Skip to content

Antariksa Akhmadi Posts

Cara Menulis Skripsi yang (Tidak) Baik dan (Tidak) Benar

(Tulisan ini adalah himpunan dari twibung yang sempat kubuat beberapa waktu yang lalu.)

Bukan alay kalau ada orang yang bilang nulis skripsi itu susah, dan memang jangan diremehkan kalau ada yang bilang begini. Nggak sedikit orang yang kena masalah kesehatan mental gara-gara skripsi. Jangan sampe gitu ya, rek.

Nah, untuk itu, mari kita bahas beberapa hal yang harus dihindari (dan jika sudah telanjur terjadi, sebaiknya segera diperbaiki) ketika menulis skripsi. Tentunya karena jurusanku sendiri Sastra Inggris, penjelasannya juga akan berkait dengan skripsi di jurusan ini, walaupun bisa juga digunakan buat jurusan lain (to some extent).

Harapannya, dari penjelasan ini, teman-teman nggak bingung dalam proses menulis skripsi sehingga hasilnya pun bisa sesuai dengan yang teman-teman harapkan. 😉

Oke, mulai ya:

#1 : Nggak tahu kenapa harus nulis skripsi

Buat apa sih susah-susah nulis skripsi? Sejujurnya, boleh aja kita protes begini karena toh di luar negeri sekalipun nggak banyak negara yang mewajibkan mahasiswa S1-nya untuk bikin skripsi.

Tapi karena toh semua akan nulis skripsi pada waktunya, kita harus paham dulu tujuan dari adanya skripsi ini.

My take is, skripsi itu secara umum bisa jadi sarana untuk membuktikan bahwa kita sudah memahami apa yang kita pelajari waktu kuliah.

Pemahaman itu dibuktikan dengan cara menganalisis kejadian yang ada di dunia dengan kacamata disiplin ilmu yang kita geluti. Jangan tanya itu definisi dari mana karena itu buatanku sendiri, tapi rasanya nggak akan bertentangan dengan deskripsi mata kuliah di buku kok hehehe.

Artinya, skripsi yang kita buat jangan sampai keluar dari gambaran di atas. Jangan bikin skripsi yang terlalu teoretis, yang di situ kita munculkan gagasan baru di luar kajian terdahulu. Ini akan menyusahkan kita waktu sidang, dan biasanya dosen pembimbing juga akan mengoreksi kok. Jangan pula bikin skripsi yang susah dikaji secara ilmiah (contoh: pengaruh golongan darah terhadap cara pemerolehan bahasa), apalagi yang di luar materi kuliah.

Intinya sih, jangan nulis dengan pokok bahasan yang “terlalu ilmiah” ataupun “kurang ilmiah”. Tulislah skripsi yang sifatnya deskriptif dan topiknya dekat dengan keseharian aja. Artinya, di situ teman-teman mengamati fenomena terjadi dan menuliskannya sesuai pemahaman yang kalian dapat di materi kuliah.

Akan baik kalau skripsi yang kita tulis itu sesuai dengan minat kita. Lebih bagus lagi kalau sesuai dengan profesi yang ingin kita tekuni di masa depan, walaupun ini juga nggak wajib. Misalnya, kalau nanti pengennya jadi translator, ya bikin aja skripsi tentang perbandingan machine translation dengan terjemahan manual manusia. Kalau kamu pengen jadi copywriter, bikin aja kajian semiotik/SFL/dll. soal media iklan di perusahaan yang bagus.

Itu yang pertama. Jadi teman-teman harus sadar dulu kalau skripsi itu menguji pemahaman kita soal apa yang kita pelajari waktu kuliah. Jadi jangan sampai melenceng dari ini. Lanjut~

#2 : Tidak memilih topik penelitian yang menarik

Despite of what people often say, Sasing itu urusannya bukan cuma bikin puisi atau akting drama-dramanya Syekspir. Banyak sekali yang bisa dikaji. Saking banyaknya, seringkali ada yang bingung soal apa yang mau dijadikan topik.

Nah ini ada hubungannya sama poin pertama tadi. Setelah paham apa yang harus ditulis di dalam skripsi, persoalannya sekarang adalah topik bahasan apa yang menarik buat ditulis di skripsi. Harus menarik dong, karena nanti kita harus mempertahankan hasil kajian kita di depan penguji. Biasanya, kalau sudah tertarik, apa yang kita tulis betul-betul bisa kita pahami.

Terus caranya dapat topik yang menarik buat skripsi gimana? Ada 2 hal yang harus diperhatikan.

Yang pertama, tentu kamu harus tahu dulu minatmu di mana. Nah ini untungnya lagi kuliah di Sasing. Practically anything can be related to what we do in our major, entah itu linguistics, cultural studies, atau literature. Suka sepak bola? Bisa analisis komentarnya Bung Valentino Simanjuntak dari segi pragmatiknya. Suka make up? Bisa analisis tentang perbedaan penguasaan kosakata warna di antara laki-laki dan perempuan. Suka nge-game? Bisa analisis gaya bahasa dalam in-game interaction di antara para pemainnya.

Yang kedua, setelah kamu menemukan hal menarik yang ingin kamu tulis buat skripsi, kamu juga harus bisa memilih konsep dan teori apa yang bisa dipakai buat menganalisis kejadian yang ada dalam minatmu itu. Jangan dibalik. Jangan milih konsep/teori/kajiannya dulu sebelum milih objek. Yang ada nanti kalian bakal bingung mencocokkan teori sama objeknya, yang itu baru bisa kalian lakukan setelah mempelajari dari berbagai sumber.

Ini poin bahasan kita selanjutnya.

#3 : Tidak mengenal area kajian yang ditulis di skripsi

Sudah paham tujuan skripsinya, sudah dapat objek, dan sudah nemu teori yang bisa dipakai. Nah, sering ada yang pada akhirnya nggak bisa menulis dengan lancar karena kurang paham dengan batasan-batasan kajian mereka.

Misalnya, ada yang mau nulis soal code-switching di vlog-nya Sacha Stevenson (contoh ngawur aja ini), tapi sendirinya kurang paham apa sih yang dibahas dalam konsep code-switching itu? Apa bedanya code-switching dengan code-mixing? Biasanya yang begini ini terjadi karena sekadar mencocokkan topik skripsi dengan teori/konsep yang dipakai. Padahal yang juga penting adalah memastikan bahwa kita paham teori/konsep yang nanti dijadikan dasar menulis skripsi.

 

Kalau kita nggak sadar soal ini dari awal, akibatnya kita bakal kebingungan waktu nulis skripsi. Bisa jadi gara-gara ternyata objek yang kita punya susah dijabarkan dengan teori kita. Bisa juga gara-gara dosen pembimbing pun kurang sreg dengan ide yang kita punya.

Nah caranya gimana supaya kita paham landasan teori kita? Ya banyak belajar dong, masak banyak browsing Instagram. Belajar nggak harus lewat buku atau artikel jurnal yang kita dapat di kelas aja, kok. Di internet banyak tutorial soal linguistik, kajian budaya, atau sastra. Malah ada video-videonya juga di YouTube. (Moga-moga nanti bisa bikin postingan soal ini).

Pastikan teman-teman mengumpulkan beberapa catatan dari buku/artikel/video/halaman web yang teman-teman baca, jadi sekalian nabung referensi gitu lah ceritanya.

Jangan cuma sumbernya aja yang dikumpulin, tapi kalau bisa kalian punya catatan mengenai tiap sumber yang isinya rangkuman (kalo ada abstrak ya abstraknya aja di-copas ke catatanmu) sama bagian-bagian menarik yang bisa dimasukkan dalam skripsi.

Lanjut yok.

#4 : Nggak membangun hubungan yang baik dengan dosen pembimbing

Nah ini yang sangat penting. Kayaknya sudah jadi rahasia umum kalau banyak mahasiswa yang punya hubungan kurang harmonis sama dosen pembimbingnya. Entah susah ketemu, entah gak sepakat terus soal skripsinya, banyak lah.

Menurutku sih hal-hal kayak begini muncul karena mahasiswanya cenderung menganggap kalau skripsi itu sama kayak tugas kuliah biasanya, yang tinggal dikerjaiiiin terus sampe selesai.

Padahal, idealnya cara ngerjakan skripsi nggak seperti itu. Aku lebih suka menganggap skripsi itu sebagai tugas kelompok, yang kamu adalah salah satu anggotanya.

Lha terus siapa lagi anggota kelompoknya? Ya dosen pembimbing. 😀 Biasanya ini kelihatan waktu kita nulis artikel jurnal, yang di situ dosen juga dimasukkan sebagai salah satu penulis di samping nama kita.

Nah, sebagaimana “tugas kelompok” pada umumnya, kita juga harus teliti dong dalam menentukan “teman sekelompok” kita. :)) Apalagi “teman sekelompok” ini juga yang berperan dalam menentukan nilai kita. Makanya, pilihlah dosbing yang sesuai dengan kebutuhanmu.

Yang perlu dipertimbangkan bukan hanya soal bidang keahlian dan minat riset dosennya aja, tapi juga cara beliau dalam membimbing. Nah ini yang seringkali kelupaan dalam mempertimbangkan calon dosbing.

Ada dosbing yang dari awal sudah ngasih masukan soal judul apa yang bisa diteliti beserta teorinya. Malah bisa jadi dosen dan rencana skripsinya sudah satu paket. (haha)  Biasanya ini dilakukan oleh dosen yang memang punya kegiatan riset yang perlu melibatkan banyak peneliti.

Ada lagi dosbing yang lebih memosisikan diri sebagai partner diskusi. Jadi waktu bimbingan, kamu harus siap dengan bahan yang mau kamu ajukan, dan harus siap juga didebat sama sang dosbing. Dari situ, harapannya waktu sidang nanti kamu sudah punya kepercayaan diri dan argumentasi yang kuat.

Ada pula dosbing yang lebih berperan untuk ngecek skripsimu, entah itu dari segi bahasa/penulisan atau dari isinya. Selama kamu bisa memakai konsep-konsep dan menjalankan metodemu dengan benar, beliau akan oke-oke saja.

Jadi intinya, bikin pertimbangan yang matang dulu sebelum memilih dosbing, karena ini akan mempengaruhi caramu nulis skripsi nantinya.

Oh ya, jangan nunggu sampai ngisi formulir K08 (pendaftaran mata kuliah Thesis) buat nyari dosbing. Yang lebih bagus, konsultasilah ke dosbing incaranmu dari awal, bahkan kalo bisa sejak kamu ambil matkul proposal/TWD.

Kalo sudah ada komunikasi sejak dini gini, selama mahasiswa bimbingan beliau nggak terlalu banyak, kayaknya bakal lebih gampang buat dapat dosbing yang kalian inginkan.

Ketika sudah dapat dosbing, jangan lupa buat menentukan jadwal bimbingan dan metode bimbingan dengan dosbing dari awal. Misalnya, apakah beliau mau menerima hasil kerjaan kita dalam bentuk print-out atau malah harus via e-mail? Kapan deadline buat menyerahkan draf sebelum bimbingan? Dan sebagainya.Kalau ketentuan udah jelas dari awal, kan nanti sama-sama enak, nggak saling bingung kayak lagi nyari sandal ketuker di masjid~

Next!

#5 : Nggak membuat rencana penulisan yang baik

Nah yang terakhir, tapi juga paling krusial, hati-hati dengan waktu. Skripsi beda dengan mata kuliah lainnya yang punya silabus dan agenda per pertemuan. Dalam menulis skripsi, kamu harus bisa memetakan sendiri apa yang mau kamu kerjakan selama satu semester skripsi.

Artinya, segala macam tetek bengek skripsi sebaiknya sudah kamu pikirkan sejak awal. Berapa kali harus bimbingan? Bulan apa harus ganti bab? Bulan apa semuanya sudah harus jadi?

Kalau teman-teman nggak memperhatikan ini, bisa jadi masalah di belakang waktu mau mengajukan sidang. Entah itu jumlah bimbingannya kurang lah, masih banyak revisi lah, atau malah lupa menuhin syarat ELPT/tes bahasa Inggris yang lain. Bisa-bisa mundur pula nanti sidangnya.

Saranku, supaya teman-teman bisa estimasi waktu dengan baik, bikinlah timeline pengerjaan dari belakang. Ambil satu tanggal yang di situ skripsi harus sudah final dan tinggal di-submit buat mendaftar sidang.

Dari situ, mundur ke belakang. Kapan bab 5 harus selesai revisi? Kapan bimbingannya? Kapan bab 4 harus jadi? Dan seterusnya sampai kamu tiba di tanggal hari ini, atau awal semester lah paling nggak.

Harapannya dengan ada timeline itu teman-teman jadi berkurang takutnya akan skripsi, karena pekerjaan besar itu sudah di-breakdown jadi tugas-tugas yang lebih kecil dan manageable. Lagian ngapain juga takut, toh skripsi ngga makan orang kayak Badut Pennywise~

Satu lagi. Akan bagus kalau kamu bikin presentasi TWD (thesis writing design a.k.a proposal skripsi)/skripsi dulu sebelum ngerjain the real thing-nya. Lho kenapa? PPT yang kamu bikin itu bisa berfungsi sebagai outline, sehingga waktu nulis nanti kamu nggak kehilangan arah atau kebingungan.

Skripsi itu minimalnya aja bisa sampe 50 halaman/14000 kata lho. Makanya kalo nggak ada kerangka berpikir sebelumnya, bisa jadi tulisan kita bakal gak nyambung atau melebar ke mana-mana.

Ini juga bisa jadi semacam persiapan mental dikit-dikit menuju sidang. Kalo kamu udah lihat dan utak-atik PPT dari awal, Insyaallah nggak begitu deg-degan lah nanti waktu ketemu penguji.

Besides, lebih gampang mengembangkan ide-ide dari outline yang kita buat di presentasi ketimbang bikin presentasi dari skripsi kita yang sudah luar biasa panjangnya itu.

Satu lagi yang penting: SIMPEN SKRIPSI KALIAN DI CLOUD STORAGE. Mau di Google Drive, OneDrive, Dropbox, Idup.in, Indowebster, Stafaband, bebas! Asal jangan simpen di hard-disk, apalagi di flashdisk atau HP. Duh, jangan. Ga perlu dijelasin kenapanya kan?

Byuh ternyata panjang juga ya. Kalau ada yang kurang jelas, tanya aja ke saya, jangan nanya ke peramal zodiak atau tarot~

Kalau niatnya bagus dan cara ngerjakannya baik, sebetulnya skripsi itu nggak sesusah itu kok. Moga-moga skripsi teman-teman lancar dan hasilnya bisa memuaskan. Good luck!

Leave a Comment

A Spectator’s Tale: Recap of English Nite Universitas Airlangga Performances 2013-2017

This post is originally written on my LINE timeline. I amended some parts due to the error on my part.

Yesterday marks the fifth time I’ve gone to watch EDSA’s English Nite performance. The first time I went to the event back in 2013 was also the first time English Nite got performed outside campus, which was in the Cak Durasim Theater. I’ve been coming to this event every year since. Now I have graduated from the English Department, I still came to the event yesterday all the same. But that time, I felt that I hadn’t done something I ought to have done all those past years.

To tell you the truth, I’ve been meaning to write about this experience every year. Since I’m no longer a student, I think I have to write this now. I might not be able to write this thing in the future for the next performances, anyway. No one’s been doing this thing either. So, if no one is doing it, I have to do it.

Just a heads up: I’ll go into a rant explaining what I see in each performance and what I think of them. I also added a table displaying features of each production, where they all get similar and where they differ.

Okay, let’s roll.

2013: Sitti

BaSd73mCcAA7KWD.jpg
Source: EDSA Airlangga.
  • As the title suggests, this is all about Sitti Nurbaya. Or… is it?
  • You know the drill about that classic tale. A guy named Samsulbahri fell in love with a girl named Sitti Nurbaya, who happened to be betrothed with an elderly merchant called Datuk Maringgih. Being star-crossed lovers and all that, Samsulbahri tries hard to fight his heartbreak and Sitti struggles against her forced marriage to Maringgih, and in the end both lovers die.
  • The play started ordinarily, with Sitti’s parents betrothing their daughter to Maringgih, against Sitti and Samsulbahri’s wishes to remain together. However, in a twist, Maringgih suddenly allows Sitti and Samsulbahri to marry each other. In secret, he offered a condition to Samsulbahri for this to happen. It turns out that the secret condition is that Samsulbahri has to fulfill the desires of Maringgih, who is found to be homosexual. In the end, due to desperation and jealousy, Sitti kills both her husband and the man who takes him away from her. She then kills herself. The end.
  • That was brilliant, wasn’t it? I still think this is the best story among the others.
  • The execution was also amazing, too. All the music scores and songs delivered by the talents are original. Yes, the stage production team composed all the songs and scores by themselves. This was an achievement that no subsequent productions had matched.

2014: Beast

B3NIS8HCIAElIsM
Source: EDSA Airlangga
  • This was also an adaptation. In fact, we can call it a triple adaptation, since this play was an adaptation of the film Beastly (2011), which is an adaptation of a novel of the same name (published 2007, which in turn is also an adaptation from the French tale The Beauty and the Beast.
  • In this play, though, the story is set in the present time, where the handsome, popular, party animal guy gets cursed by a witch to have a horrendous face. To break free from that curse, the guy must obtain the true love of a girl who can overlook his looks (sorry for the pun). Luckily, the guy with the horrendous look hits up a pretty girl afterwards, after some complications. I couldn’t remember the rest, but in the end the witch gets killed by the girl and the guy’s face returns to normal and the couple returns to a happy relationship. The end.
  • The play was also a musical production, with several characters singing, even though the songs are renditions to existing songs. But, this was still great, and those talents really know how to sing.

2015: Memento Vivere

POSTER COMMERCIAL USE
Source: EDSA Airlangga
  • Of all the English Nite plays, this was the one I remembered least. Sorry. Maybe it’s because I couldn’t remember the story very well. If you happen to know more than I do, I’ll be very happy to hear from you.
  • If I’m not mistaken, the play deals with inconsistent memories and split personalities, borrowing parts of Christopher Nolan’s (you heard it) Memento (2000).
  • In a departure from the previous two productions, there were no musical performances this time.
  • Again, if I’m not mistaken the story is told from the perspectives of two different girls, which at the end is revealed to be the same person. The only part I remember is the final scene, in which the protagonists shoot some guy. Other than that, I really can’t recall.
  • I think the difficulty with this play is that it tries to adapt something that should belong on the screen (all of Nolan’s works are like this, I think). Plays are basically different from cinemas. Since this play deal with memories and thoughts, I think it needs a whole world of innovation to portray such a play in a theatre. And previous experiences don’t seem to support this creative direction.

2017: The Verse

17311185_10208181356802735_79079539620002926_o
Source: EDSA Airlangga
  • This production had to be postponed until 11 March 2017, but when it was performed, the Cak Durasim Theater was in a much better shape.
  • Maybe as a reaction to the previous production, this time the team was determined to present something that can trigger reaction from the audience. They needed a story that the audience can relate to. Originally, the writers intended to put forward an adaptation of Nathaniel Hawthorne’s The Scarlet Letter. However, someone in my class year (2013) had an idea of a storyline about a mother’s sacrifice to her son. Again, the goal was to be relatable, so the writers eventually worked on that idea, resulting in a play entitled The Verse.
  • The Verse, the title I mean, is a reference to W.B. Yeats’ poem The Cloths of Heaven.
  • Alan, the only son of the widowed Petunia, aspires to be a musician. He dreams of having a guitar and enjoying a successful career in a band. However, his family, which now only consists of two people, is not very well off. Alan and his mother have a great deal of argument throughout the play. Long story short, he then meets a girl who later becomes his wife. Later, some friend of his gives him a guitar, which enables him to be active in music. As his mother becomes older and sicklier, Alan enjoys a good life with his wife and his rising career. He is confident with all the work that he puts in. Then, his mother died. It is later revealed to Alan that his mother had been keeping a book, in which she makes a checklist of what her son should achieve in his life. In turns out that every good thing that has ever happened to Alan is due to her hard work in communicating with his future wife and buying Alan a guitar and then asking his friend to give it to him.
  • It’s worth mentioning that among the five English Nite productions, The Verse is currently the only one in which nobody is killed.
  • There were one or two songs performed in this play, all renditions from existing songs.

2017: Left

437590
Source: EDSA Airlangga
  • The second English Nite play in 2017 was performed just yesterday on 11 December 2017.
  • Will, whose mother apparently died from suicide when he was 12, is now living only with his father, Ben. His temperament has changed since his mother’s death, and he frequently suffers from episodes of trauma. During a New Year’s Eve party in his campus, he gets to one of those episodes and is helped by Jane, the popular girl. Shortly after, the two get tangled in a relationship. Jane’s friends warn her not to hang out with the mysterious and weird guy. One of Jane’s friends bullies Ben and insults his mother. This triggers Will into having an episode. Will kidnaps the guy and ties him. He intends to kill the guy for making fun of his mother. Luckily, before Will slices the guy’s throat, he is again visited by his mother’s ghost, who reveals that her death is actually not from suicide. Will’s friends, who have known him since children, are beginning to worry about their friend, who don’t talk much to them about his condition. Jane begins to suspect on her own that Will’s mother didn’t die from suicide. She suspects that it’s actually Will that killed his mother. Ben knows about this, and invites Jane to a meeting to discuss the truth. When the two meets, Ben reveals that it is him who has murdered his wife. Not wanting the truth to spread, Ben shoots Jane dead. Will suddenly breaks into the scene, and after finding his girlfriend dead, shoots his dad during one of his traumatic episodes: first on his knee, and then on his chest. Will’s friends, who are worried about their friend not showing up for their appointment together, finds him on the scene. Still in his episode, Will tries to kill his friends before killing himself. Now crying over their dead friend, they don’t realize that Ben is still alive and is rising to get to them. The end.
  • Wew. This play was intense. But what’s making it even more intense is the lights and sound effects. They really built the tension. Props to those guys working with those.
  • I don’t know about the scriptwriting process, but I suspect that Left is a thinly veiled adaptation of, you guessed it, Shakespeare’s Hamlet. All the ingredients are there: 1) some borderline insane guy gets visited by the ghost of his parent (but it’s the mother who’s dead in this play rather than the father), 2) the main character’s love interest gets sucked into the guy’s dark past and is killed because of it, 3) in the end, all the main characters die (or seem to be), leaving the main guy’s friends to be alive at the scene (for a while, I suppose).
  • Okay, that was just my opinion. Maybe the writer will protest after this.

Now, recapping this recap

enite
Comparison of themes and devices used in EDSA’s English Nite plays

To end this awfully long rant, I have to say that I couldn’t afford to see these performances, who all had endured long periods of rehearsals, preparations, and sacrifices, just end up as mere one-time entertainment pieces.

Theater performances are art works, and the worst thing to happen to art is for it to be forgotten. All art that is forgotten is useless. Therefore, I just want to say that all this English Nite thing is not useless, after all.

Is anyone still there?

Leave a Comment

Dramaturgi XIII: Cerita tentang Omong Kosong

[catatan: belum di-edit betul. mohon masukan pembaca sekiranya ada yang perlu diperbaiki atau bisa ditingkatkan lagi. terima kasih.]

poster dramaturgi.jpg

1. Mukadimah

Malam kemarin saya menonton pentas lakon Matahari di Sebuah Jalan Kecil. Naskah drama Arifin C. Noer ini dibawakan kembali oleh mahasiswa Sastra Indonesia UNAIR di Gedung Cak Durasim, Surabaya, pada 29 Desember 2017. Baru sekali ini saya bisa datang untuk menonton pertunjukan tahunan jurusan Sastra Indonesia yang tahun ini bertajuk Dramaturgi XIII. Seperti bayangan saya, memang dari sisi pelaksanaan dan teknis, drama ini sudah sangat rapi. Aktor-aktornya bisa terdengar jelas meski tidak pakai mikrofon yang ditempelkan ke wajah. Kesalahan teknis seperti nyala lampu, tata suara, dan lain-lainnya juga bisa dibilang nihil. Saya bisa saja berkomentar soal bagaimana pembawaan aktor dalam menghantarkan naskah yang umurnya sudah puluhan tahun itu. Namun, hemat saya, sebetulnya sudah tidak ada yang perlu ditanggapi lagi. Yang membuat saya berpikir adalah isi drama itu sendiri.

2. Ini cerita tentang apa?

Matahari di Sebuah Jalan Kecil banyak berbicara soal kejujuran. Pasal ceritanya sebetulnya sederhana: ada pemuda yang makan nasi pecel lalu tidak bayar. Katanya, uangnya ketinggalan di rumah, yang katanya masih dekat situ. Orang-orang yang bekerja di pabrik es dekat lapak simbok penjual nasi pecel kemudian ramai-ramai menginterogasi si pemuda ini. Betulkah pemuda ini memang penduduk kampung? Saat ditanyai, ternyata dia tidak bisa menjawab. Akhirnya dia dianggap berbohong dan dipaksa untuk membayar. Karena memang pemuda itu saat itu tidak membawa uang, akhirnya dilucutilah baju yang dia kenakan dan diserahkan kepada simbok penjual nasi pecel sebagai jaminan. Si pemuda bisa pergi untuk mengambil uangnya. Saat semua orang di pabrik kembali bekerja, tinggallah si pemuda yang telanjang dada dan simbok penjual nasi pecel. Tiba-tiba si pemuda menangis sambil bercerita bahwa dia datang dari desa untuk mencari kerja. Sama sekali tidak ada niat dia untuk berbohong. Simbok terenyuh juga mendengar tangisan ini, dan teringat anaknya yang dipenjara karena jadi pencuri motor. Akhirnya dia percaya bahwa pemuda ini adalah orang yang jujur dan diserahkannya kembali baju si pemuda. Setelah si pemuda pergi, datanglah petugas ronda yang sedang mencari maling. Setelah menyimak ciri-ciri yang disebutkan tukang ronda, barulah simbok sadar bahwa orang yang tadi ditolongnya adalah seorang maling. Ternyata, ia memang pembohong.

Lakon Arifin C. Noer menggambarkan tekanan dan masalah yang dialami Indonesia lewat karakter-karakternya, tidak terkecuali Si Pemuda. Mochtar Lubis, beberapa tahun setelah ditulisnya lakon ini, berpidato soal sifat-sifat bangsa Indonesia. Sifat yang pertama disebut adalah hipokrit alias munafik. Tersebab dijajah bangsa lain, orang Indonesia banyak yang belajar tidak jujur dengan menjilat penguasanya atau menilap uang negara sehingga mereka bisa bertahan hidup. Si Pemuda, dengan kepandaiannya menipu orang banyak dan mempermainkan perasaan Simbok Penjual Nasi Pecel, merupakan contoh ideal dari manusia Indonesia yang munafik ini. Agar bisa makan, dia gunakan kepandaiannya membohongi. Sekarang pun kita bisa melihat kebohongan ini. Pejabat pura-pura sakit supaya tidak dipenjara. Pedagang mencurangi timbangan supaya untungnya bertambah. Pengemis pura-pura terluka dan berdandan tak terurus supaya dikasihani. Sampai hari ini, betullah bahwa orang Indonesia masih akrab dengan sifat munafik.

dramaturgi xiii

3. Kebohongan dan omong kosong

Saat Si Pemuda mengaku uangnya tertinggal, Simbok tidak lantas percaya. Katanya, dia sudah kapok dibohongi seperti itu. Barulah waktu Si Pemuda sudah bertelanjang dada dan menangis sambil mengaku mencari kerja Simbok jadi terenyuh. Dua kali Si Pemuda berkata tidak benar. Tapi, Si Pemuda hanya berbohong di awal. Waktu “mengaku” itu, dia sudah bukan berbohong lagi. Kok bisa?

Ada dua jenis perkataan tidak benar: kebohongan dan omong kosong. Harry Frankfurt, seorang filosof berkebangsaan Amerika, berpendapat bahwa seseorang dikatakan berbohong (lying) jika tujuannya adalah menutupi suatu kebenaran. Sementara itu, orang yang mengeluarkan omong kosong (bullshit) sudah tidak peduli lagi pada kebenaran. Yang penting adalah kata-katanya bisa menarik orang lain.

Nah, inilah mengapa saya bilang Si Pemuda hanya berbohong sekali. Saat ia bilang uangnya ketinggalan dan rumahnya ada di dalam kampung, ia menutupi kebenaran bahwa dirinya sebetulnya tak punya uang dan bukan penduduk kampung. Ini dia lakukan supaya terhindar dari amuk para pekerja pabrik. Namun, saat semua pekerja pergi, dia berusaha memancing rasa iba Simbok dengan bercerita soal asal-usulnya. Di sini, dia sudah tidak lagi peduli soal benar atau salah. Yang penting, dia bisa pergi tanpa membayar nasi pecel santapannya dengan membawa kembali bajunya yang dijadikan jaminan.

4. Matinya kata-kata

Apa akibatnya kalau banyak orang munafik yang berujar omong kosong? Orang akan susah untuk membangun rasa percaya. Saat semua orang mengaku anti-korupsi, kita tidak akan tahu bedanya mana yang jujur dan mana yang maling duit rakyat. Saat sebagian orang dituduh menistakan agama dan sebagian lagi dituduh membohongi orang pakai ayat kitab suci, kita akan bingung bagaimana beragama dengan benar. Saat semua orang berkata cinta dan sayang, kita tak tahu lagi mana yang tulus dan mana yang bermanis mulut.

Akhirnya, kita tak bisa lagi saling percaya. Hilang sudah rasa empati dalam hati kita, sebab ketika kita merasa kasihan kita juga curiga bahwa orang lain hanya pura-pura saja. Saat orang datang minta-minta, kita ragu-ragu mengeluarkan uang sebab kita pernah membaca berita soal pengemis yang hanya berakting miskin tapi kedapatan punya motor sport di rumahnya. (Ini betul ada, sumbernya ada di bawah.)

Bahkan, bisa jadi hilang pula kecenderungan kita untuk setia pada kebenaran. Bagaimana tidak? Setiap hari kita dibombardir dengan omong kosong dari orang-orang munafik yang sudah tidak lagi peduli mana yang benar dan mana yang salah.

Tak mudah memang mengetahui isi hati orang, kalau tidak mau dibilang mustahil. Sebab, kita tak punya cara untuk langsung mengerti jalan pikiran dan perasaan satu sama lain. Kita hanya bisa bertukar gagasan lewat bahasa, lewat tuturan dan tulisan, lewat kata-kata. Semakin banyak omong kosong yang kita terima, semakin tidak yakinlah kita dengan kebenaran kata-kata yang dituturkan orang lain. Kita tidak bisa membedakan antara kabar benar dan berita palsu. Inilah mengapa omong kosong berbahaya buat kita.

5. Kejujuran Pengarang dan Kita

Matahari di Sebuah Jalan Kecil adalah karya Arifin C. Noer yang terbilang klasik dan banyak dipentaskan. Cari-cari saja videonya di YouTube. Namun, beliau sebetulnya lebih terkenal sebagai seorang sineas, terutama karena salah satu filmnya yang sangat terkenal dan masih banyak diperbincangkan sampai sekarang. Saya yakin teman-teman sudah pernah menontonnya. Judulnya Pengkhianatan G30S/PKI. Gara-gara film inilah orang sampai sekarang masih fobia dengan PKI dan komunisme, padahal negara-negara komunis saja sudah runtuh atau berpindah haluan. Film ini juga menjadi cerita sejarah versi Orde Baru, yang di dalamnya Pak Harto dielu-elukan dan Bung Karno disalahkan karena lalai terhadap PKI. Tidak sedikit yang menuding Arifin C. Noer turut serta menyebarkan kebohongan sejarah. Sayangnya, ini berlawanan dari pesan yang beliau sampaikan di naskah drama Matahari.

Lakon Matahari (1963) memang ditulis jauh sebelum film Pengkhianatan (1984). Keduanya diciptakan di bawah dua rezim yang berbeda (yang satu zaman Bung Karno, satunya zaman Pak Harto). Kita tidak tahu apakah beliau sadar bahwa ada kekeliruan dalam film garapannya. Menurut sebagian berita, beliau mengaku kaget saat film Pengkhianatan dijadikan tontonan wajib dan pada akhirnya menjadi karya propaganda. Barangkali beliau tahu soal beberapa hal yang salah dalam filmnya, namun terpaksa diam mengingat kondisi zaman itu. Kalau sudah begitu, masih layakkah kita berdiskusi tentang drama beliau yang berkisah soal kejujuran?

Tentu saja! Kita tentu sepakat bahwa manusia hendaknya berkata jujur. Lalu, adakah dari kita yang seumur hidup tidak pernah berbohong, tidak pernah menyontek, tidak pernah berkata yang lain daripada isi kepala kita? Saya yakin tidak. Namun, justru di situlah kita harus makin ingat pentingnya bersikap jujur, bahkan pada saat kita terpaksa menyampaikan hal yang tidak benar seperti Arifin C. Noer. Kita mesti berusaha sesetia mungkin kepada kebenaran, bahkan sekalipun kita tahu bahwa banyak penipu dan pembohong di sekitar kita. Jangan sampai mata hati kita dikaburkan oleh kebohongan dan omong kosong.

Referensi

Arifin C. Noer. Matahari di Sebuah Jalan Kecil. Berdasarkan laman http://naskahdramapbsi.blogspot.co.id/2012/11/lakon-matahari-di-sebuah-jalan-kecil.html

Indria Ambarwati. 2014. Citraan dalam Naskah Drama Matahari di Sebuah Jalan Kecil Karya Arifin C. Noer. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Mochtar Lubis. 1977. Manusia Indonesia. Ceramah di Taman Ismail Marzuki. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia.

Harry Frankfurt. 2005. On Bullshit. https://www.stoa.org.uk/topics/bullshit/pdf/on-bullshit.pdf

Inilah Rumah ‘Mewah’ Pengemis Kakek Winnie The Pooh. 2015. http://surabaya.tribunnews.com/2015/06/17/inilah-rumah-mewah-pengemis-kakek-winnie-the-pooh

Intan Paramadhita. 2007. “Contesting Indonesian Nationalism and Masculinity in Cinema.” Asian Cinema 18(2): 41-61. doi https://doi.org/10.1386/ac.18.2.41_1

Kredit foto

Poster Dramaturgi XIII diambil dari laman Twitter @SasindoUNAIR. Bila kurang berkenan, nanti saya cabut. Foto pertunjukan diambil sendiri. Mohon maaf amatiran.

3 Comments

Review: The Translator’s Invisibility: A History of Translation

The Translator's Invisibility: A History of Translation
The Translator’s Invisibility: A History of Translation by Lawrence Venuti

My rating: 3 of 5 stars

I picked the book on the wrong time. This is supposed to be a very theoretical book on translation studies aimed for advocating for the paradigm of foreignization. I, barely understanding scholarly discussion about translation, was frequently lost inside Venuti’s dense prose and near-eternal paragraphs.

Venuti argued that translators have too long underestimated their own role in shaping history by rendering themselves “invisible” in the translation process. He challenged mainstream idea (or so he said) that a good translation is a translation that does not read like a translation. This acceptance about translation leads to a fluent translation: a translation that is readable but conceals differences between the author’s and the translator’s culture. As a result, readers of the translated work think that they are directly interacting with the author while in fact they are accessing the original work through the ideological lenses of the translator. Venuti condemns this phenomenon as a kind of cultural opression where the author’s deeply-held values are discarded and replaced with the target-language culture’s presuppositions. A notable example is when a Roman text telling intimate interactions between two males was interpreted as homosexual activities in English translation during the Victorian era.

His “call for action” emphasizes the need for translators to preserve some kind of “strangeness” in their translators so that readers realize that they are reading something from a different mind. In some cases, calls like this makes sense since there are many translations that act as though as they are the author’s words in another language rather than the near-original work of the translator, such as the famous Fitzgerald’s “translation” of Omar Khayam’s Rubaiyat. However, in other cases Venuti just seemed to be paranoid of threats of cultural opression and how translators seem to be neglected.

I might need to read this book sometime later after having some good grasp of the fundamental issues in translation studies in order to enjoy the full depth’s of Venuti’s argument.

View all my reviews

2 Comments
In word we trust