Sejak akhir SMP, saya mulai membiasakan diri berbicara dengan bahasa Jawa (ngoko pastinya). Sekalipun kedua orangtua saya bukan orang Jawa, saya yang dilahirkan di Jawa ini jadi tidak bisa berbicara bahasa daerah mereka. Bahasa Jawa pun saya masih agak canggung. Mungkin karena ketularan dialek Suroboyoan-nya teman-teman di sana dulu, jadilah semakin lancar saya berbicara bahasa Jawa. Kebiasaan ini entah kenapa malah semakin parah ketika saya mulai masuk SMA yang katanya RSBI. Kalau sekolah RSBI itu kan harusnya malah nginggris, tapi entahlah ini terpengaruh apa. Pokoknya semakin lama lidah ini makin pandai membacot bahasa Jawa.
Tapi, satu hal yang agak mengganggu adalah ketika orang lain mengajak berbicara dengan bahasa Indonesia (entah baku atau tidak). Misalnya:
Orang : Eh, blablablanya udah kamu kerjakan belum?
Saya : Uwes.
Atau ketika saya mengajak bicara orang lain:
Saya : Eh blablablane wes mbokkumpulno, a?
Orang : Udah tadi di mejanya Pak Anu.
Sebenarnya untuk orang kebanyakan tidak terlalu ada masalah. Tapi saat seseorang menanggapi suatu perkataan dengan bahasa yang berbeda rasanya kurang sreg untuk saya. Apalagi bahasa Jawa itu biasanya di lingkungan tertentu diasosiasikan dengan informalitas, kemarjinalan, atau kesan tidak berpendidikan karena biasanya bahasa Jawa memang stereotipnya digunakan untuk orang-orang yang semacam itu. Orang yang pekerjaannya rendahan, guyub, dan hobi cangkrukan di warung kopi yang tempatnya memakan badan trotoar. Atau mungkin anak-anak sepantaran saya dengan potongan rambut nyeleneh berwarna kemerah-merahan terbakar matahari yang hobi nggandol mobil pick-up atau truk yang kebetulan baknya kosong.
Satu hal lagi yang kurang nyambung tapi masih agak relevan. Di kegiatan MOS sekolah saya (yang juga diteruskan di keseharian warga sekolahnya), seorang junior harus memanggil seniornya dengan sebutan Mbak atau Mas sedangkan sekolah lain (yang satu daerah) memakai panggilan Kak atau malah Bang. Buat saya sendiri, panggilan Mbak dan Mas itu terkesan lebih egaliter daripada Kak dan sebutan lainnya. Dan mungkin memang egalitarianisme itulah yang diharapkan kepanitiaan MOS sekolah saya itu. Apakah ini juga karena bahasa Jawa yang dipakai? Seharusnya, bahasa Jawa adalah bahasa yang sangat menekankan hierarki (ingat sistem unggah-ungguh yang sukar ditemukan di bahasa lain itu). Tapi mengapa di masa sekarang bahasa ini malah terkesan lebih egaliter dari bahasa lain (i.e. bahasa Indonesia/Melayu yang tidak mengenal hierarki)?
Wah kok jadi ngalor-ngidul begini tulisannya. Ada yang bisa memberi masukan, mungkin? 😕
Be First to Comment