Skip to content

Tag: logika

Logika Berpikir, Memangnya Kenapa Dipikirin?

Kita sering mendengar kata logika. Biasanya sih, orang terutama yang masih muda memakai kata logika untuk menjelaskan perbedaan cowok dan cewek. Cowok digambarkan sebagai makhluk yang berlogika, sementara cewek merupakan makhluk yang minim logika dan cenderung “main perasaan”. Benarkah demikian? Agnes Monica dalam salah satu lagunya membawakan lirik, “Cinta ini kadang-kadang tak ada logika.” Yah, kalau perbedaan di atas dipakai berarti bisa kita simpulkan cowok nggak bisa jatuh cinta, dong. Tentu saja ada yang salah di sini.

Kalau kita mau sedikit mengamati, sebenarnya logika itu ada hubungannya dengan bahasa. Kok bisa begitu? Coba perhatikan orang gila di sekitarmu, atau kalau tidak ada coba bayangkan saja. Orang yang gila tentu bicaranya akan tidak teratur dan tidak bisa dipahami. Kita bisa menyebut orang gila sebagai orang yang lemah akal, atau juga bisa dibilang lemah logika. Jan Hendrik Rapar dalam bukunya Pengantar Logika menandaskan bahwa logika adalah alat berbahasa. Menyusun kata-kata, menyampaikan pikiran dalam lisan dan tulisan, semuanya tidak lepas dari logika. Beberapa kasus medis menunjukkan bahwa orang yang mengalami kerusakan pada bagian otaknya yang mengatur berpikir logis akan mengalami masalah berbahasa. Oleh karena itu, kayaknya kita perlu pertanyakan lagi pembedaan cewek dan cowok atas dasar logika, apalagi buat yang cewek. Memangnya pada mau disamain kayak orang gila atau pengidap gangguan otak?

Dalam pengertian ilmiahnya, logika merupakan seni dan ilmu untuk berpikir secara tepat dan mencapai kesimpulan yang benar. Logika pada umumnya berkutat pada pernyataan-pernyataan yang disusun untuk membentuk sebuah argumentasi. Tidak seperti pengertiannya dalam konteks sehari-hari, dalam logika yang disebut argumentasi adalah proses menunjang pendapat kita dengan alasan-alasan.

Dalam filsafat, adanya logika menjadi penting sekali karena filsafat pada intinya adalah serangkaian argumentasi dari berbagai macam tokoh. Seringkali pendapat para filosof menuntut kemampuan menalar dan daya imajinasi abstrak yang tinggi. Oleh karena itu, untuk memahaminya dibutuhkan logika berpikir yang baik. Jika penalaran logis dapat kita kuasai, maka kita tidak akan kebingungan atau malah “tersesat” dalam menghadapi argumentasi-argumentasi filsafat yang acapkali membingungkan.

Untuk lebih jelasnya, mari kita simak beberapa konsep dalam logika, seperti yang terpapar berikut ini:

  1. Argumentasi adalah serangkaian pernyataan yang digunakan untuk mendukung sebuah pendapat atau ide
  2. Argumentasi terdiri dari dua bagian, yaitu premis dan kesimpulan
  3. Kesimpulan merupakan sebuah pernyataan yang dicapai dengan jalan pernyataan-pernyataan lainnya
  4. Pernyataan-pernyataan yang dipakai dalam argumentasi dan penarikan kesimpulan disebut sebagai premis
  5. Premis dan kesimpulan dapat dibenarkan jika ia memiliki dua syarat:
    1. Bentuknya valid. Contoh: “Manusia berjalan dengan dua kaki. Andi manusia. Maka, Andi berjalan dengan dua kaki,” merupakan argumentasi yang valid sementara “Semua sapi melenguh. Kambing melenguh. Maka, kambing adalah sapi,” adalah argumentasi yang tidak valid. Dalam hal bentuk, yang diperhatikan adalah cara menalarnya, apakah sesuai ketentuan logika atau tidak.
    2. Isinya benar. Contoh: “Pak lurah adalah seorang laki-laki” adalah pernyataan yang benar sementara “Bu lurah bukanlah seorang perempuan” adalah pernyataan yang salah. Dalam hal isi, yang diperhatikan adalah apakah isi premis atau kesimpulan itu sesuai dengan akal sehat atau tidak.
  6. Argumentasi pada dasarnya terbagi menjadi dua jenis: deduktif dan induktif
  7. Sebuah argumentasi dapat disebut deduktif jika kesimpulannya dibenarkan oleh premis yang benar dan valid. Contoh argumentasi deduktif: “Semua mahasiswa diliburkan. Amir mahasiswa. Maka, Amir diliburkan.” Jika kedua premis (kalimat pertama dan kedua) valid dan benar maka kesimpulan (kalimat ketiga) juga akan benar dengan sendirinya. Argumentasi deduktif sepenuhnya didasarkan pada aturan logika
  8. Sebuah argumentasi dapat disebut induktif jika kesimpulannya didukung oleh premis yang benar dan valid pula. Contoh argumentasi deduktif: “Ayam bernapas. Kucing bernapas. Ikan bernapas. Kodok bernapas. Ular bernapas. Maka, semua hewan bernapas.” Yang membedakan argumentasi induktif dengan deduktif adalah sebanyak apapun premis yang ditawarkan tidak menjamin bahwa kesimpulan akan menjadi benar dengan sendirinya. Jika seseorang memasukkan satu saja premis semisal “Hewan X tidak bernapas” maka argumentasi akan runtuh dengan seketika. Argumentasi induktif tidak terikat pada aturan-aturan logika

Ada kalangan yang berpendapat bahwa inti dari logika adalah membedakan argumen yang baik dengan yang buruk. Filosof dan ahli logika Charles Sanders Pierce menulis, “The central problem of logic is the classification of arguments, so that all those that are bad are thrown into one division, and those which are good into another,” yang berarti, “Masalah pokok logika adalah pemilahan argumentasi, sehingga argumentasi yang buruk akan masuk ke satu kelompok dan argumentasi yang baik ke dalam kelompok lainnya.” Dapat kita simpulkan bahwa setelah mempelajari logika, kita diharapkan untuk dapat membedakan argumentasi mana yang baik dan argumentasi mana yang buruk.

Nah, mungkin sampai di sini akan timbul pertanyaan: argumentasi yang buruk itu seperti apa? Dalam logika, argumentasi yang buruk dikatakan mengandung kesesatan (fallacy) atau sesat (fallacious). Ada dua jenis umum kesesatan, yaitu kesesatan formal dan kesesatan informal. Kesesatan formal menyangkut kesalahan materi dari argumentasi maupun premis, sementara kesesatan informal menyangkut isinya.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering tidak sadar menemukan atau malah menggunakan kesesatan dalam berbicara (berbicara juga dengan sendirinya mengharuskan kita untuk berlogika). Biasanya argumentasi sesat yang ada di kehidupan sehari-hari kita mengandung kesesatan informal. Seperti apa bentuknya? Ini adalah contoh-contohnya:

  1. Berpatokan pada orang
    Contoh: “Kamu itu cuma anak kecil, tahu apa?”
  2. Generalisasi yang tidak matang
    Contoh: “Dalam beberapa tahun ini marak aksi terorisme yang didalangi orang Islam. Maka, semua orang Islam itu teroris.”
  3. Mempertanyakan niat lawan bicara
    Contoh: “Anda ngomong seperti ini pasti karena dibayar sama orang parpol, kan?”
  4. Berpatokan pada akibat
    Contoh: “Jika teori evolusi itu benar, maka kita semua turunan primata. Aku tidak mau dianggap turunan primata. Maka, teori evolusi itu salah.”
  5. Setelah X, maka karena X
    Contoh: “Tadi Sara makan kue coklat, lalu dia diare seharian. Pasti itu gara-gara kuenya.”
  6. Berpatokan pada yang pertengahan
    Contoh: “Orang yang kerjanya berbuat alim terus itu nggak baik, apalagi orang yang kerjanya jelek-jelek melulu. Lebih baik jadi setengah alim, tapi juga agak nakal sedikit juga.”
  7. Dilema palsu
    Contoh: “Jika kamu bukan bagian dari solusi, maka kamu adalah bagian dari masalah.”
  8. “Katanya begini, kan?”
    Contoh: “Semua politikus itu hanya mengumbar janji. Jadi, mendingan kita golput saja (memangnya benar begitu?).”
  9. “Saya salah karena anda salah”
    Contoh: “Dari tadi nyuruh aku belajar, emangnya situ udah?”
  10. Argumentasi tidak nyambung
    Contoh: “Memangnya kenapa kalau aku bilang bumi itu kotak? Mau protes? Cari uang dulu sana baru protes.”

Contoh-contoh di atas itu kelihatannya sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, kan? Rasanya hal yang paling penting yang bisa kita aplikasikan dari logika adalah soal kemampuan untuk mengenali kesesatan-kesesatan berlogika ini. Di televisi, di koran, dan tentunya di belantara internet kita menemukan bermacam-macam opini dan ide-ide yang silang sengkarut. Kadang-kadang kita sampai kebingungan sendiri dalam menanggapinya. Kita mungkin bertanya, “Ini yang mana sih yang bener?” Nah, dengan kemampuan logika dan terutama menganalisis kesesatan berlogika kita dapat lebih arif (ceilah!) dalam menghadapi persoalan yang sedemikian banyak dalam hidup ini.

Jadi, buat apa mikirin logika?

Leave a Comment

Berpikir Ngawur

Premis mayor     : Semua yang berkaki empat adalah hewan.
Premis minor     : Kucing berkaki empat.
Kesimpulan     : Kucing adalah hewan.

Masih ingat ini? Ya, ini adalah silogisme yang kita pelajari di sekolah. Banyak dari kita mungkin menganggap materi bahasa Indonesia ini remeh dan nggak penting. Toh semua orang juga tahu kalau kucing itu hewan, atau kalau kita belajar pasti lulus ujian (kecuali kalau salah ngurek-ngurek lembar jawaban, jadi hati-hati ya). Pertanyaannya: benarkah silogisme ini nggak penting?

Sebelum membahas yang lain, apa sih silogsime itu? Kata Si Wiki, silogisme berarti proses mengambil kesimpulan dari dua buah pernyataan (biasa disebut premis). Biar lebih jelas, mari kita misalkan pernyataan-pernyataan dalam contoh menjadi huruf:

Premis mayor     : Semua yang berkaki empat adalah hewan. (AB)
Premis minor     : Kucing berkaki empat. (CA)
Kesimpulan         :  Kucing adalah hewan. (CB)

Bisa kita lihat, pernyataan AB dan CA menghasilkan pernyataan baru yaitu CB. Premis mayor dan premis minor menghasilkan sebuah kesimpulan.

Tapi silogisme ini tidak selalu benar. Setidaknya ada dua syarat agar silogisme bisa benar: 1) kedua premisnya benar, dan 2) cara mengambil kesimpulannya benar. Nah, kalau melihat contoh yang kita bahas, apa kalian menyadari sesuatu? Lihat kalimat “Semua yang berkaki empat adalah hewan.” Apakah semua yang berkaki empat itu hewan? Meja dan kursi punya empat kaki, dan mereka bukan hewan. :mrgreen:

Kita bisa tahu dengan cepat kalau yang salah adalah premisnya. Bagaimana kalau cara menyimpulkannya yang salah? Dalam masalah-masalah sepele seperti contoh kita, memang sangat mudah untuk membuat kesimpulan. Masalah yang kita temui sehari-hari tentu lebih rumit. Variabel A, B, C saja nggak cukup. Cara kita untuk mencapai kesimpulan juga berbeda-beda. Inilah yang rawan bikin masalah.

Aris     : Presiden Partai Keracunan Sapi ditangkap ya?
Asna    : Beliau kan orangnya alim, pinter bahasa Arab lagi. Nggak mungkin ah beliau bersalah. 🙁
Aris     : Presiden Bashar Al-Assad juga pinter bahasa Arab, tapi dia membunuh rakyatnya sendiri tuh…. 😕

Kata-kata Hasna di atas bisa dianggap sesat logika karena cara mengambil kesimpulannya tidak benar. Apakah kita bisa tahu kebaikan dan kesalehan orang dari kemampuan bahasa Arabnya? Memang kelihatannya simpel, tapi banyak orang yang sering tergelincir dalam sesat logika semacam ini. Mari kita lihat contoh lain:

Asna     : Si Firman dari tadi ke kamar mandi terus.
Aris     : Duh, penting banget sih. Emangnya kenapa?
Asna : Pasti gara-gara tadi dia tadi makan Pizza Hud. Emang dari dulu aku curiga kalo makanan itu nggak aman! 👿
Aris     : Bukannya Firman itu habis minum obat pencuci perut ya?

See? Mudah sekali bagi kita untuk membuat kesimpulan yang salah.

Dalam bahasa Inggris, kesesatan logika disebut logical fallacy. Aku lebih suka menyebutnya kengawuran. Orang yang melakukan fallacy itu seringkali bukan cuma salah tapi malah ngawur. Lihat saja komentator-komentator blog atau forum. Ada juga orang-orang yang sengaja membuat argumen yang ngawur untuk membenarkan pendapatnya. Lagipula, sesat itu kayak aliran agama saja. 😆

Ada banyak jenis kesesatan kengawuran logika. In syaa Allah aku akan membahas beberapa jenis kesesatan logika di tulisan-tulisan selanjutnya.

Kalau ada yang mau membaca beberapa jenis kesesatan kengawuran logika, ada beberapa tautan yang bermanfaat:

Sesat Pikir Logika dalam Politik. Menjelaskan berbagai ngawur-logika sehari-hari terutama yang nyerempet politik.
Argumentum ad Pusingam. Agak teknis tapi membantu memahami ngawur-logika dari segi ilmu logika sendiri.
Wikipedia Indonesia: Kesesatan. Meski penulisannya nggak teratur, contoh-contoh ngawur-logika yang diberikan di sini mudah dipahami.
Wikipedia Inggris: List of Fallacies. Daftar dan penjelasan singkat yang sangat komplet tentang ngawur-logika.

5 Comments
In word we trust