Skip to content

Tag: sastra

Olenka

Di zaman edan ini, kita sudah terlalu banyak melihat orang yang berpura-pura tentang dirinya. Masih ingat kan ibu kita pernah berkata, “Nak, jangan gampang percaya sama orang, apalagi kalau dibaik-baikin“? Bahkan sedari kecil kita sudah diajari untuk meragukan ketulusan orang lain. Tapi nasihat itu sedikit-banyak memang benar. Tempo hari kita dikejutkan dengan ditangkapnya ketua umum salah satu parpol Islam atas tuduhan korupsi. Pamor parpol yang diklaim sebagai satu-satunya parpol berkuasa yang bersih dari korupsi itu langsung hancur.

CCI03032013
Kover Olenka cetakan kesembilan. Cheesy banget, nggak terasa kayak terbitan Balai Pustaka. [gambar sendiri]
Dengan kebohongan dan kepura-puraan yang jadi santapan kita sehari-hari, Fanton Drummond, Olenka, dan Wayne Danton adalah contoh orang-orang yang akan jarang kita temui. Mereka tidak benar-benar ada. Ketiganya hanyalah bikinan penulis Budi Darma lewat novelnya Olenka (Balai Pustaka, 1986). Budi Darma tidak memasukkan satu pun pahlawan dalam ceritanya. Sebaliknya, ketiga tokoh utamanya adalah orang yang menjijikkan: Drummond yang hidupnya diombang-ambing nafsunya akan Olenka, Danton sang sastrawan gagal yang memperlakukan Olenka bak barang kepunyaan, dan Olenka sendiri yang hidup luntang-lantung dan gila lelaki.

Tapi di samping betapa menjijikkannya mereka, mereka punya satu kebaikan yang tak kita punya: kejujuran. Mereka menyadari bahwa mereka adalah orang-orang rusak. Mereka tetap sadar siapa dirinya tanpa harus menutup-nutupinya dengan jubah-jubah status sosial maupun agama. Dalam sebuah bagian, Fanton Drummond membaca petikan Al-Quran surat Al-Baqarah (2):62. Kemudian menjelang ending ia merenung bahwa Tuhan akan meminta pertanggungjawaban atas segala perbuatannya (surat Al-Baqarah (2):284). Ia orang yang menyadari ketuhanan, juga membaca kitab suci. Tapi semua itu tidak dia jadikan alasan untuk menutup-nutupi keburukannya.

Setelah membaca buku ini, kita akan merenungi diri kita sendiri. Sudahkah kita berterus terang terhadap diri kita sendiri?

Ada sekitar 53 catatan kaki di buku ini, hampir semuanya adalah rujukan ke karya-karya sastra Inggris (Budi Darma berlatar belakang pendidikan sastra Inggris). Sebagian lagi berisi pengalaman Budi Darma sendiri yang mengilhami adegan yang ia tulis. Parahnya, catatan-catatan kaki ini tidak ditulis langsung di bawah halaman tapi ditempatkan di sebuah bab tersendiri. Jadi perlu kesabaran ekstra kalau kau mau mengikuti semua catatan kaki yang ada, walau memang tidak wajib.

Jangan harapkan cerita yang runtut dan berkelanjutan dalam Olenka. Sebagian besar isi novel ini menceritakan apa yang terlintas di benak tokoh-tokohnya, dan sangat sedikit bab yang berfungsi untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Bahkan menurutku, plot novel ini cenderung terlalu biasa, apalagi kisah Fanton Drummond ini akhirnya dibiarkan begitu saja tanpa kesimpulan.

Untuk bisa mengerti novel ini secara keseluruhan, kita perlu membaca bab Asal-Usul Olenka yang terletak setelah akhir cerita. Budi Darma menjelaskan mulai dari inspirasi yang membawanya menulis buku ini hingga menjelaskan apa-apa yang terjadi dengan karakter-karakternya.  Lewat buku ini, beliau memang tidak bermaksud menuturkan sebuah kisah. Bahkan, mengutip salah satu sastrawan Inggris, beliau menuturkan, “Most of our lives is so dull.” Sebagian besar hidup kita begitu membosankan. Tapi beliau menandaskan, hal yang terpenting bukanlah kisah hidup kita sendiri tapi bagaimana kita memandang dan merenunginya.

Kutipan ini menurutku adalah pesan terpenting dari novel ini:

Pada hakikatnya, setiap orang adalah seorang Immanuel Kant. Hidupnya terkungkung, tetapi pikirannya berloncatan ke sekian banyak dunia. (Bab Asal-Usul Olenka)

Leave a Comment

Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma

Bisa dibilang, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma adalah karya berlatar penjajahan Jepang yang pertama kali kubaca. Meski kumpulan cerita tulisan Idrus ini tergolong sebagai karya klasik, aku sendiri belum terlalu mengenal pengarangnya. Apalagi, karya-karya dari era Angkatan ’45 memang tidak setenar dan sebanyak angkatan sebelum maupun sesudahnya (Pujangga Baru dan Angkatan ’66). Tentu saja karena pada tahun-tahun itu Indonesia lebih sibuk untuk mempertahankan kemerdekaan daripada mengembangkan sastra.

Buku ini memiliki tiga bagian, yang menceritakan tiga periode yang berbeda di sekitar zaman penjajahan Jepang. Pada bagian Zaman Jepang, Idrus memasukkan cerita Ave Maria dan naskah drama Kejahatan Membalas Dendam. Di bagian ini, Idrus memasukkan unsur-unsur idealismenya, misalnya nasionalisme dan patriotisme yang sangat kentara dalam Ave Maria. Bagian kedua, Corat-Coret di Bawah Tanah berisi beberapa cerita yang intinya menceritakan hal yang serupa: penderitaan rakyat dan kebijakan ketat penjajah Jepang. Bagian ketiga, Setelah 17 Agustus 1945 banyak bercerita soal prahara rakyat Indonesia setelah kemerdekaan.

Semakin mendekati akhir, cerita-cerita Idrus yang semula cerah dan penuh idealisme berubah menjadi gelap dan realistis. Contohnya di cerpen Surabaya yang terletak di bagian akhir. Sebagai orang awam yang hanya tahu sejarah lewat pelajaran sekolah, persepsiku soal perjuangan kemerdekaan benar-benar dijungkirbalikkan. Di sana diceritakan tentang para pemuda yang tidak ragu-ragu menghabisi saudara sebangsanya sendiri karena dianggap mata-mata. Atau tentang kondisi para pengungsi dari perang di Surabaya yang terlunta-lunta, sampai-sampai ada yang harus tinggal di kandang anjing. Walaupun demikian, cerita terakhir Jalan Lain ke Roma kembali lagi ke kesan idealistis yang ada di cerita-cerita awal.
Setelah membaca ini, aku jadi punya banyak pengetahuan baru soal suasana pada masa penjajahan Jepang. Misalnya, tindakan polisi Jepang yang arogan namun terkadang juga manusiawi. Demikian pula kegiatan a la ibu-ibu PKK di perkumpulan Fujinkai yang serbadiatur pemerintah. Kebanyakan cerita mengupas tentang sisi gelap penjajahan Jepang dan penderitaan rakyat pada masa itu. Tidak heran kalau ada ceritanya yang sempat dibredel oleh pihak penjajah. Idrus sendiri juga menceritakan tentang betapa ketatnya kontrol penjajah pada saat itu (maaf, aku lupa di bagian mana).

Oh ya, soal bahasa, buku ini nggak serumit Layar Terkembang apalagi Sitti Nurbaya. Di zaman Jepang, bahasa Indonesia (bukan Melayu) sudah banyak dipakai, jadi ya nggak bakal jauh beda dengan bahasa sekarang.

Jadi kesimpulannya, jangan lewatkan buku ini kalau kalian menemukannya tergeletak. Akan susah mencari buku yang bertema seperti ini, apalagi yang bagus. Karena seperti kubilang tadi, karya-karya yang ditulis dan berlatarkan sekitar zaman Jepang memang tidak banyak jumlahnya.

Leave a Comment

Akibat Jam Kosong

Kakilangit Sastra Pelajar
Kakilangit Sastra Pelajar

Kemarin lusa, aku menemukan buku Kakilangit Sastra Pelajar di perpustakaan. Di tengah stereotip bahwa sastra dan membaca bukan kebiasaan remaja Indonesia, buku ini sedikit membuatku lega. Ternyata tidak semua remaja Indonesia hanya bisa merangkai kata-kata gombal murahan dan/atau menulis fan fiction anime atau artis Korea.

Puisi-puisi yang ditulis tidak kalah menariknya (setidaknya untukku) dengan karya-karya pujangga yang lebih senior seperti Sapardi, Sutardji, atau Alois. Tema-tema yang diangkat sangat luas, mulai dari Simfoni Mahler no. 9 sampai penyalahgunaan narkoba. Gaya menulisnya juga sangat tereksplorasi, jauh dari gaya bahasa status-status  ababil di Facebook atau twit di Twitter yang begitu-begitu saja.

Tapi ternyata tidak sampai di situ, anak-anak Horison ini ini ternyata lebih mengerikan dari yang kuduga. Di bagian esai, ada tulisan yang memuat pembahasan filsafat kontinental yang jelas membuatku bingung. Bahkan Ir. Melani Budianta di bagian epilognya juga menyatakan kekaguman beliau atas karya-karya yang dimuat.

Kesimpulannya, faith in teenagers: restored.

______



Gambar diambil dari hasil penelusuran Google, sumber dari sini (sudah tidak valid).

3 Comments
In word we trust