Skip to content

Tag: organisasi

Housekeeper’s Notes #03: Hati dan Organisasi

Organisasi semacam himpunan sejatinya adalah organisasi sukarela, volunteering. Bapak ilmu manajemen, Peter F. Drucker, menyebut para relawan sebagai pekerja yang paling memiliki dedikasi. Peluh yang mereka keluarkan tidak berbahan bakar uang atau kekuasaan, tapi semata-mata tujuan mereka adalah keinginan untuk memajukan organisasi. Ketika para relawan ini lulus dari bangku kuliah, mereka akan menjadi pekerja yang punya daya tahan, motivasi yang lebih baik, dan kemahiran sosial yang lebih tinggi daripada rekan-rekannya yang tidak berorganisasi.
Setidaknya, begitulah yang semestinya terjadi. Apakah organisasi kita sudah menghasilkan kader-kader pekerja yang punya daya tahan tinggi?
 Tidak juga.
 Pembaca pasti sudah kenal stereotip panitia MOS atau Ospek yang lagaknya sok-sok kaku, bersuara lantang, tapi sebenarnya tebar pesona. Mungkin juga pembaca yang berorganisasi pernah mendapati orang yang dalam rapat tampak menggebu-gebu dan berkarisma tapi sejatinya mencari “mangsa” atau berusaha mengundang tepuk tangan dari teman-temannya. Mau kita akui atau tidak, semua orang tampaknya punya kepentingan pribadi. Apalagi, karena kerja sukarela tidak ada insentifnya, orang-orang dalam organisasi akan berusaha mencari reward-nya dengan cara mereka sendiri. Entah itu dalam bentuk pertemanan, percintaan, sampai akses ke orang-orang dan informasi penting di kampus (yang paling klasik: dosen dan perkuliahan). Ketika reward yang mereka cari itu tidak mereka temukan, maka mereka akan mundur teratur dengan sendirinya dari organisasi kita.
 Satu hal yang saya pahami setelah berorganisasi beberapa lama adalah bahwa kepentingan organisasi pasti akan berbenturan dengan kepentingan diri sendiri. Saya ingin santai-santai menonton serial TV, membaca buku simpanan di hari sabtu dan minggu, atau melakukan kerja sambilan, tapi ada rapat atau kegiatan yang wajib dihadiri. Padahal, di rapat atau kegiatan itu saya tidak betul-betul punya andil selain untuk meramaikan saja. Idealnya sih memang semua orang punya suara dan peran dalam rapat. Tapi, let’s face it, berapa banyak sih orang yang mau berpartisipasi aktif di rapat seperti itu? Oleh karena itu, dalam benak saya, seorang organisator yang ideal adalah mereka yang dengan sukahati mau mengesampingkan kepentingan pribadi mereka demi kepentingan organisasi dan teman-teman mereka di sana.
 Teman-teman dan senior-senior saya waktu SMA punya istilah yang cukup sarkastik untuk organisator semacam ini: orang bodoh. Hanya orang bodoh yang mau diganggu akhir minggunya untuk datang rapat di siang bolong di hari sabtu tanpa diberi imbalan apa-apa. Hanya orang bodoh yang bisa berbulan-bulan bekerja keras untuk suatu acara tanpa diberi ucapan terima kasih dan penghargaan hanya untuk kemudian disuruh lagi membuat laporan pertanggungjawaban. Hanya orang bodoh yang rela memperjuangkan kepentingan teman-temannya yang mungkin tidak peduli hasil kerjanya, bahkan mungkin mencemooh dirinya di belakang.
 Saya tidak setuju menyebut hal-hal tadi sebagai kebodohan dan orang-orang yang melakukannya sebagai orang bodoh. Lebih tepat untuk menyebutnya sebagai pengorbanan. Tapi toh mungkin juga dikatakan, “Pengorbanan dan kebodohan itu bedanya tipis sekali.” Memang betul. Kadangkala orang yang berkorban demi sesamanya akan merasa bodoh, seolah kerja demi orang lain itu hanya membuang-buang waktunya saja. Sebaliknya, orang yang benar-benar bodoh akan merasa berkorban walaupun sebenarnya pengorbanannya itu tak seberapa.
 Kerja organisasi memang lebih banyak tidak bisa dinalarnya. Mengurus organisasi non-profit bukan cuma berkutat pada mengatur-atur masalah teknis, malah ada masalah yang lebih penting, yaitu hati. Seperti yang kita tahu, bicara soal hati memang jatuhnya akan ribet dan tidak karuan. Kent M. Keith, dalam buku kecilnya yang ditujukan pada aktivis mahasiswa di Amerika Serikat pada tahun 60-70an, menuliskan suatu manifesto yang ia beri judul “Perintah-Perintah yang Tak Masuk Akal.” Bunyinya sebagai berikut:
 
Orang lain itu tak logis, tak bisa diajak berpikir, dan mementingkan dirinya sendiri.
Tetaplah mencintai mereka.
Jika kamu berbuat baik, orang akan menuduhmu punya maksud tersembunyi.
Tetaplah berbuat baik. 
Jika kamu beroleh keberhasilan, maka kamu akan mendapat kawan palsu dan musuh sejati.
Tetaplah meraih keberhasilan. 
Kebaikan yang kamu lakukan hari ini akan dilupakan esok hari.
Tetaplah berbuat baik. 
Berkata jujur dan berterus terang akan membuatmu rentan.
Tetaplah jujur dan terus terang. 
Manusia berhati besar dengan pemikiran terbesar bisa dijatuhkan manusia berhati kecil dengan pemikiran terkecil.
Tetaplah berpikir besar. 
Orang kasihan pada yang tertindas tapi hanya mau turut yang berkuasa di atas.
Tetaplah membela yang tertindas. 
Yang kamu bangun selama bertahun-tahun bisa hancur dalam semalam.
Tetaplah membangun. 
Orang lain sungguh perlu kamu tolong, tapi jika ditolong mereka bisa menikammu.
Tetaplah menolong orang lain. 
Berikan yang terbaik bagi dunia dan mukamu akan diinjak-injak.
Tetaplah memberi yang terbaik bagi dunia.
Sepintas, memang kata-kata di atas tampak menjadi sesuatu yang ideal dan perlu kita tiru. Tapi, saya pun pada akhirnya juga ragu. Apakah ada orang yang bisa mengamalkan kata-kata di atas huruf demi huruf? Bukannya orang yang bisa melakukan hal seperti di atas itu namanya sudah bukan lagi manusia melainkan malaikat? Bahkan, saya pun tak yakin penulisnya juga sanggup berbuat seperti yang ditulisnya (terbukti sampai saat ini kita-kita juga masih asing dengan nama Kent M. Keith.)
Sebenarnya, sejauh apakah kita harus menyumbangkan hidup kita demi kepentingan sesama? Apa seorang relawan-organisator harus terus-terusam membarter urusan pribadinya untuk organisasi? Bagaimana kita bisa mencoba untuk hidup berdampingan dengan orang lain tanpa harus banyak saling menyakiti untuk mempelajarinya?
Sampai tulisan ini saya teruskan, biarlah pembaca dulu yang menyusun jawabannya.
Leave a Comment

Menjadi Apatis dan Hedonis

Kita adalah siswa yang dipenuhi istilah dan jargon. Kontribusi, cinta almamater, Smalane sejati, apatisme, hedonisme, kata-kata semacam itu kita jadikan bahan perbincangan, bahan renungan, dan sering juga bahan pengaderan.

Dan sudah pernah kukatakan sebelumnya, banyak yang suka memaknai istilah-istilah semacam ini secara buta. Waktu ada ribut-ribut soal kepanitiaan yang kekurangan dana, apatis dan hedonis ini terkesan dijadikan kambing hitam. “Ini gara-gara Smalane sekarang banyak yang apatis dan hedonis,” kita sering mengatakan seperti itu.

Orang-orang yang lebih suka nge-game atau bersantai di mall daripada mengikuti kegiatan organisasi kita sebut sebagai hedonis.

Orang-orang yang enggan membayar urunan untuk kepanitiaan atau ikut meramaikan lapangan tengah atau venue even OSIS kita sebut sebagai apatis.

Bahkan, apatis dan hedonis ini dijadikan ejekan. Aku pernah mendengar ada yang memanggil dengan kata-kata, “he, apatis!”

Sudahkah kita tahu arti dari apatis dan hedonis?

Anggaplah arti harfiah dari apatis itu tidak peduli dan hedonis itu hura-hura. Tapi apa pemahaman kita sudah benar? Belum tentu. Bisa jadi kita terbias, menganggap kita sendiri lebih tinggi dengan merasa tidak menjadi apatis dan hedonis yang suka kita capkan ke orang-orang yang menurut kita hatinya kurang peka itu.

Mungkin kita lebih merasa tinggi dari mereka yang kita katai apatis dan hedonis. Merasa lebih cinta almamater dari mereka. Merasa  lebih punya jiwa berkontribusi daripada mereka. Merasa lebih berguna daripada mereka yang kita anggap hidupnya percuma di sekolah ini.

Sungguh, kita harus malu kalau beranggapan seperti itu. Apakah kita sendiri sudah tidak apatis dan hedonis?

Mencap orang lain dengan sebutan apatis dan hedonis tanpa mempedulikan perasaan mereka, itu juga apatis.

Terlalu sibuk menikmati acara sampai lalai dengan panggilan untuk beribadah, itu juga hedonis.

Tanpa disadari, kita juga menjadi apatis dan hedonis. Bahkan bisa jadi lebih apatis dan hedonis daripada mereka yang kita sebut seperti itu.

Leave a Comment
In word we trust