki” adalah pernyataan yang benar sementara “Bu lurah bukanlah seorang perempuan” adalah pernyataan yang salah. Dalam hal isi, yang diperhatikan adalah apakah isi premis atau kesimpulan itu sesuai dengan akal sehat atau tidak.
  6. Argumentasi pada dasarnya terbagi menjadi dua jenis: deduktif dan induktif
  7. Sebuah argumentasi dapat disebut deduktif jika kesimpulannya dibenarkan oleh premis yang benar dan valid. Contoh argumentasi deduktif: “Semua mahasiswa diliburkan. Amir mahasiswa. Maka, Amir diliburkan.” Jika kedua premis (kalimat pertama dan kedua) valid dan benar maka kesimpulan (kalimat ketiga) juga akan benar dengan sendirinya. Argumentasi deduktif sepenuhnya didasarkan pada aturan logika
  8. Sebuah argumentasi dapat disebut induktif jika kesimpulannya didukung oleh premis yang benar dan valid pula. Contoh argumentasi deduktif: “Ayam bernapas. Kucing bernapas. Ikan bernapas. Kodok bernapas. Ular bernapas. Maka, semua hewan bernapas.” Yang membedakan argumentasi induktif dengan deduktif adalah sebanyak apapun premis yang ditawarkan tidak menjamin bahwa kesimpulan akan menjadi benar dengan sendirinya. Jika seseorang memasukkan satu saja premis semisal “Hewan X tidak bernapas” maka argumentasi akan runtuh dengan seketika. Argumentasi induktif tidak terikat pada aturan-aturan logika

Ada kalangan yang berpendapat bahwa inti dari logika adalah membedakan argumen yang baik dengan yang buruk. Filosof dan ahli logika Charles Sanders Pierce menulis, “The central problem of logic is the classification of arguments, so that all those that are bad are thrown into one division, and those which are good into another,” yang berarti, “Masalah pokok logika adalah pemilahan argumentasi, sehingga argumentasi yang buruk akan masuk ke satu kelompok dan argumentasi yang baik ke dalam kelompok lainnya.” Dapat kita simpulkan bahwa setelah mempelajari logika, kita diharapkan untuk dapat membedakan argumentasi mana yang baik dan argumentasi mana yang buruk.

Nah, mungkin sampai di sini akan timbul pertanyaan: argumentasi yang buruk itu seperti apa? Dalam logika, argumentasi yang buruk dikatakan mengandung kesesatan (fallacy) atau sesat (fallacious). Ada dua jenis umum kesesatan, yaitu kesesatan formal dan kesesatan informal. Kesesatan formal menyangkut kesalahan materi dari argumentasi maupun premis, sementara kesesatan informal menyangkut isinya.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering tidak sadar menemukan atau malah menggunakan kesesatan dalam berbicara (berbicara juga dengan sendirinya mengharuskan kita untuk berlogika). Biasanya argumentasi sesat yang ada di kehidupan sehari-hari kita mengandung kesesatan informal. Seperti apa bentuknya? Ini adalah contoh-contohnya:

  1. Berpatokan pada orang
    Contoh: “Kamu itu cuma anak kecil, tahu apa?”
  2. Generalisasi yang tidak matang
    Contoh: “Dalam beberapa tahun ini marak aksi terorisme yang didalangi orang Islam. Maka, semua orang Islam itu teroris.”
  3. Mempertanyakan niat lawan bicara
    Contoh: “Anda ngomong seperti ini pasti karena dibayar sama orang parpol, kan?”
  4. Berpatokan pada akibat
    Contoh: “Jika teori evolusi itu benar, maka kita semua turunan primata. Aku tidak mau dianggap turunan primata. Maka, teori evolusi itu salah.”
  5. Setelah X, maka karena X
    Contoh: “Tadi Sara makan kue coklat, lalu dia diare seharian. Pasti itu gara-gara kuenya.”
  6. Berpatokan pada yang pertengahan
    Contoh: “Orang yang kerjanya berbuat alim terus itu nggak baik, apalagi orang yang kerjanya jelek-jelek melulu. Lebih baik jadi setengah alim, tapi juga agak nakal sedikit juga.”
  7. Dilema palsu
    Contoh: “Jika kamu bukan bagian dari solusi, maka kamu adalah bagian dari masalah.”
  8. “Katanya begini, kan?”
    Contoh: “Semua politikus itu hanya mengumbar janji. Jadi, mendingan kita golput saja (memangnya benar begitu?).”
  9. “Saya salah karena anda salah”
    Contoh: “Dari tadi nyuruh aku belajar, emangnya situ udah?”
  10. Argumentasi tidak nyambung
    Contoh: “Memangnya kenapa kalau aku bilang bumi itu kotak? Mau protes? Cari uang dulu sana baru protes.”

Contoh-contoh di atas itu kelihatannya sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, kan? Rasanya hal yang paling penting yang bisa kita aplikasikan dari logika adalah soal kemampuan untuk mengenali kesesatan-kesesatan berlogika ini. Di televisi, di koran, dan tentunya di belantara internet kita menemukan bermacam-macam opini dan ide-ide yang silang sengkarut. Kadang-kadang kita sampai kebingungan sendiri dalam menanggapinya. Kita mungkin bertanya, “Ini yang mana sih yang bener?” Nah, dengan kemampuan logika dan terutama menganalisis kesesatan berlogika kita dapat lebih arif (ceilah!) dalam menghadapi persoalan yang sedemikian banyak dalam hidup ini.

Jadi, buat apa mikirin logika?

Leave a Comment

Perintah-Perintah yang Tak Masuk Akal

Orang lain itu bodoh, bebal, dan egois.
Namun tetaplah mencintai mereka.

Jika kamu berbuat baik, orang akan menuduhmu punya maksud tersembunyi.
Namun tetaplah berbuat baik.

Jika kamu beroleh keberhasilan, maka kamu akan mendapat kawan palsu dan musuh sejati.
Namun tetaplah meraih keberhasilan.

Kebaikan yang kamu lakukan hari ini akan dilupakan esok hari.
Namun tetaplah berbuat baik.

Berkata jujur dan berterus terang membuatmu rentan.
Namun tetaplah jujur dan terus terang.

Manusia terbesar dengan pemikiran terbesar bisa dijatuhkan manusia terkerdil dengan pemikiran terkerdil.
Namun tetaplah berpikir besar.

Orang membela yang tertindas tapi hanya mau turut yang berkuasa di atas.
Namun tetaplah membela yang tertindas.

Yang kamu bangun selama bertahun-tahun bisa hancur dalam semalam.
Namun teruslah membangun.

Orang lain sungguh perlu ditolong, tapi jika kamu tolong mereka bisa menikammu.
Namun tetaplah menolong orang lain.

Berikan yang terbaik bagi dunia dan kamu akan dihajar habis-habisan.
Namun tetaplah memberi yang terbaik bagi dunia.

Jika yang lebih baik itu mungkin, maka sekadar baik saja tidak cukup.

(The Paradoxical Commandments of Leadership ini diterjemahkan dari KentMKeith.com, dengan tambahan di baris akhir yang didapat dari versi terjemahan lain)

Leave a Comment
In word we trust