Skip to content

Tag: cerita pendek

Gadis Dandelion – 4

Catatan dikit:

  1. Cerita ini adalah terjemahan serampangan saya dari The Dandelion Girl karangan Robert F. Young. Aslinya ini bukan cerita bersambung, tapi untuk mengurangi prokrastinasi saya memecahnya jadi enam bagian. Selain itu, cerita ini diterjemahkan bersambung biar yang baca penasaran supaya saya juga terpacu untuk menyelesaikan.
  2. Seperti yang sudah dibilang tadi, ini terjemahan serampangan. Akan banyak perbedaan diksi dan gaya bahasa antara terjemahan ini dengan cerita aslinya. Maklum masih amatiran. Jadi, tolong kasih saran dan kritik, ya. 😉
  3. Bagian-bagian lain dari terjemahan ini:
    Bagian 1

    Bagian 2
    Bagian 3
    Bagian 4
    Bagian 5-6

Keesokan harinya ia melaju ke dusun dan bertanya ke kantor pos apakah ada surat untuknya. Nihil. Itu hal biasa untuknya. Jeff sama-sama tidak suka menulis surat seperti dirinya, sementara Anne saat ini mungkin tidak bisa dihubungi. Adapun untuk praktik kerjanya sendiri, ia telah melarang sekretarisnya untuk mengganggunya dengan surat-surat kecuali untuk urusan yang benar-benar genting.

Dia berdebat dalam hati apakah harus bertanya kepada sang kepala kantor pos yang sudah sepuh tentang keberadaan sebuah keluarga yang bernama Danvers di sekitar situ. Ia putuskan untuk tidak bertanya. Dengan bertanya, Mark akan mengkhianati seluruh rangkaian cerita meyakinkan yang sudah dituturkan oleh Julie. Meski dia tidak yakin dengan semua cerita itu, ia tidak tega membiarkan bangunan kepercayaan itu runtuh di depan matanya.

Sore itu, Julie mengenakan gaun kuning warna yang sama seperti rambutnya. Lagi-lagi tenggorokan Mark menegang ketika ia melihatnya. Lagi-lagi dia tidak kuasa untuk bicara. Namun ketika saat-saat pertama berlalu dan kata-kata telah terujar, semua jadi baik-baik saja, dan pikiran mereka berdua mengalir bersama seperti dua sungai kecil yang gemericik dan mengalir dengan riang menuju tepian sore hari. Kali ini, ketika mereka berpisah, Julielah yang bertanya, “Apa besok Anda ke sini?” – meskipun itu hanya karena dia mencuri pertanyaan dari bibir Mark-dan kata-kata itu bernyanyi di telinganya sepanjang perjalanan kembali lewat hutan menuju kabin, melenakannya hingga tertidur selepas malam yang dihabiskan dengan mengisap pipa rokok di pelataran.

Sore harinya ketika dia mendaki, bukit itu tampak kosong. Pada awalnya kekecewaannya membuat dia mati rasa, namun ia menggumam, Dia cuma terlambat. Dia akan muncul sebentar lagi. Mark lalu duduk di bangku granit sambil menunggu. Tapi Julie tidak juga datang. Menit demi menit, jam demi jam berlalu. Bayang-bayang gelap merayap dari hutan dan mendaki ke atas bukit. Udara semakin dingin. Dia menyerah, akhirnya, dan dengan lesu berjalan kembali ke kabin.

Sore hari berikutnya dia tidak muncul juga. Juga sore yang berikutnya. Mark tidak bisa makan atau pun tidur. Memancing sudah tak lagi membuatnya bersemangat. Ia tidak lagi bisa membaca. Selagi itu semua terjadi, ia membenci dirinya sendiri, membenci sikapnya yang seperti bocah kasmaran, yang bersikap seperti seorang bodoh di usia empat puluhan hanya karena seraut muka yang cantik dan sepasang kaki yang indah. Sampai beberapa hari silam, dia bahkan tak pernah betul-betul memerhatikan perempuan lain, dan sekarang dalam waktu kurang dari seminggu dia tidak hanya memerhatikan namun sudah jatuh hati dengan Julie.

Harapan telah pudar dalam hatinya ketika ia mendaki bukit di hari keempat–lalu tiba-tiba hidup lagi ketika ia melihat Julie berdiri menghadap matahari. Dia mengenakan gaun hitam kali ini. Mark harusnya bisa menebak alasan menghilangnya dia, tapi Mark tak sadar sampai ia datang padanya dan melihat airmata mulai menetes dari matanya dan getaran bibirnya yang menyingkapkan suatu tanda. “Julie, ada apa?”

Dia menempel padanya dengan bahunya yang gemetar, dan menempelkan wajahnya ke mantelnya. “Ayah saya meninggal,” katanya, dan entah bagaimana, ia tahu bahwa ini adalah air mata pertamanya, bahwa ia telah duduk menahan air mata selama perkabungan dan pemakaman, dan bahwa tangisan itu berhasil ia bendung hingga barusan.

Mark memeluknya dengan lembut. Dia tidak pernah menciumnya, dan dia tidak akan menciumnya sekarang, tidak juga. Bibir Mark menyeka dahinya dan sekilas menyentuh rambutnya– itu saja. “Maaf, Julie,” katanya. “Aku tahu betapa berartinya dia untukmu.”

“Dia selalu tahu dia sudah akan dijemput,” katanya. “Dia pasti tahu itu sejak eksperimen stronsium 90 yang dia lakukan di laboratorium. Tapi dia tak pernah bilang siapa-siapa– bahkan aku … Aku tak ingin hidup. Kalau tak ada dia, hidup ini sudah tidak ada artinya lagi– tidak, tidak, tidak!”

Mark mendekapnya erat-erat. “Kamu akan menemukan sesuatu, Julie. Seseorang. Kamu masih muda. Kamu masih anak-anak, sungguh. ”

Kepalanya tersentak kembali, dan tanpa linangan di matanya ia menatap Mark. “Aku bukan anak kecil! Jangan sekali-kali panggil aku anak kecil!”

Terhenyak, Mark melepaskannya dan melangkah mundur. Mark belum pernah melihatnya marah sebelumnya. “Bukan maksudku–” ia mengawali.

Kemarahan Julie begitu cepat berlalu karena munculnya tiba-tiba “Saya tahu Pak Randolph tidak bermaksud menyakiti perasaan saya. Tapi saya bukan anak-anak, sungguh bukan. Berjanjilah Anda tidak akan memanggil saya begitu lagi. ”

“Baiklah,” kata Mark. “Aku janji.”

“Dan sekarang saya harus pergi,” katanya. “Saya punya seribu satu hal yang harus dikerjakan.”

“Apa– apa kamu besok ke sini lagi?”

Dia menatap Mark lama sekali. Sejenis kabut, seperti yang biasa terlihat ketika hujan di musim panas, membuat matanya yang biru berbinar. “Mesin waktu bisa rusak,” katanya. “Ada bagian-bagian yang perlu diganti–dan saya tidak tahu cara menggantinya.” Mesin waktu kami– mesin waktuku bisa saja dipakai untuk jalan sekali lagi, tapi saya tidak yakin.”

“Tapi kamu akan berusaha datang lagi, kan?”

Dia mengangguk. “Ya, akan saya coba. Dan Pak Randolph? ”

“Ya, Julie?”

“Hanya jaga-jaga saja kalau saya tak bisa kembali–dan supaya tahu saja–saya mencintaimu.”

Leave a Comment

Gadis Dandelion – 3

Catatan dikit:

  1. Cerita ini adalah terjemahan serampangan saya dari The Dandelion Girl karangan Robert F. Young. Aslinya ini bukan cerita bersambung, tapi untuk mengurangi prokrastinasi saya memecahnya jadi enam bagian. Selain itu, cerita ini diterjemahkan bersambung biar yang baca penasaran supaya saya juga terpacu untuk menyelesaikan.
  2. Seperti yang sudah dibilang tadi, ini terjemahan serampangan. Akan banyak perbedaan diksi dan gaya bahasa antara terjemahan ini dengan cerita aslinya. Maklum masih amatiran. Jadi, tolong kasih saran dan kritik, ya. 😉
  3. Bagian-bagian lain dari terjemahan ini:
    Bagian 1

    Bagian 2
    Bagian 3
    Bagian 4
    Bagian 5-6

Pada sore hari yang kedua, gadis itu mengenakan gaun biru dengan seutas pita kecil sewarna yang diikatkan pada rambut berwarna dandelionnya. Setelah mendaki bukit, Mark berdiri sebentar menunggu kerongkongannya tak lagi terasa tercekat sebelum berjalan menghampiri gadis itu, menemaninya menyapa angin. Tapi, lekuk leher dan dagu gadis itu membuat kerongkongannya kembali terasa sesak. Gadis itu berbalik dan menyapa, “Halo, saya tidak menyangka Anda akan datang ke sini,” tapi Mark terdiam cukup lama sebelum dapat membalasnya.

“Toh aku datang juga,” akhirnya Mark berkata. “Begitu pula kamu.”

“Benar,” kata gadis itu. “Saya senang.”

Sebongkah batuan granit yang ada di situ membentuk semacam bangku. Mereka berdua duduk di situ dan memandang hamparan yang ada di depan mata. “Ayah saya juga merokok,” gadis itu berujar, “dan saat beliau menyalakannya, ayah mencungkupkan tangannya seperti Anda meski tidak ada angin bertiup. Kalau dilihat-lihat, ayah dan Anda tampak sama.”

“Coba kamu ceritakan soal ayahmu,” kata Mark. “Ceritakan dirimu juga.”

Gadis itupun bercerita. Usianya 21 tahun. Ayahnya seorang pensiunan fisikawan pemerintah. Mereka berdua tinggal di apartemen kecil di Jalan 2044. Dia sendiri berada di rumah untuk membantu ayahnya sejak ibunya wafat empat tahun silam. Setelah itu, Mark bercerita tentang dirinya, juga tentang Anne dan Jeff. Ia juga mengatakan bahwa ia ingin Jeff nanti bisa bermitra dengannya nanti. Begitu pula ia bercerita tentang Anne yang fobia dengan kamera dan selalu menolak difoto, bahkan saat hari pernikahannya, dan juga tentang liburan yang ia habiskan dengan anak dan istrinya dengan berkemah pada musim panas kemarin.

Seusai Mark bertutur, gadis itu berkata, “Senang sekali punya keluarga seperti Anda. Pasti menakjubkan hidup di tahun ’61!”

”Dengan mesin waktumu, kamu bisa pindah ke sini kapanpun kamu mau.”

”Tidak semudah itu. Kalaupun saya tega meninggalkan ayah, saya tetap masih harus berurusan dengan polisi waktu. Begini, Pak, perjalanan melintas waktu hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang melakukan ekspedisi sejarah yang direstui pemerintah. Orang biasa tidak boleh melakukannya.”

”Kamu kelihatannya baik-baik saja.”

“Itu karena ayah saya menciptakan mesin waktu sendiri di luar pengetahuan polisi waktu.”

”Tapi, berarti kamu tetap melanggar hukum, bukan?”

Gadis itu mengangguk. “Hanya saja, itu pelanggaran di mata mereka saja, berdasarkan konsep mereka tentang waktu. Ayah saya punya konsep sendiri.”

Rasanya menyenangkan sekali melihat dirinya bicara sampai-sampai apa yang dia bicarakan seolah tak begitu penting. Mark ingin dia berbicara terus, sejauh apapun topik yang dibicarakannya. “Coba ceritakan aku soal itu,” kata Mark.

“Saya ceritakan dulu konsep versi pemerintah. Orang-orang yang mendukungnya berkata bahwa tidak ada seorangpun dari masa depan yang boleh terlibat dalam apapun yang terjadi di masa lalu, sebab keberadaannya akan menimbulkan paradoks. Kejadian-kejadian di masa depan harus diubah agar paradoks tersebut bisa terselesaikan. Oleh karena itu, Departemen Perjalanan Waktu memastikan agar yang bisa mengakses mesin-mesin waktunya hanyalah orang-orang yang diizinkan. Mereka juga punya polisi yang bertugas untuk mengamankan orang-orang yang ingin kembali ke masa lalu mencari kehidupan yang lebih mudah dan orang-orang yang mengaku menjadi sejarawan agar bisa kembali selamanya ke zaman yang berbeda.

“Namun, menurut konsep ayah saya, kejadian sepanjang sejarah sudah tertulis dalam suatu kitab waktu. Dari sudut pandang yang luas, kata ayah saya, semua yang akan terjadi sebetulnya sudah terjadi. Maka, ketika seorang dari masa depan terlibat dalam kejadian masa lalu, dia menjadi bagian dari kejadian itu—sudah sejak awal dia memang seharusnya ada di situ—dan dengan begitu tidak akan ada paradoks.

Mark menghirup dalam-dalam pipanya. Dia membutuhkannya. “Ayahmu sepertinya orang yang lumayan menarik,” katanya.

“Itulah beliau!” Antusiasme Julie semakin meronakan merah pipinya, mencerahkan biru matanya. “Anda tak bisa membayangkan berapa banyak buku yang sudah dia baca, Pak Randolph. Wah, apartemen kami punya banyak sekali buku! Mulai dari Hegel, Kant, dan Hume; Einstein, Newton, dan Weizsacker. Saya bahkan sudah membaca sendiri beberapa di antaranya.”

“Saya juga cukup suka mengumpulkan buku-buku.”

Gadis itu segera melihat wajahnya. “Hebat sekali, Pak Randolph,” katanya. “Saya rasa kita kurang-lebih punya minat yang sama!”

Percakapan-percakapan selanjutnya memang menunjukkan bahwa mereka berdua bisa saling memahami topik pembicaraan satu sama lain, meski topik-topik seperti estetika transendental, Berkeleianisme, dan relativitas tidak umum dibicarakan seorang pria dan seorang gadis di atas bukit di bulan September, apalagi ketika sang pria sudah menginjak usia empat puluh empat sementara sang gadis baru beranjak dua puluh satu. Begitulah pikir Mark. Tapi tetap saja ada hal-hal menyenangkan yang bisa diperoleh dari situ. Perbincangan hangan mereka soal estetika transendental bukan saja memendarkan kesimpulan a priori maupun a posteriori, namun juga memendarkan bintang-bintang teramat kecil di mata gadis itu. Penjelajahan mereka tentang Berkeley tidak hanya menunjukkan kelemahan mendasar dari teori biarawan itu, namun juga menunjukkan rona muda di pipi gadis itu. Demikian juga diskusi mereka tentang relativitas tidak hanya mendemonstrasikan bahwa E tidak lain dan tidak bukan sama dengan mc2. Diskusi mereka juga menunjukkan bahwa pengetahuan bukanlah suatu cacat, malah malah menjadi penunjang pesona seorang perempuan.

Suasana hati yang timbul dari percakapan itu membekas lebih lama daripada sewajarnya, dan suasana hati itu masih dibawa Mark ketika ia naik ke atas ranjang. Saat ini, dia bahkan tidak berusaha berpikir tentang Anne. Dia tahu bahwa itu tidak akan baik buatnya. Alih-alih itu, dia berbaring begitu saja di kegelapan dan mengundang pikiran acak apapun yang singgah—semua pikiran itu tidak berkisar jauh dari suatu puncak bukit di bulan September dan seorang gadis dengan rambut berwarna dandelion.

Hari sebelum kemarin, saya melihat seekor kelinci. Kemarin, seekor rusa. Hari ini, Anda.

Leave a Comment
In word we trust