Skip to content

Tag: bukan resensi

Pembunuhan ABC

Agatha Christie. Jujur, aku tak pernah tertarik dengan novel-novel misterinya sampai aku menonton Hyouka. Saking banyaknya referensi ke buku-buku Christie, akhirnya aku penasaran dan mulai membaca satu-dua judul yang terkenal. Yang pertama adalah Sepuluh Anak Negro (Inggris: And Then There were None). Bisa dikatakan bahwa novel ini adalah induk semua cerita closed circle mystery (macam cerita-cerita pembunuhan di pulau terpencil). Semakin mendekati akhir, bukan penyelesaian yang kutemukan, tapi kasus yang terjadi malah semakin tidak terpecahkan. Dan tiba-tiba pada bab terakhir, semua misteri langsung terpecahkan!

Tapi sesuai judul, sebenarnya aku akan menulis soal novel yang baru saja kutamatkan: Pembunuhan ABC (Inggris: The ABC Murders). Detektif yang membintangi novel ini tak lain dan tak bukan adalah Hercule Poirot (ngomong-ngomong, seharusnya nama belakangnya dibaca pwa-rou dan bukannya poi-rot seperti yang kita lakukan selama ini). Nah, banyak yang bilang bahwa novel ini adalah salah satu karya terbaik Christie. Apa sebabnya?

Ada tiga orang yang dibunuh oleh seorang yang tak diketahui identitasnya. Setiap akan membunuh, sang penjahat yang menggunakan nama inisial ABC mengirim surat pada Poirot untuk mengumumkan rencana kejahatannya. Dan selama tiga kali pembunuhan itu Poirot selalu gagal mencegah, apalagi mengungkap identitas sang pelaku. ABC membunuh korbannya secara berurutan: Ascher terbunuh di Andover, Betty Barnard terbunuh di Bexhill, dan Charmichael Clarke terbunuh di Churston. Di dekat jenazah korban, selalu ditemukan buku Petunjuk Kereta Api ABC dalam keadaan terbuka menunjukkan lokasi pembunuhan.

Selain dari identitas pembunuh, hal lain yang membingungkan Poirot dalam menyelidiki kasus ini adalah motif. Ketiga korban tampaknya tak saling berhubungan dalam hal apapun. Dengan bantuan rekannya Kapten Hastings (novel ini sebenarnya adalah catatan kasus yang ditulis Kapten Hastings), Poirot mengumpulkan kerabat para korban dan mulai mencari petunjuk tentang identitas ABC. Namun untuk mendapatkannya, Poirot kembali berbenturan dengan teka-teki soal motif.

Bagiku, pencarian identitas dan motif ABC inilah yang membuat Pembunuhan ABC menarik. Tampaknya tak ada petunjuk yang bisa ditemukan dan ketiga orang yang terbunuh juga tak saling memiliki hubungan apapun. Meski demikian, Poirot dengan “sel-sel kelabu”-nya menggali informasi dan mengungkap fakta dari arah yang tidak diduga. Ini yang membuat plot novel ini menjadi menarik untuk diikuti.

Selain bercerita soal penyelidikan Poirot, Kapten Hastings juga menyisipkan cerita tentang seorang bernama Alexander Bonaparte Cust. Cust adalah seorang veteran perang yang pemalu dan sering kali merasa gagal dalam hidupnya. Ia sering dianggap aneh oleh orang-orang di sekitarnya, termasuk pemilik apartemennya. Mengapa Kapten Hastings memberikan cerita soal Cust? Apa hubungannya dengan misteri pembunuhan ABC?

Misteri ABC dan teka-teki soal siapa sebenarnya Cust semakin lama terlihat membingungkan. Tapi pada akhirnya, penyelesaian yang dibawakan Poirot mengungkapkan seluruhnya. Yang jelas, tebakanku tentang siapa pembunuhnya dan siapa Cust ternyata tidak benar.

Sebenarnya misteri yang dibawakan oleh Agatha Christie tidak terlalu istimewa secara penulisan. Pembunuhan ABC sendiri, dan demikian juga karya-karya Christie lainnya, lebih dikenang karena plot-nya ketimbang muatan isinya (misalnya nilai sastra atau kritik sosial). Mungkin kelihatannya sudah jelas untuk sebagian besar pembaca, tapi aku sendiri baru sadar soal ini.

Jadi, kesimpulannya?

tl;dr : Siapapun yang suka cerita misteri atau novel thriller (bukan cerita horor) disarankan buat baca buku ini.

Leave a Comment

Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma

Bisa dibilang, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma adalah karya berlatar penjajahan Jepang yang pertama kali kubaca. Meski kumpulan cerita tulisan Idrus ini tergolong sebagai karya klasik, aku sendiri belum terlalu mengenal pengarangnya. Apalagi, karya-karya dari era Angkatan ’45 memang tidak setenar dan sebanyak angkatan sebelum maupun sesudahnya (Pujangga Baru dan Angkatan ’66). Tentu saja karena pada tahun-tahun itu Indonesia lebih sibuk untuk mempertahankan kemerdekaan daripada mengembangkan sastra.

Buku ini memiliki tiga bagian, yang menceritakan tiga periode yang berbeda di sekitar zaman penjajahan Jepang. Pada bagian Zaman Jepang, Idrus memasukkan cerita Ave Maria dan naskah drama Kejahatan Membalas Dendam. Di bagian ini, Idrus memasukkan unsur-unsur idealismenya, misalnya nasionalisme dan patriotisme yang sangat kentara dalam Ave Maria. Bagian kedua, Corat-Coret di Bawah Tanah berisi beberapa cerita yang intinya menceritakan hal yang serupa: penderitaan rakyat dan kebijakan ketat penjajah Jepang. Bagian ketiga, Setelah 17 Agustus 1945 banyak bercerita soal prahara rakyat Indonesia setelah kemerdekaan.

Semakin mendekati akhir, cerita-cerita Idrus yang semula cerah dan penuh idealisme berubah menjadi gelap dan realistis. Contohnya di cerpen Surabaya yang terletak di bagian akhir. Sebagai orang awam yang hanya tahu sejarah lewat pelajaran sekolah, persepsiku soal perjuangan kemerdekaan benar-benar dijungkirbalikkan. Di sana diceritakan tentang para pemuda yang tidak ragu-ragu menghabisi saudara sebangsanya sendiri karena dianggap mata-mata. Atau tentang kondisi para pengungsi dari perang di Surabaya yang terlunta-lunta, sampai-sampai ada yang harus tinggal di kandang anjing. Walaupun demikian, cerita terakhir Jalan Lain ke Roma kembali lagi ke kesan idealistis yang ada di cerita-cerita awal.
Setelah membaca ini, aku jadi punya banyak pengetahuan baru soal suasana pada masa penjajahan Jepang. Misalnya, tindakan polisi Jepang yang arogan namun terkadang juga manusiawi. Demikian pula kegiatan a la ibu-ibu PKK di perkumpulan Fujinkai yang serbadiatur pemerintah. Kebanyakan cerita mengupas tentang sisi gelap penjajahan Jepang dan penderitaan rakyat pada masa itu. Tidak heran kalau ada ceritanya yang sempat dibredel oleh pihak penjajah. Idrus sendiri juga menceritakan tentang betapa ketatnya kontrol penjajah pada saat itu (maaf, aku lupa di bagian mana).

Oh ya, soal bahasa, buku ini nggak serumit Layar Terkembang apalagi Sitti Nurbaya. Di zaman Jepang, bahasa Indonesia (bukan Melayu) sudah banyak dipakai, jadi ya nggak bakal jauh beda dengan bahasa sekarang.

Jadi kesimpulannya, jangan lewatkan buku ini kalau kalian menemukannya tergeletak. Akan susah mencari buku yang bertema seperti ini, apalagi yang bagus. Karena seperti kubilang tadi, karya-karya yang ditulis dan berlatarkan sekitar zaman Jepang memang tidak banyak jumlahnya.

Leave a Comment
In word we trust