Skip to content

Tag: bukan resensi

Review: Catatan Seorang Demonstran

Catatan Seorang Demonstran
Catatan Seorang Demonstran by Soe Hok Gie

My rating: 3 of 5 stars

Apa yang ada di benak seorang demonstran? Itu pertanyaan yang saya ajukan sebelum membaca buku ini. Selama ini, dalam hemat saya, demonstrasi hanya tindakan sia-sia yang merusak dan tak jarang berbuntut perkara. Apa pikiran yang melandasi tindakan konfrontatif para mahasiswa? Cara terbaik untuk mengenal pemikiran seseorang adalah dengan membaca tulisannya. Oleh karena itu saya mencoba menemukan jawabannya di sini.
Agak kecewa sebenarnya saat saya menemukan bahwa buku ini bukanlah sepenuhnya “catatan seorang demonstran”. Buku ini lebih merupakan sebuah memoar perjalanan hidup Soe Hok Gie, dengan segala kerumitan pikirannya. Bagian yang benar-benar saya suka hanya bab Catatan Seorang Demonstran di mana Soe Hok Gie menuturkan jalannya demonstrasi-demonstrasi tahun 1966 dari sudut pandang mahasiswa.
Tapi sosok Soe Hok Gie sendiri bukannya sosok yang tidak menarik. Sedari kecil dia sudah menolak mentah-mentah pakem keagamaan dan mengikuti sastra dan pemikiran barat. Dia juga mengolok-olok guru bahasa Indonesianya yang dianggapnya tidak mengerti sastra. Di masa mahasiswa, dia adalah seorang idealis tangguh yang benci dengan agenda komunisme. Menjelang akhir hidupnya yang singkat, bisa dikatakan bahwa Soe Hok Gie seorang humanis tulen (bedakan humanis dengan humanitarian) yang menentang segala bentuk militansi.
Walau titik penting buku ini adalah gagasan politiknya, tapi buku ini lebih banyak memuat sisik-melik kehidupan Soe Hok Gie. Soal hidup, cinta, dan aktivitas pecinta alam yang digeluti juga ditulisnya. Semua ini dituliskan dengan pemikiran dan renungan yang dalam sehingga tidak terkesan remeh.
Banyak mahasiswa yang mengaku pernah membaca Catatan Seorang Demonstran tapi banhkan tindakannya amat jauh dari apa yang dicita-citakan Soe Hok Gie. Entah mereka menghayati apa yang dipikirkan Soe Hok Gie dengan sungguh-sungguh atau hanya sekadar mencari pembenaran untuk berdemo saja.

View all my reviews

Leave a Comment

Review: Jepang: Dulu dan Sekarang

Jepang: Dulu dan Sekarang
Jepang: Dulu dan Sekarang by Taro Sakamoto

My rating: 2 of 5 stars

Pengantar singkat tentang sejarah Jepang mulai Kerajaan Yamato hingga akhir Perang Dunia II. Isinya sendiri cenderung kaku, informasinya diulang-ulang tapi banyak istilah yang sebelumnya tidak dijelaskan. Terlebih, nada buku ini sangat Jepang-sentris karena pengarangnya sendiri orang Jepang. Tapi, pengantar kritis dari Mochtar Lubis bisa dijadikan pegangan agar tidak terlalu terbawa dalam narasi buku ini. Menurut saya, pengantar itu malah lebih penting daripada isi bukunya sendiri.

View all my reviews

Leave a Comment

Review: Chomsky for Beginners

Chomsky for Beginners
Chomsky for Beginners by David Cogswell

My rating: 4 of 5 stars

As a linguistics student, reading about Chomsky reminds me that even a practitioner on the humanities could make a significant contribution on how we run our world. Chomsky’s linguistics (which has thankfully become a standard on how we are doing the discipline) focuses less on describing language phenomena but on explaining things related on how humans are able to use language. He seeks a scientific pursuit of understanding the human language, and so his thoughts on the subject are clear-cut, unlike many philosophers and literary theorists with their obscure jargon and confusing reasoning. His theory on universal grammar sheds light that we humans are endowed with a special ability to create things. Our behaviors are not determined only by our environment. We have the creative ability to do things. And so, in facing our world where injustices prevail and ordinary people are driven out from contributing to their community, we have the means within ourselves to initiate change. The government may deceive us and mislead us, but we can learn about their tricks.

I cannot say whether the book correctly introduces or misrepresents Chomsky’s ideas since I have not read a single book written by him. The way it delivers his massage, though, is engaging and thought-provoking. Language and literature students should try to learn from his example.

View all my reviews

Leave a Comment

Olenka

Di zaman edan ini, kita sudah terlalu banyak melihat orang yang berpura-pura tentang dirinya. Masih ingat kan ibu kita pernah berkata, “Nak, jangan gampang percaya sama orang, apalagi kalau dibaik-baikin“? Bahkan sedari kecil kita sudah diajari untuk meragukan ketulusan orang lain. Tapi nasihat itu sedikit-banyak memang benar. Tempo hari kita dikejutkan dengan ditangkapnya ketua umum salah satu parpol Islam atas tuduhan korupsi. Pamor parpol yang diklaim sebagai satu-satunya parpol berkuasa yang bersih dari korupsi itu langsung hancur.

CCI03032013
Kover Olenka cetakan kesembilan. Cheesy banget, nggak terasa kayak terbitan Balai Pustaka. [gambar sendiri]
Dengan kebohongan dan kepura-puraan yang jadi santapan kita sehari-hari, Fanton Drummond, Olenka, dan Wayne Danton adalah contoh orang-orang yang akan jarang kita temui. Mereka tidak benar-benar ada. Ketiganya hanyalah bikinan penulis Budi Darma lewat novelnya Olenka (Balai Pustaka, 1986). Budi Darma tidak memasukkan satu pun pahlawan dalam ceritanya. Sebaliknya, ketiga tokoh utamanya adalah orang yang menjijikkan: Drummond yang hidupnya diombang-ambing nafsunya akan Olenka, Danton sang sastrawan gagal yang memperlakukan Olenka bak barang kepunyaan, dan Olenka sendiri yang hidup luntang-lantung dan gila lelaki.

Tapi di samping betapa menjijikkannya mereka, mereka punya satu kebaikan yang tak kita punya: kejujuran. Mereka menyadari bahwa mereka adalah orang-orang rusak. Mereka tetap sadar siapa dirinya tanpa harus menutup-nutupinya dengan jubah-jubah status sosial maupun agama. Dalam sebuah bagian, Fanton Drummond membaca petikan Al-Quran surat Al-Baqarah (2):62. Kemudian menjelang ending ia merenung bahwa Tuhan akan meminta pertanggungjawaban atas segala perbuatannya (surat Al-Baqarah (2):284). Ia orang yang menyadari ketuhanan, juga membaca kitab suci. Tapi semua itu tidak dia jadikan alasan untuk menutup-nutupi keburukannya.

Setelah membaca buku ini, kita akan merenungi diri kita sendiri. Sudahkah kita berterus terang terhadap diri kita sendiri?

Ada sekitar 53 catatan kaki di buku ini, hampir semuanya adalah rujukan ke karya-karya sastra Inggris (Budi Darma berlatar belakang pendidikan sastra Inggris). Sebagian lagi berisi pengalaman Budi Darma sendiri yang mengilhami adegan yang ia tulis. Parahnya, catatan-catatan kaki ini tidak ditulis langsung di bawah halaman tapi ditempatkan di sebuah bab tersendiri. Jadi perlu kesabaran ekstra kalau kau mau mengikuti semua catatan kaki yang ada, walau memang tidak wajib.

Jangan harapkan cerita yang runtut dan berkelanjutan dalam Olenka. Sebagian besar isi novel ini menceritakan apa yang terlintas di benak tokoh-tokohnya, dan sangat sedikit bab yang berfungsi untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Bahkan menurutku, plot novel ini cenderung terlalu biasa, apalagi kisah Fanton Drummond ini akhirnya dibiarkan begitu saja tanpa kesimpulan.

Untuk bisa mengerti novel ini secara keseluruhan, kita perlu membaca bab Asal-Usul Olenka yang terletak setelah akhir cerita. Budi Darma menjelaskan mulai dari inspirasi yang membawanya menulis buku ini hingga menjelaskan apa-apa yang terjadi dengan karakter-karakternya.  Lewat buku ini, beliau memang tidak bermaksud menuturkan sebuah kisah. Bahkan, mengutip salah satu sastrawan Inggris, beliau menuturkan, “Most of our lives is so dull.” Sebagian besar hidup kita begitu membosankan. Tapi beliau menandaskan, hal yang terpenting bukanlah kisah hidup kita sendiri tapi bagaimana kita memandang dan merenunginya.

Kutipan ini menurutku adalah pesan terpenting dari novel ini:

Pada hakikatnya, setiap orang adalah seorang Immanuel Kant. Hidupnya terkungkung, tetapi pikirannya berloncatan ke sekian banyak dunia. (Bab Asal-Usul Olenka)

Leave a Comment
In word we trust