Catatan pengantar
Tulisan ini merupakan tugas resensi dari mata kuliah Pengantar Ilmu Budaya semester ganjil tahun akademik 2013/2014.
Melacak Sejarah Pembaratan Nusantara
Antariksa Akhmadi (NIM. 121311233004)
Pengantar Ilmu Budaya kelas A
Judul buku : Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-batas Pembaratan
Pengarang : Denys Lombard
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 309 halaman
Berbicara tentang Indonesia, orang tidak akan bisa melepaskan diri dari mengangkat soal Jawa. Bisa dikatakan bahwa di Jawalah seluruh peristiwa yang kini dan yang lampau berpusat. Aidit pernah mengeluarkan nasihat yang amat terkenal dan diamini kebenarannya hingga hari ini: jika ingin menguasai Indonesia, kuasai dulu Jawa. Berangkat dari sentimen inilah Denys Lombard menyusun karya besarnya yang berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya.
Tidak banyak kajian ilmiah tentang sejarah Indonesia, apalagi yang ditulis berdasarkan kacamata asing. Lombard sedari kalimat pertama dalam bukunya mengakui bahwa dia menulis dalam “…pandangan kami yang Eropasentris…”. Bisa dikatakan bahwa kajian yang dilakukannya merupakan History of Java baru, seperti yang dikarang Stamford Raffles pada awal abad ke-19. Pandangan keeropaan ini penting karena akan memberi gambaran pada pembaca Indonesia sendiri tentang bagaimana sikap dan opini para “penjajah” terhadap bangsa yang pernah diperintahnya selama ratusan tahun.
Nusa Jawa dibagi menjadi tiga buku yang mewakili peradaban-peradaban asing yang mempengaruhi Nusantara hingga mencapai bentuknya yang sekarang, yaitu Barat, Islam, dan Cina-India. Lombard mendefinisikan kajiannya sebagai sebuah “geologi budaya”, sehingga ia menyajikan suatu kronologi sejarah Nusantara yang regresif. Ia memulai dengan menyajikan proses pembaratan yang dilakukan oleh Belanda, lalu mundur ke zaman ekspansi Islam dan Cina di Indonesia, dan akhirnya menelusuri warisan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di jilid terakhir.
Pada buku pertama ini, Lombard memulai investigasinya dengan memberikan gambaran mengenai kondisi geografis, geologis, ekonomi, serta historisnya secara umum. Secara geografis, Jawa terletak di tengah-tengah Nusantara dan di tengah-tengah jalur perdagangan laut yang membuatnya menjadi tempat persilangan peradaban-peradaban besar. Bisa dikatakan bahwa secara geografis Jawa adalah jantung Nusantara. Komposisi geologis alam di Jawa menjadikannya sebagai daerah yang makmur. Kekuatan ekonomi Nusantara berporos di Jawa, sekali lagi karena letak geografisnya yang ada di jantung Nusantara. Sedangkan secara kesejarahan, dengan mengecualikan Sriwijaya, seluruh kerajaan besar yang menguasai Nusantara berpusat di Jawa.
Mulainya pembaratan di Indonesia secara efektif ditandai dengan mendaratnya para pelayar Belanda di bawah Cornelis de Houtman di Banten. Selang enam tahun setelah itu, berdirilah Vereenidge Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1602. Pada awalnya pembaratan itu hanya sedikit sekali terjadi karena sikap orang Belanda yang eksklusif dan tidak mau menjadikan Nusantara sebagai rumahnya. Orang-orang Belanda bukannya mendirikan institusi pendidikan di Nusantara, namun malah mengirimkan anak-anaknya kembali ke Belanda untuk dididik. VOC bersikap agresif pada setiap penguasa lokal yang mencoba melawan monopolinya. Sikap non-kooperatif ini, ditambah dengan kebobrokan internal para pegawai VOC, menyebabkannya harus gulung tikar pada 1799. Setelah itu, pembaratan atas Indonesia diteruskan langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah kolonial tidak lagi bersikap ingin memusnahkan pengaruh para penguasa lokal karena sadar akan potensi mereka untuk menggerakkan rakyat di bawahnya. Oleh karena itu, pemerintah kolonial berusaha meraih simpati untuk pada akhirnya dapat menguasai para raja dan sultan secara halus. Pembaratan sejatinya baru terjadi setelah dicanangkannya politik etis di akhir abad ke-19.
Pada masa-masa kolonial belanda inilah lahir empat golongan besar yang terpengaruh proses pembaratan. Yang pertama yaitu orang-orang Kristen asli Nusantara yang timbul dari hasil aktivitas misionaris Belanda yang gencar (yang sebelumnya amat dibatasi pada masa VOC). Yang kedua adalah golongan priyayi yang diberikan legitimasi oleh pemerintah kolonial namun dikerdilkan pengaruhnya sehingga menutup peluang terjadinya perlawanan. Golongan ketiga adalah tentara dan akademisi yang baru muncul menjelang kemerdekaan Indonesia menyusul dibentuknya universitas oleh pemerintah kolonial dan angkatan bersenjata lokal oleh Jepang dalam pendudukannya yang singkat. Yang terakhir adalah golongan kelas menengah. Kelas menengah ini muncul sebagai dampak dari urbanisasi yang makin gencar setelah kemerdekaan Indonesia. Ini tidak lepas dari pengaruh Belanda yang telah membangun perkotaan dan merangsang pindahnya masyarakat dari desa ke kota.
Lombard kemudian mengulas warisan-warisan pembaratan yang ditinggalkan oleh Belanda. Dalam bidang teknik, Indonesia menerima masuknya besi dalam skala yang masif, pembangunan jalan raya dan rel kereta api, serta pengembangan ilmu kedokteran dalam bentuk obat-obatan dan pendidikan kedokteran lokal (salah satunya Nederlandsch Indisch Artsenschool yang sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga). Dalam bidang kemasyarakatan, Belanda mewariskan jalur komunikasi telegraf yang disusul dengan telepon, pemetaan Jawa yang lengkap, data-data statistik, ditulisnya catatan sipil, sistem administrasi negara yang memungkinkan berdirinya Republik Indonesia di kemudian hari, sistem percetakan, penanggalan, dan etos kerja. Atas pengaruh barat pula, orang Indonesia mulai menerima pakaian ala Eropa yang meski demikian masih diikuti oleh laki-laki saja. Gestur-gestur seperti berjabat tangan, makan dengan menggunakan peralatan makan, serta olahraga Barat seperti sepak bola dan berkuda juga diterima dari kehadiran para kolonis. Berkat proses pembaratan pula, aksara latin dapat dikenal luas di seantero negeri dan bahasa Melayu dipakai secara umum. Penyerapan-penyerapan kata ke dalam bahasa Melayu juga berlangsung secara besar-besaran sehingga membuka jalan bagi terbentuknya bahasa nasional yakni bahasa Indonesia. Warisan politik Eropa pun juga diterima Indonesia dalam wujud istilah seperti nasionalisme, komunisme, demokrasi, dan revolusi. Akan tetapi, di sisi lain Lombard menunjukkan bahwa konsep-konsep ini tidak diterima secara penuh namun mendapat distorsi dan penyesuaian dengan kondisi Indonesia sehingga pada akhirnya menjadi tak serupa dengan rumusan aslinya.
Agaknya perubahan selera estetika di Indonesia menjadi aspek yang amat penting untuk dikaji sehingga Lombard mengangkatnya sebagai suatu bahasan tersendiri. Citarasa arsitektur di Indonesia telah banyak dipengaruhi gaya Eropa, demikian pula isme-isme dalam seni rupa menggantikan gaya tradisional serta gaya penulisan sastra yang mulai berkiblat pada Barat. Tradisi perfilman Indonesia mulai bangkit menjelang kemerdekaan, meskipun kalah awalan ketimbang negara-negara lainnya. Di sisi lain, seni musik Eropa ternyata tidak dapat menggeser sepenuhnya gamelan Jawa yang telah begitu kuat posisinya. Ide-ide Barat juga mulai diterima oleh masyarakat dan terlihat pengaruhnya baik dalam kesenian, akademik, maupun kehidupan sehari-hari. Di samping kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, masuknya estetika Eropa ini membawa ekses yang mengerosi kebudayaan daerah. Aktivitas pariwisata yang makin padat membuat ritus-ritus yang mestinya sakral menjadi dangkal. Upacara-upacara dan tarian suci diperlakukan layaknya komoditas hiburan biasa untuk dinikmati wisatawan. Selain itu, muncul barang-barang antik tiruan dari masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Penggalian gencar dilakukan untuk mencari artefak sejarah yang pada akhirnya didistribusikan secara ilegal sehingga memiskinkan Indonesia dari warisan kebudayaannya sendiri.
Sebagai akhir dari buku ini, Lombard mengetengahkan reaksi-reaksi yang timbul atas peristiwa pembaratan di Indonesia. Di tengah-tengah masyarakat kolonis yang enggan berasimilasi dengan pribumi, sejumlah penganut Kristen Belanda murtad dan sejumlah lainnya kawin campur sehingga muncullah orang-orang Indo. Merekalah yang berperan besar dalam membaratkan Indonesia. Di pihak lain, orang-orang Indonesia yang terdidik terpecah dalam memilih apakah akan mengadopsi nilai-nilai Barat atau kembali pada nilai-nilai Timur keindonesiaan. Golongan yang memeluk pembaratan memajukan Indonesia dari segi kesusasteraan dan kesenian, sementara golongan yang ingin mengembalikan Indonesia ke asal ketimurannya berkontribusi dalam memajukan pendidikan dan menanamkan nasionalisme serta jati diri kebangsaan.
Secara keseluruhan, Nusa Jawa dalam jilid Batas-batas Pembaratan merupakan risalah yang komprehensif bagi siapapun yang ingin mengenal Indonesia dan bagaimana ia bisa mencapai kemodernan dan kebudayaannya hari ini. Setiap detil disampaikan dengan gaya yang merangsang keingintahuan dan informatif sehingga memberi pencerahan bagi pembacanya. Meski demikian, Lombard tidak senantiasa memberi porsi penjelasan yang sama dalam menyampaikan ilustrasi dan fakta-faktanya. Ada sebagian penjelasan yang kelewat berkepanjangan dan ada sebagian lagi yang sebetulnya masih perlu dielaborasi. Berbagai ilustrasi dan peta juga disertakan guna memperkaya penjabaran-penjabaran yang telah disusun secara runtut dalam buku ini.
Meski Lombard sendiri mengakui bahwa bukunya ini dibangun atas pandangan Barat, namun tidak ditemukan bias-bias yang membahayakan. Semuanya disampaikan apa adanya namun tetap dengan penuh penghargaan pada subjek yang diceritakan, yakni Nusantara dan Jawa pada khususnya. Baik pembaca Barat maupun Indonesia sendiri akan menemukan kepuasan tersendiri dan barangkali “sentilan” atas tindakan bangsanya yang tidak benar di masa lampau.
Terlepas dari semua kelebihan dan kekurangan dalam penulisannya, Nusa Jawa: Silang Budaya jilid Batas-batas Pembaratan ini adalah suatu karya penting yang mungkin tidak akan ada gantinya dalam beberapa dekade mendatang. Isinya perlu diperhatikan oleh semua pemangku kepentingan dalam membangun bangsa ini. Pihak-pihak yang melaksanakan pembangunan dapat mereflesikan keberhasilan dan kegagalan pembangunan kebaratan di masa lalu sebagai acuan untuk masa depan. Mahasiswa, utamanya yang mempelajari kebudayaan, dapat memperoleh gambaran utuh tentang sejarah bangsanya dan bagaimana Indonesia hari ini tak lepas dari warisan-warisan Barat. Dengan berbekal wawasan itu, mereka akan dapat mengembangkan peradaban bangsa Ini ke arah yang lebih baik. Masyarakat Indonesia biasa pun dapat menikmati buku ini, walau hanya sekadar sebagai pengingat sehingga ia tak tercerabut dari akar kebangsaannya.