Saat pertemuan pertama kelas sejarah kelas XI dulu, sang guru berbicara panjang lebar tentang sejarah kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia. Entah mengapa tiba-tiba topik pembicaraan (ceramah, sih, lebih tepatnya) berbelok ke seputar sejarah dunia. Saat sedang menerangkan sejarah abad pertengahan secara garis besar, beliau menyebut frasa yang tidak saya sangka-sangka: memento mori.
Konon pada abad pertengahan umat Kristen yang didominasi paham Gereja Katolik Roma rata-rata menganut paham yang asketis (keakhiratan, benci keduniaan). Paham semacam ini dideskripsikan dengan frasa latin yang terkenal yakni memento mori yang artinya ingatlah bahwa engkau bisa mati atau ingatlah bahwa engkau akan mati. Dengan keyakinan semacam itu, penduduk benua Eropa pandangan yang pesimistis terhadap kehidupan. Apalagi di masa itu sedang santernya wabah mati hitam (black death) yang menelan korban sejumlah besar penduduk benua Eropa. Segala bentuk keindahan dan kehidupan di dunia menjadi bobrok dan rapuh di hadapan kematian. Pada gilirannya memento mori ini menjadi semacam gerakan seni tersendiri. Pada abad pertengahan, banyak diciptakan karya seni yang mengekspresikan kematian, seperti patung-patung tulang-belulang, lukisan mengenai wabah mati hitam, sampai yang paling terkenal adalah Danse Macabre. Film The Seventh Seal mungkin bisa menjadi gambaran pesimisme dalam memento mori ini. Keyakinan akan hari penghakiman yang semakin dekat mencerminkan ketakutan orang-orang penduduk Eropa akan wabah penyakit yang tidak kunjung berhenti menjalar.
Katanya, mati adalah sebuah kepastian. Satu-satunya hal yang pasti adalah kematian (atau ada dua menurut Mark Twain, yang satunya lagi adalah pajak). Tapi kalau saya sendiri bilang, tidak pasti kalau mati itu pasti. Entah apa yang tersimpan di balik kematian. Saya bukan agnostik atau bahkan ateis. Saya percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian, yang bahkan lebih abadi ketimbang dunia yang sekadar mampir ini. Perbandingan hidup di dunia dan hidup di akhirat sangat jauh sampai-sampai dimisalkan bahwa kehidupan dunia hanya sekadar mampir, singgah saja di suatu tempat. Dan dalam hal ini, saya tidak menganggap itu sebuah kematian karena seterusnya saya masih akan hidup. Kematian yang seperti itu hanyalah berpindah alam saja. Mati yang sejati bagi saya adalah mati seperti yang seorang ateis percayai: terhapusnya eksistensi. Kosong, habis.
Kemudian Guru Sejarah saya itu melanjutkan, pandangan hidup semacam memento mori itulah yang menyebabkan mandeknya peradaban di benua Eropa pada abad pertengahan. Mengapa? Sebab orang sudah tidak mau lagi bekerja karena menurut mereka dunia terlalu fana untuk diperjuangkan. Apa yang sudah didapat dalam hidup dengan susah payah toh akhirnya akan ditinggalkan juga setelah mati. Apalagi kematian itu sangat dekat pada mereka menyusul wabah dan peperangan yang berkecamuk. Di belahan bumi yang lain, di sebelah timur Eropa, di masa yang sama Kerajaan Islam sedang mencapai masa kejayaannya. Sejatinya, dalam ajaran agama Islam juga banyak terdapat penegasan tentang kematian yang pasti akan menjemput. Salah satunya terdapat pada potongan ayat Al-Quran berikut:
“Setiap yang berjiwa akan merasakan mati.” — Ali ‘Imran [3:185]
“Di mana saja kalian berada, kematian pasti akan mendapati kalian, walaupun kalian berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” — An-Nisa [4:78]
Akan tetapi dalam masyarakat Islam di kala itu tidak terdapat asketisme yang serupa dengan orang-orang Eropa. Justru sebaliknya, kerajaan Islam berkembang amat pesat di berbagai bidang mulai dari sains hingga militer. Lantas apa yang membedakan memento mori dengan keyakinan kaum muslim ini?
“Bekerjalah untuk duniamu seakan – akan kamu hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan – akan kamu mati esok.” [H.R. Turmudzi]
Dalam Islam, tidak ada pembedaan antara urusan dunia dengan akhirat. Meski Kristianitas dan Islam sama-sama menganut konsep hidup setelah mati, tapi kewajiban manusia dalam Islam tidak hanya semata berbuat baik untuk akhirat tapi juga menimbulkan kebaikan bagi dunia. Lagi-lagi, memang bukan Islam saja yang mengajarkan untuk berbuat baik di dunia. Islam menambahkan kewajiban untuk memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, atau biasa disebut sebagai amar ma’ruf nahi munkar. Oleh karena itu, orang Islam berusaha memperoleh pengaruh sebanyak mungkin di bidang apapun agar bisa mengamalkan ajaran amar ma’ruf nahi munkar ini. Orang Islam percaya bahwa jika mereka tidak melaksanakan hal ini maka mereka akan diganjar dengan api neraka setelah mati nanti. Hal ini sangat terlihat pada aliran pemikiran Mu’tazilah yang menambahkan pasal amar ma’ruf nahi munkar di samping rukun-rukun Islam lainnya. Konsekuensinya, orang yang tidak mau memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran akan mati sia-sia dan terancam akan disiksa di akhirat.
Tapi, lagi-lagi, semuanya adalah soal mati.
Berbicara soal mati, Steve Jobs pernah berujar dalam pidato sambutan wisudawannya di Stanford yang sangat terkenal:
Mengingat-ingat bahwa saya akan segera mati adalah alat bantu yang paling menolong saya dalam membuat keputusan-keputusan besar saya dalam hidup.
Hampir semua hal–ekspektasi orang lain, kesombongan, rasa takut akan kejengahan dan kegagalan–semua ini akan sirna di hadapan kematian, sehingga yang tinggal hanyalah hal-hal yang betul-betul penting.
Mengingat-ingat bahwa kita akan mati adalah cara terbaik yang saya tahu untuk menghindari jebakan pemikiran bahwa kita akan kehilangan sesuatu. Kita semua sudah telanjang. Tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati kita.
Tidak ada orang yang mau mati. Bahkan, orang yang ingin ke surga tidak ingin mati untuk menuju ke sana. Namun, bagaimanapun juga, kematian adalah tujuan yang sama-sama akan kita datangi. Tidak ada seorangpun yang pernah lolos dari maut, dan memang seharusnya begitu, sebab kematian adalah satu-satunya hal baik yang diciptakan oleh kehidupan. Kematian adalah agen perubahan bagi kehidupan. Kematian menyapu bersih yang lama agar diganti dengan yang baru.
Your writing won’t die even though you have met The God over there 🙂
Keep writing!