Skip to content

Month: April 2011

Catharses Medley #1

Catatan: Di bawah ini adalah hasil salin-tempel catatan saya di Facebook bertanggal 3 Januari 2011 dengan penyuntingan. Mungkin ke depannya saya sekali-sekali akan menggunakan model tulisan seperti ini, membahas beberapa tema sekaligus dalam satu tulisan secara singkat dan tidak menyeluruh. Diharapkan pembaca bisa mendalami sendiri kalau dirasa perlu. Insyaallah bahasan yang lebih panjang dan lebar akan dibuatkan tulisan tersendiri.

———-

Sebagai prolog, saya menulis seperti ini sebenarnya cuma gara-gara keinginan berkatarsis yang tertunda sejak lama dipicu oleh beberapa alasan: malas, malas, malas, dan banyak kerjaan. Kerja apa saja itu? Yang jelas tidak banyak, kok. Hanya saja saya suka menunda-nunda pekerjaan dan mengeluh yang sebenarnya tidak perlu sehingga tugas itu terasa seperti menyampaikan risalah kenabian di atas jejak para rasul. Lebih banyak waktu saya tersita untuk melihat layar komputer berkeliling-keliling mencari link yang menarik dan menamatkan game jadul yang sebenarnya sudah sejak SD saya coba tamatkan (sekarang pun belum tamat!). Oh, juga untuk membeli buku dan nonton anime.

Cukup sekian prolognya.

Sebagaimana yang saya lakukan pada masa-masa PPS menjelang lulus SMP, saya biasanya menuliskan poin-poin penting yang saya pikirkan sebebas-bebasnya (karena itulah yang menjadikan ini katarsis). Yang sering kali kumenthus dan ditambah-tambahi tulisan berbahasa Arab yang sebenarnya adalah judul-judul barang asal Jepang, saking bebasnya. Dan sekarang saya hendak menerapkan cara yang sama dengan harapan bisa sedikit melepas penat dan menguras waktu pembaca.

Amanah

Amanah itu sangat berat. Sekalipun saya sudah berulang kali tertimpa amanah yang untuk ukuran seorang siswa sangat besar, tapi baru kali ini saya merasakan beratnya beban amanah itu. Saya berpikir kembali dan agaknya sedikit memahami mengapa Gusti Allah berfirman pada [33:72] bahwa manusia itu bodoh dan zalim karena mau-maunya menerima amanah yang bahkan ditolak oleh langit dan gunung. Tapi seperti yang saya bilang di awal, mungkin saya yang terlalu hobi bermalas-malasan dan berhiperbola.

Mencintai Kebijaksanaan

[Below this point, there will be pseudo-philosophical gibberish ]

Katanya, filsafat itu dibenci agama. Sekalipun Francis Bacon, filosof abad pertengahan asal Inggirs, pernah berujar “sedikit filsafat akan menjauhkan orang dari Tuhan, banyak filsafat mendekatkan orang pada Tuhan”, tetap saja ini tidak berlaku pada semua situasi. Lebih tepatnya, hal ini sangat banyak pengecualiannya dus tidak akurat. Filsafat merupakan ibu semua pengetahuan, tapi toh diibutirikan dalam kancah diskursus pengetahuan. Agama Islam yang jaman keemasannya ditunjang oleh keberadaan karya-karya filsuf Yunani Aristoteles juga malah mengabaikan peranannya dan mengekspos sains secara membabi buta. Banyak orang Islam misalnya, menjunjung sains modern yang mereka anggap “membuktikan kemukjizatan Al-Quran”, tanpa mau tahu bahwa mereka sebenarnya mempermainkan metodologi ilmiah dan dalam bahaya mentakwilkan firman Tuhan secara sembarangan (yang dikutuk dalam [3:7]). Saya sendiri sebenarnya tidak mau tahu dengan semua itu, karena iman itu masalah hati dan bukannya akal.

Baiklah, sepertinya yang tadi itu agak melenceng.

Bagi yang belum tahu, subjudul di atas itu adalah arti harfiah dari filsafat. Kata “filsafat” berasal dari bahasa Arab falsafah yang merupakan serapan dari bahasa Yunani philosophia. Philo yang merupakan derivat dari philia berarti cinta dan sophia berarti kebijaksanaan. Definisi filsafat sendiri sampai saat ini masih diperdebatkan di kalangan para pecinta kebijaksanaan (baca: filsuf). Yang jelas, inti dari filsafat adalah berpikir radikal. Sesuai asal kata radikal yang berasal dari bahasa Yunani radix (artinya akar), filsafat memandang permasalahan pada akarnya dan bukan apa yang tampak dari luar. Jika seorang biolog bertanya “apakah virus itu makhluk hidup?” maka seorang filsuf akan bertanya “apa yang dimaksud dengan hidup?”. Jika matematikawan mencari solusi atas bilangan imajiner dan irasional, maka seorang filsuf akan memikirkan bagaimana manusia bisa menerima konsep bilangan.

Leave a Comment

Bahasa Jawa

Sejak akhir SMP, saya mulai membiasakan diri berbicara dengan bahasa Jawa (ngoko pastinya). Sekalipun kedua orangtua saya bukan orang Jawa, saya yang dilahirkan di Jawa ini jadi tidak bisa berbicara bahasa daerah mereka. Bahasa Jawa pun saya masih agak canggung. Mungkin karena ketularan dialek Suroboyoan-nya teman-teman di sana dulu, jadilah semakin lancar saya berbicara bahasa Jawa. Kebiasaan ini entah kenapa malah semakin parah ketika saya mulai masuk SMA yang katanya RSBI. Kalau sekolah RSBI itu kan harusnya malah nginggris, tapi entahlah ini terpengaruh apa. Pokoknya semakin lama lidah ini makin pandai membacot bahasa Jawa.

Tapi, satu hal yang agak mengganggu adalah ketika orang lain mengajak berbicara dengan bahasa Indonesia (entah baku atau tidak). Misalnya:

Orang : Eh, blablablanya udah kamu kerjakan belum?
Saya : Uwes.

Atau ketika saya mengajak bicara orang lain:

Saya : Eh blablablane wes mbokkumpulno, a?
Orang : Udah tadi di mejanya Pak Anu.

Sebenarnya untuk orang kebanyakan tidak terlalu ada masalah. Tapi saat seseorang menanggapi suatu perkataan dengan bahasa yang berbeda rasanya kurang sreg untuk saya. Apalagi bahasa Jawa itu biasanya di lingkungan tertentu diasosiasikan dengan informalitas, kemarjinalan, atau kesan tidak berpendidikan karena biasanya bahasa Jawa memang stereotipnya digunakan untuk orang-orang yang semacam itu. Orang yang pekerjaannya rendahan, guyub, dan hobi cangkrukan di warung kopi yang tempatnya memakan badan trotoar. Atau mungkin anak-anak sepantaran saya dengan potongan rambut nyeleneh berwarna kemerah-merahan terbakar matahari yang hobi nggandol mobil pick-up atau truk yang kebetulan baknya kosong.

Satu hal lagi yang kurang nyambung tapi masih agak relevan. Di kegiatan MOS sekolah saya (yang juga diteruskan di keseharian warga sekolahnya), seorang junior harus memanggil seniornya dengan sebutan Mbak atau Mas sedangkan sekolah lain (yang satu daerah) memakai panggilan Kak atau malah Bang. Buat saya sendiri, panggilan Mbak dan Mas itu terkesan lebih egaliter daripada Kak dan sebutan lainnya. Dan mungkin memang egalitarianisme itulah yang diharapkan kepanitiaan MOS sekolah saya itu. Apakah ini juga karena bahasa Jawa yang dipakai? Seharusnya, bahasa Jawa adalah bahasa yang sangat menekankan hierarki (ingat sistem unggah-ungguh yang sukar ditemukan di bahasa lain itu). Tapi mengapa di masa sekarang bahasa ini malah terkesan lebih egaliter dari bahasa lain (i.e. bahasa Indonesia/Melayu yang tidak mengenal hierarki)?

Wah kok jadi ngalor-ngidul begini tulisannya. Ada yang bisa memberi masukan, mungkin? 😕

Leave a Comment
In word we trust