Skip to content

Antariksa Akhmadi Posts

Gadis Dandelion – 3

Catatan dikit:

  1. Cerita ini adalah terjemahan serampangan saya dari The Dandelion Girl karangan Robert F. Young. Aslinya ini bukan cerita bersambung, tapi untuk mengurangi prokrastinasi saya memecahnya jadi enam bagian. Selain itu, cerita ini diterjemahkan bersambung biar yang baca penasaran supaya saya juga terpacu untuk menyelesaikan.
  2. Seperti yang sudah dibilang tadi, ini terjemahan serampangan. Akan banyak perbedaan diksi dan gaya bahasa antara terjemahan ini dengan cerita aslinya. Maklum masih amatiran. Jadi, tolong kasih saran dan kritik, ya. 😉
  3. Bagian-bagian lain dari terjemahan ini:
    Bagian 1

    Bagian 2
    Bagian 3
    Bagian 4
    Bagian 5-6

Pada sore hari yang kedua, gadis itu mengenakan gaun biru dengan seutas pita kecil sewarna yang diikatkan pada rambut berwarna dandelionnya. Setelah mendaki bukit, Mark berdiri sebentar menunggu kerongkongannya tak lagi terasa tercekat sebelum berjalan menghampiri gadis itu, menemaninya menyapa angin. Tapi, lekuk leher dan dagu gadis itu membuat kerongkongannya kembali terasa sesak. Gadis itu berbalik dan menyapa, “Halo, saya tidak menyangka Anda akan datang ke sini,” tapi Mark terdiam cukup lama sebelum dapat membalasnya.

“Toh aku datang juga,” akhirnya Mark berkata. “Begitu pula kamu.”

“Benar,” kata gadis itu. “Saya senang.”

Sebongkah batuan granit yang ada di situ membentuk semacam bangku. Mereka berdua duduk di situ dan memandang hamparan yang ada di depan mata. “Ayah saya juga merokok,” gadis itu berujar, “dan saat beliau menyalakannya, ayah mencungkupkan tangannya seperti Anda meski tidak ada angin bertiup. Kalau dilihat-lihat, ayah dan Anda tampak sama.”

“Coba kamu ceritakan soal ayahmu,” kata Mark. “Ceritakan dirimu juga.”

Gadis itupun bercerita. Usianya 21 tahun. Ayahnya seorang pensiunan fisikawan pemerintah. Mereka berdua tinggal di apartemen kecil di Jalan 2044. Dia sendiri berada di rumah untuk membantu ayahnya sejak ibunya wafat empat tahun silam. Setelah itu, Mark bercerita tentang dirinya, juga tentang Anne dan Jeff. Ia juga mengatakan bahwa ia ingin Jeff nanti bisa bermitra dengannya nanti. Begitu pula ia bercerita tentang Anne yang fobia dengan kamera dan selalu menolak difoto, bahkan saat hari pernikahannya, dan juga tentang liburan yang ia habiskan dengan anak dan istrinya dengan berkemah pada musim panas kemarin.

Seusai Mark bertutur, gadis itu berkata, “Senang sekali punya keluarga seperti Anda. Pasti menakjubkan hidup di tahun ’61!”

”Dengan mesin waktumu, kamu bisa pindah ke sini kapanpun kamu mau.”

”Tidak semudah itu. Kalaupun saya tega meninggalkan ayah, saya tetap masih harus berurusan dengan polisi waktu. Begini, Pak, perjalanan melintas waktu hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang melakukan ekspedisi sejarah yang direstui pemerintah. Orang biasa tidak boleh melakukannya.”

”Kamu kelihatannya baik-baik saja.”

“Itu karena ayah saya menciptakan mesin waktu sendiri di luar pengetahuan polisi waktu.”

”Tapi, berarti kamu tetap melanggar hukum, bukan?”

Gadis itu mengangguk. “Hanya saja, itu pelanggaran di mata mereka saja, berdasarkan konsep mereka tentang waktu. Ayah saya punya konsep sendiri.”

Rasanya menyenangkan sekali melihat dirinya bicara sampai-sampai apa yang dia bicarakan seolah tak begitu penting. Mark ingin dia berbicara terus, sejauh apapun topik yang dibicarakannya. “Coba ceritakan aku soal itu,” kata Mark.

“Saya ceritakan dulu konsep versi pemerintah. Orang-orang yang mendukungnya berkata bahwa tidak ada seorangpun dari masa depan yang boleh terlibat dalam apapun yang terjadi di masa lalu, sebab keberadaannya akan menimbulkan paradoks. Kejadian-kejadian di masa depan harus diubah agar paradoks tersebut bisa terselesaikan. Oleh karena itu, Departemen Perjalanan Waktu memastikan agar yang bisa mengakses mesin-mesin waktunya hanyalah orang-orang yang diizinkan. Mereka juga punya polisi yang bertugas untuk mengamankan orang-orang yang ingin kembali ke masa lalu mencari kehidupan yang lebih mudah dan orang-orang yang mengaku menjadi sejarawan agar bisa kembali selamanya ke zaman yang berbeda.

“Namun, menurut konsep ayah saya, kejadian sepanjang sejarah sudah tertulis dalam suatu kitab waktu. Dari sudut pandang yang luas, kata ayah saya, semua yang akan terjadi sebetulnya sudah terjadi. Maka, ketika seorang dari masa depan terlibat dalam kejadian masa lalu, dia menjadi bagian dari kejadian itu—sudah sejak awal dia memang seharusnya ada di situ—dan dengan begitu tidak akan ada paradoks.

Mark menghirup dalam-dalam pipanya. Dia membutuhkannya. “Ayahmu sepertinya orang yang lumayan menarik,” katanya.

“Itulah beliau!” Antusiasme Julie semakin meronakan merah pipinya, mencerahkan biru matanya. “Anda tak bisa membayangkan berapa banyak buku yang sudah dia baca, Pak Randolph. Wah, apartemen kami punya banyak sekali buku! Mulai dari Hegel, Kant, dan Hume; Einstein, Newton, dan Weizsacker. Saya bahkan sudah membaca sendiri beberapa di antaranya.”

“Saya juga cukup suka mengumpulkan buku-buku.”

Gadis itu segera melihat wajahnya. “Hebat sekali, Pak Randolph,” katanya. “Saya rasa kita kurang-lebih punya minat yang sama!”

Percakapan-percakapan selanjutnya memang menunjukkan bahwa mereka berdua bisa saling memahami topik pembicaraan satu sama lain, meski topik-topik seperti estetika transendental, Berkeleianisme, dan relativitas tidak umum dibicarakan seorang pria dan seorang gadis di atas bukit di bulan September, apalagi ketika sang pria sudah menginjak usia empat puluh empat sementara sang gadis baru beranjak dua puluh satu. Begitulah pikir Mark. Tapi tetap saja ada hal-hal menyenangkan yang bisa diperoleh dari situ. Perbincangan hangan mereka soal estetika transendental bukan saja memendarkan kesimpulan a priori maupun a posteriori, namun juga memendarkan bintang-bintang teramat kecil di mata gadis itu. Penjelajahan mereka tentang Berkeley tidak hanya menunjukkan kelemahan mendasar dari teori biarawan itu, namun juga menunjukkan rona muda di pipi gadis itu. Demikian juga diskusi mereka tentang relativitas tidak hanya mendemonstrasikan bahwa E tidak lain dan tidak bukan sama dengan mc2. Diskusi mereka juga menunjukkan bahwa pengetahuan bukanlah suatu cacat, malah malah menjadi penunjang pesona seorang perempuan.

Suasana hati yang timbul dari percakapan itu membekas lebih lama daripada sewajarnya, dan suasana hati itu masih dibawa Mark ketika ia naik ke atas ranjang. Saat ini, dia bahkan tidak berusaha berpikir tentang Anne. Dia tahu bahwa itu tidak akan baik buatnya. Alih-alih itu, dia berbaring begitu saja di kegelapan dan mengundang pikiran acak apapun yang singgah—semua pikiran itu tidak berkisar jauh dari suatu puncak bukit di bulan September dan seorang gadis dengan rambut berwarna dandelion.

Hari sebelum kemarin, saya melihat seekor kelinci. Kemarin, seekor rusa. Hari ini, Anda.

Leave a Comment

Memento Mori

Saat pertemuan pertama kelas sejarah kelas XI dulu, sang guru berbicara panjang lebar tentang sejarah kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia. Entah mengapa tiba-tiba topik pembicaraan (ceramah, sih, lebih tepatnya) berbelok ke seputar sejarah dunia. Saat sedang menerangkan sejarah abad pertengahan secara garis besar, beliau menyebut frasa yang tidak saya sangka-sangka: memento mori.

Bukan, bukan memento mori yang itu.
Leave a Comment

Logika Berpikir, Memangnya Kenapa Dipikirin?

Kita sering mendengar kata logika. Biasanya sih, orang terutama yang masih muda memakai kata logika untuk menjelaskan perbedaan cowok dan cewek. Cowok digambarkan sebagai makhluk yang berlogika, sementara cewek merupakan makhluk yang minim logika dan cenderung “main perasaan”. Benarkah demikian? Agnes Monica dalam salah satu lagunya membawakan lirik, “Cinta ini kadang-kadang tak ada logika.” Yah, kalau perbedaan di atas dipakai berarti bisa kita simpulkan cowok nggak bisa jatuh cinta, dong. Tentu saja ada yang salah di sini.

Kalau kita mau sedikit mengamati, sebenarnya logika itu ada hubungannya dengan bahasa. Kok bisa begitu? Coba perhatikan orang gila di sekitarmu, atau kalau tidak ada coba bayangkan saja. Orang yang gila tentu bicaranya akan tidak teratur dan tidak bisa dipahami. Kita bisa menyebut orang gila sebagai orang yang lemah akal, atau juga bisa dibilang lemah logika. Jan Hendrik Rapar dalam bukunya Pengantar Logika menandaskan bahwa logika adalah alat berbahasa. Menyusun kata-kata, menyampaikan pikiran dalam lisan dan tulisan, semuanya tidak lepas dari logika. Beberapa kasus medis menunjukkan bahwa orang yang mengalami kerusakan pada bagian otaknya yang mengatur berpikir logis akan mengalami masalah berbahasa. Oleh karena itu, kayaknya kita perlu pertanyakan lagi pembedaan cewek dan cowok atas dasar logika, apalagi buat yang cewek. Memangnya pada mau disamain kayak orang gila atau pengidap gangguan otak?

Dalam pengertian ilmiahnya, logika merupakan seni dan ilmu untuk berpikir secara tepat dan mencapai kesimpulan yang benar. Logika pada umumnya berkutat pada pernyataan-pernyataan yang disusun untuk membentuk sebuah argumentasi. Tidak seperti pengertiannya dalam konteks sehari-hari, dalam logika yang disebut argumentasi adalah proses menunjang pendapat kita dengan alasan-alasan.

Dalam filsafat, adanya logika menjadi penting sekali karena filsafat pada intinya adalah serangkaian argumentasi dari berbagai macam tokoh. Seringkali pendapat para filosof menuntut kemampuan menalar dan daya imajinasi abstrak yang tinggi. Oleh karena itu, untuk memahaminya dibutuhkan logika berpikir yang baik. Jika penalaran logis dapat kita kuasai, maka kita tidak akan kebingungan atau malah “tersesat” dalam menghadapi argumentasi-argumentasi filsafat yang acapkali membingungkan.

Untuk lebih jelasnya, mari kita simak beberapa konsep dalam logika, seperti yang terpapar berikut ini:

  1. Argumentasi adalah serangkaian pernyataan yang digunakan untuk mendukung sebuah pendapat atau ide
  2. Argumentasi terdiri dari dua bagian, yaitu premis dan kesimpulan
  3. Kesimpulan merupakan sebuah pernyataan yang dicapai dengan jalan pernyataan-pernyataan lainnya
  4. Pernyataan-pernyataan yang dipakai dalam argumentasi dan penarikan kesimpulan disebut sebagai premis
  5. Premis dan kesimpulan dapat dibenarkan jika ia memiliki dua syarat:
    1. Bentuknya valid. Contoh: “Manusia berjalan dengan dua kaki. Andi manusia. Maka, Andi berjalan dengan dua kaki,” merupakan argumentasi yang valid sementara “Semua sapi melenguh. Kambing melenguh. Maka, kambing adalah sapi,” adalah argumentasi yang tidak valid. Dalam hal bentuk, yang diperhatikan adalah cara menalarnya, apakah sesuai ketentuan logika atau tidak.
    2. Isinya benar. Contoh: “Pak lurah adalah seorang laki-laki” adalah pernyataan yang benar sementara “Bu lurah bukanlah seorang perempuan” adalah pernyataan yang salah. Dalam hal isi, yang diperhatikan adalah apakah isi premis atau kesimpulan itu sesuai dengan akal sehat atau tidak.
  6. Argumentasi pada dasarnya terbagi menjadi dua jenis: deduktif dan induktif
  7. Sebuah argumentasi dapat disebut deduktif jika kesimpulannya dibenarkan oleh premis yang benar dan valid. Contoh argumentasi deduktif: “Semua mahasiswa diliburkan. Amir mahasiswa. Maka, Amir diliburkan.” Jika kedua premis (kalimat pertama dan kedua) valid dan benar maka kesimpulan (kalimat ketiga) juga akan benar dengan sendirinya. Argumentasi deduktif sepenuhnya didasarkan pada aturan logika
  8. Sebuah argumentasi dapat disebut induktif jika kesimpulannya didukung oleh premis yang benar dan valid pula. Contoh argumentasi deduktif: “Ayam bernapas. Kucing bernapas. Ikan bernapas. Kodok bernapas. Ular bernapas. Maka, semua hewan bernapas.” Yang membedakan argumentasi induktif dengan deduktif adalah sebanyak apapun premis yang ditawarkan tidak menjamin bahwa kesimpulan akan menjadi benar dengan sendirinya. Jika seseorang memasukkan satu saja premis semisal “Hewan X tidak bernapas” maka argumentasi akan runtuh dengan seketika. Argumentasi induktif tidak terikat pada aturan-aturan logika

Ada kalangan yang berpendapat bahwa inti dari logika adalah membedakan argumen yang baik dengan yang buruk. Filosof dan ahli logika Charles Sanders Pierce menulis, “The central problem of logic is the classification of arguments, so that all those that are bad are thrown into one division, and those which are good into another,” yang berarti, “Masalah pokok logika adalah pemilahan argumentasi, sehingga argumentasi yang buruk akan masuk ke satu kelompok dan argumentasi yang baik ke dalam kelompok lainnya.” Dapat kita simpulkan bahwa setelah mempelajari logika, kita diharapkan untuk dapat membedakan argumentasi mana yang baik dan argumentasi mana yang buruk.

Nah, mungkin sampai di sini akan timbul pertanyaan: argumentasi yang buruk itu seperti apa? Dalam logika, argumentasi yang buruk dikatakan mengandung kesesatan (fallacy) atau sesat (fallacious). Ada dua jenis umum kesesatan, yaitu kesesatan formal dan kesesatan informal. Kesesatan formal menyangkut kesalahan materi dari argumentasi maupun premis, sementara kesesatan informal menyangkut isinya.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering tidak sadar menemukan atau malah menggunakan kesesatan dalam berbicara (berbicara juga dengan sendirinya mengharuskan kita untuk berlogika). Biasanya argumentasi sesat yang ada di kehidupan sehari-hari kita mengandung kesesatan informal. Seperti apa bentuknya? Ini adalah contoh-contohnya:

  1. Berpatokan pada orang
    Contoh: “Kamu itu cuma anak kecil, tahu apa?”
  2. Generalisasi yang tidak matang
    Contoh: “Dalam beberapa tahun ini marak aksi terorisme yang didalangi orang Islam. Maka, semua orang Islam itu teroris.”
  3. Mempertanyakan niat lawan bicara
    Contoh: “Anda ngomong seperti ini pasti karena dibayar sama orang parpol, kan?”
  4. Berpatokan pada akibat
    Contoh: “Jika teori evolusi itu benar, maka kita semua turunan primata. Aku tidak mau dianggap turunan primata. Maka, teori evolusi itu salah.”
  5. Setelah X, maka karena X
    Contoh: “Tadi Sara makan kue coklat, lalu dia diare seharian. Pasti itu gara-gara kuenya.”
  6. Berpatokan pada yang pertengahan
    Contoh: “Orang yang kerjanya berbuat alim terus itu nggak baik, apalagi orang yang kerjanya jelek-jelek melulu. Lebih baik jadi setengah alim, tapi juga agak nakal sedikit juga.”
  7. Dilema palsu
    Contoh: “Jika kamu bukan bagian dari solusi, maka kamu adalah bagian dari masalah.”
  8. “Katanya begini, kan?”
    Contoh: “Semua politikus itu hanya mengumbar janji. Jadi, mendingan kita golput saja (memangnya benar begitu?).”
  9. “Saya salah karena anda salah”
    Contoh: “Dari tadi nyuruh aku belajar, emangnya situ udah?”
  10. Argumentasi tidak nyambung
    Contoh: “Memangnya kenapa kalau aku bilang bumi itu kotak? Mau protes? Cari uang dulu sana baru protes.”

Contoh-contoh di atas itu kelihatannya sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, kan? Rasanya hal yang paling penting yang bisa kita aplikasikan dari logika adalah soal kemampuan untuk mengenali kesesatan-kesesatan berlogika ini. Di televisi, di koran, dan tentunya di belantara internet kita menemukan bermacam-macam opini dan ide-ide yang silang sengkarut. Kadang-kadang kita sampai kebingungan sendiri dalam menanggapinya. Kita mungkin bertanya, “Ini yang mana sih yang bener?” Nah, dengan kemampuan logika dan terutama menganalisis kesesatan berlogika kita dapat lebih arif (ceilah!) dalam menghadapi persoalan yang sedemikian banyak dalam hidup ini.

Jadi, buat apa mikirin logika?

Leave a Comment

Perintah-Perintah yang Tak Masuk Akal

Orang lain itu bodoh, bebal, dan egois.
Namun tetaplah mencintai mereka.

Jika kamu berbuat baik, orang akan menuduhmu punya maksud tersembunyi.
Namun tetaplah berbuat baik.

Jika kamu beroleh keberhasilan, maka kamu akan mendapat kawan palsu dan musuh sejati.
Namun tetaplah meraih keberhasilan.

Kebaikan yang kamu lakukan hari ini akan dilupakan esok hari.
Namun tetaplah berbuat baik.

Berkata jujur dan berterus terang membuatmu rentan.
Namun tetaplah jujur dan terus terang.

Manusia terbesar dengan pemikiran terbesar bisa dijatuhkan manusia terkerdil dengan pemikiran terkerdil.
Namun tetaplah berpikir besar.

Orang membela yang tertindas tapi hanya mau turut yang berkuasa di atas.
Namun tetaplah membela yang tertindas.

Yang kamu bangun selama bertahun-tahun bisa hancur dalam semalam.
Namun teruslah membangun.

Orang lain sungguh perlu ditolong, tapi jika kamu tolong mereka bisa menikammu.
Namun tetaplah menolong orang lain.

Berikan yang terbaik bagi dunia dan kamu akan dihajar habis-habisan.
Namun tetaplah memberi yang terbaik bagi dunia.

Jika yang lebih baik itu mungkin, maka sekadar baik saja tidak cukup.

(The Paradoxical Commandments of Leadership ini diterjemahkan dari KentMKeith.com, dengan tambahan di baris akhir yang didapat dari versi terjemahan lain)

Leave a Comment
In word we trust