Skip to content

Tag: polisi

1172

Hujan sudah berhenti. Matahari telah kembali terbit. Kubuka tirai, lalu jendela kamarku. Titik-titik air masih menetes dari atap. Daun-daun pohon berkilau kebasahan. Di atas jalan beraspal, terlihat satu-dua orang berjalan menghindari kubangan. Aku mengusap mataku, lalu meregangkan punggung sambil mengerang semampuku.

Tiba-tiba terdengar dering ponsel. Di mana kutaruh benda itu? Kuamati sekeliling kamarku. Ternyata ia ada di atas tempat tidur. Aku sempat berpikir untuk mengabaikan panggilan itu. Kulihat siapa yang menelepon. Ah, orang ini. “Hai,” sapa suara di ujung telepon dengan ramah.

“Siapa kau?” aku bertanya, pura-pura tak tahu. Kupikir setelah kejadian tadi malam, dia takkan sudi merecoki hidupku lagi. Aku memang seorang pendosa. Tapi apakah kata-katanya yang mempermalukanku itu masih belum cukup? Dengan cara apa lagi dia akan mempertontonkan kebatilan-kebatilan yang telah kulakukan?

“Kau ini lucu ya. Sudah cukup terganggu, kan, dengan pernyataanku di televisi kemarin? Aku sungguh bangga, akhirnya kebenaran terungkap juga,” dia berkata dengan santai, separuh berkelakar malah. Sementara itu, sakit hatiku makin hebat. “Terlaknat kau! Harus kusebut apa dirimu, setan yang bekerjasama dengan malaikat?”

Dia juga pendosa sepertiku. Kukira kami akan tetap setia untuk saling menutupi kejahatan yang telah aku dan dia lakukan. Dan sekarang, dia mengkhianatiku semata-mata agar dirinya selamat. Dia terdiam agak lama. “Ah, itu tak penting,” kilahnya dengan nada yang jernih, “lihatlah keluar!”

Aku berjalan menuju jendela. Kuintip keadaan di luar. Tanpa kusadari, dua mobil Avanza hitam sudah terparkir di depan rumah persembunyianku. Ada beberapa orang di depan pekarangan rumahku. Beberapa mengenakan rompi coklat dengan simbol di dada yang sudah sangat kukenal. Beberapa yang lainnya mengenakan topi putih dan seragam abu-abu.

KPK, polisi.

Aku terdiam. Ponsel yang kupegang jatuh. Tidak lama kemudian, kudengar suara ketukan di pintu.

Leave a Comment
In word we trust