Skip to content

Antariksa Akhmadi Posts

Gadis Dandelion – 2

Catatan dikit:

  1. Cerita ini adalah terjemahan serampangan saya dari The Dandelion Girl karangan Robert F. Young. Aslinya ini bukan cerita bersambung, tapi untuk mengurangi prokrastinasi saya memecahnya jadi enam bagian. Selain itu, cerita ini diterjemahkan bersambung biar yang baca penasaran supaya saya juga terpacu untuk menyelesaikan.
  2. Seperti yang sudah dibilang tadi, ini terjemahan serampangan. Akan banyak perbedaan diksi dan gaya bahasa antara terjemahan ini dengan cerita aslinya. Maklum masih amatiran. Jadi, tolong kasih saran dan kritik, ya. 😉
  3. Bagian-bagian lain dari terjemahan ini:
    Bagian 1

    Bagian 2
    Bagian 3
    Bagian 4
    Bagian 5-6

Senyuman gadis itu memberikan kesan bahwa ia tak berharap Mark percaya padanya. Tapi, senyum itu juga seolah mengatakan bahwa lebih baik kalau Mark pura-pura percaya saja. “Berarti itu tahun dua ribu empat puluh satu, bukan?” kata Mark. “Aku rasa tempat ini sudah sedemikian maju saat itu.”

“Oh, tentu saja,” kata gadis itu. “Kota ini sudah jadi bagian kota raksasa yang luasnya sampai ke sana.” Gadis itu menudingkan jarinya ke tepian hutan di bawah mereka berdua. “Jalan 2044 lurus memotong pepohonan mapel itu,” lanjut gadis itu, “dan Anda lihat sarang belalang di sebelah sana itu?”

“Ya,” kata Mark, “saya melihatnya.”

“Di sana ada pusat keramaian baru. Pasar swalayan di sana besar sekali sampai-sampai butuh setengah hari untuk berjalan-jalan di sana. Anda bisa beli hampir semua barang mulai obat sakit kepala sampai mobil balap. Nah, di sebelah pasar swalayan itu, di sekitaran pohon-pohon beech itu, ada toko pakaian yang menjual macam-macam bikinan terbaru desainer terkemuka. Gaun yang saya kenakan ini baru saya beli tadi pagi, lho. Bagus, bukan?”

Kalau memang gaun itu bagus, gadis itulah yang membuatnya demikian. Tapi, Mark mencoba mengamati gaun gadis itu dengan sopan. Kainnya seperti diolah dari bahan yang tidak umum bagi Mark, seolah-olah benangnya dibuat dari campuran kapas, buih lautan, dan salju. Tidak terbatas lagi benang sintetis apa yang bisa dibuat oleh pabrik-benang-ajaib itu, dan nampaknya tidak terbatas pula cerita bualan yang bisa dibuat-buat oleh anak-anak gadis. “Berarti kamu pergi ke sini dengan mesin waktu?” tanya Mark.

“Iya. Ayah saya membuat salah satunya.”

Mark mengamati wajah gadis itu lekat-lekat. Tidak pernah dia melihat raut muka yang sepolos itu. “Kalau begitu, apa kamu sering datang ke sini?”

“ Oh, tentu. Ini adalah koordinat ruang-waktu yang paling saya senangi. Saya kadang berdiri di sini berjam-jam dan melihaaat saja. Kemarin lusa, saya melihat seekor kelinci. Kemarin, seekor rusa. Hari ini, Anda.”

“Tapi, bagaimana bisa ada kemarin,” tanya Mark, “kalau kamu selalu kembali ke waktu yang sama?”

“Oh, tampaknya saya mengerti maksud Anda,” kata gadis itu. “Alasannya: karena mesin waktu terpengaruh jalannya waktu juga, sama seperti yang lain. Jadi, mesin waktu itu harus kita atur lagi setiap dua puluh empat jam kalau kita mau kembali ke koordinat yang sama. Tapi, saya tidak begitu karena saya jauh lebih suka kembali di hari yang berbeda.”

“Ayahmu tidak pernah ikut ke sini bersamamu?”

Di awang-awang, sekelompok angsa terbang perlahan. Gadis itu melihatnya beberapa saat sebelum ia akhirnya berkata, “Ayah saya sekarang tidak bisa berjalan.” Lalu buru-buru ia menambahkan, “Beliau akan sangat senang datang ke sini kalau saja dia bisa. Saya rasa kalau saya ceritakan apa yang saya lihat, tentu juga sama saja dengan beliau datang sendiri. Bukan begitu, Pak?”

Semangat yang terpancar dari pandangan gadis itu menyentuh hati Mark. “Ya, saya rasa begitu,” kata Mark, lalu dilanjutkannya, “Pasti menyenangkan rasanya kalau punya mesin waktu.”

Gadis itu mengangguk takzim. “Itu barang yang dicari orang-orang yang suka menikmati padang rumput. Di abad kedua puluh tiga, padang rumput seperti ini sudah bisa dihitung jari jumlahnya.”

Mark tersenyum. “Di abad ini juga sudah tidak terlalu banyak juga. Bisa dibilang ini semacam barang langka. Aku sendiri tampaknya harus lebih sering datang ke sini.”

“Anda tinggal di dekat sini?” tanya gadis itu.

“Saya menginap di kabin tiga mil dari sini. Sebenarnya saya sedang berlibur, tapi juga tidak bisa dibilang liburan, sih. Istri saya dipanggil untuk bertugas sebagai juri pengadilan, jadi dia tidak bisa ke sini. Karena liburan itu juga tidak bisa saya tunda, jadilah saya seperti Thoreau [seorang pemikir Amerika yang kerap hidup menyendiri – pentj.] begini. Nama saya Mark Randolph.”

“Saya Julie,” kata gadis itu. “Julie Danvers.”

Nama gadis itu cocok dengan dirinya. Sama cocoknya seperti gaun putih di tubuhnya, atau langit biru yang menaunginya, juga bukit dan angin di bulan September ini. Bisa jadi gadis itu tinggal di sebuah rumah kecil dalam hutan, tapi toh itu sudah tidak penting lagi. Jika gadis itu berpura-pura muncul dari masa depan, bukan masalah bagi Mark. Hal yang terpenting untuknya adalah bagaimana perasaannya saat pertama menemui gadis itu, juga kelembutan yang mendatanginya tiap kali ia memandang wajah gadis itu. “Pekerjaanmu apa, Julie?” tanya Mark. “Atau apa kamu masih bersekolah?”

“Saya sedang belajar kesekretariatan,” kata gadis itu. Ia setengah melangkah, berputar seperti orang menari balet, lalu melipat kedua tangannya di dadanya. “Saya benar-benar ingin menjadi sekretaris,” lanjutnya. “Rasanya menakjubkan sekali bisa bekerja di kantor besar dan mencatat perkataan orang-orang penting. Anda ingin saya jadi sekretaris Anda, Pak Randolph?”

“Ingin sekali,” kata Mark. “Istri saya dulu juga seorang sekretaris, sebelum zaman perang. Saat itulah kami berdua bertemu.” Ah, mengapa dia bertutur seperti itu? Gumam Mark.

“Apa beliau sekretaris yang baik?”

“Sekretaris terbaik. Sayang juga saya kehilangan dia. Tapi itu baru satu sisi. Di sisi lain, saya mendapatkan dia juga. Saya rasa itu tidak bisa dibilang kehilangan juga, sih.”

“Sepertinya Anda benar. Nah, sekarang saya harus kembali dulu, Pak Randolph. Ayah sudah keburu ingin mendengarkan apa saja yang saya lihat, dan saya juga harus menyiapkan makan malam beliau.”

“Apa besok kamu datang ke sini?”

“Tampaknya begitu. Saya sudah datang ke sini setiap hari. Sampai jumpa lagi, Pak Randolph.”

“Sampai jumpa, Julie,” katanya.

Ia melihat gadis itu menuruni bukit dan menghilang ke dalam rerimbunan pohon mapel, tempat Jalan 2404 akan berada 240 tahun lagi. Mark tersenyum. Anak yang menawan, pikirnya. Rasa kagum yang tak tergantikan dan antusias dalam hidup yang dirasakannya benar-benar mendebarkan. Dia betul-betul menikmati perasaannya itu sebab ia selama ini tak pernah merasakannya. Di umur 20, ia menjadi pemuda serius yang berusaha lulus dari sekolah hukum. Di umur 24, dia sudah membuka praktiknya sendiri, yang meskipun kecil toh sudah sepenuhnya membuat dirinya sibuk. Yah, tidak sepenuhnya juga.

Ketika ia menikah dengan Anne, untuk sementara waktu mencari nafkah nampaknya tidak terlalu penting. Lalu perang meletus, dan dan masa-masa itu nampaknya semakin panjang. Rasa-rasanya mencari nafkah itu sesuatu yang tidak jamak, bahkan terkadang tidak pantas. Saat perang usai dan ia kembali ke kehidupan biasa, tiba-tiba mencari nafkah itu kembali menjadi sesuatu yang mendesak, diperparah dengan fakta bahwa ia sekarang sudah harus menghidupi istri dan anak laki-lakinya. Sejak saat itu, ia selalu nampak sibuk. Ia hanya berlibur empat minggu sepanjang tahun. Dua minggu dihabiskannya dengan Anne dan Jeff di hotel resor. Sisanya ia habiskan bersama Anne, setelah Jeff kembali berkuliah, di kabin mereka yang terletak di ujung danau. Akan tetapi, tahun ini dia harus menghabiskan dua minggu itu sendirian. Yah, mungkin juga tidak sendirian.

Tanpa sadar, pipa cerutunya sudah mati beberapa saat yang lalu. Ia nyalakan pipanya lagi, ditiupnya dalam-dalam agar tidak diterpa angin. Lalu ia menuruni bukit dan kembali ke hutan untuk berjalan ke kabin. Saat ini, matahari sudah sampai di titik balik selatannya sehingga hari semakin bertambah pendek. Hari ini sudah betul-betul hampir selesai, dan lembabnya malam hari sudah mulai merasuk di udara yang berkabut.

Ia berjalan pelan. Matahari sudah tiba di peraduannya saat ia mencapai danau. Danau itu kecil namun dalam, dan pepohonan melingkari ujung-ujungnya. Sebuah kabin berdiri agak jauh di belakang bibir danau, di antara beberapa pohon pinus. Sebuah jalan yang berkelok menyambungkan kabin itu dengan dermaga kecil. Di belakangnya, terhampar sejalur kerikil yang mengantar menuju jalan tak beraspal yang tersambung pada jalan besar. Sebuah mobil station wagon terparkir di pintu belakang, siap untuk mengantar Mark kapan saja kembali ke peradaban.

Ia menyiapkan makan malam yang sederhana di dapur lalu menyantapnya, setelah itu ke ruang tengah untuk membaca. Suara generator di rumah itu berderum nyala dan mati, tapi selain suara itu tidak ada lagi suara-suara yang biasa didengarkan oleh manusia modern. Mark mengambil sebuah antologi puisi Amerika dari rak buku yang cukup berisi di dekat perapian, lalu duduk dan membuka Senja di atas Bukit. Ia baca puisi kesayangannya itu tiga kali, dan tiap kali membacanya ia memandang gadis itu berdiri di tengah sinar matahari dengan rambutnya yang tergerai bebas serta gaunnya yang berkibar selembut salju pada kakinya yang panjang dan jenjang. Seperti ada gumpalan yang mencekat kerongkongannya, gumpalan yang tak bisa ia telan.

Mark mengembalikan buku itu ke rak lalu keluar dan berdiri di teras yang tampak lapuk. Ia lalu mengisi dan menyalakan pipanya. Ia memaksa pikirannya untuk memikirkan Anne. Pikirannya saat ini tertuju pada wajahnya –dagunya yang tegap tapi lembut, matanya yang hangat dan penuh kasih saying walau tampaknya ada rasa takut di dalamnya yang tak bisa ditebak Mark, pipinya yang senantiasa halus, dan senyuman manisnya—semua sifat ini diperkuat lagi dengan rambutnya yang coklat terang dan perawakannya yang tinggi menawan. Selalu saja saat Mark berusaha mengingat dirinya, ia selalu kagum pada keawetmudaan istrinya itu, dan takjub betapa kecantikannya itu tampak sama rupanya selama bertahun-tahun, persis seperti pada saat suatu pagi ketika wanita itu menatap dengan sedikit terkejut dan berdiri malu-malu di hadapan meja kerjanya. Tidak terbayang bahwa hanya berselang dua puluh tahun kemudian ia setengah mati menanti janji dengan seorang gadis pengkhayal yang sebenarnya lebih pantas untuk menjadi putrinya. Tidak, dia tidak sedang menanti-nanti… tidak juga. Sekejap itu ia limbung—hanya sekejap saja. Untuk sesaat, Mark kehilangan keseimbangan emosinya, dan ia terguncang. Sekarang kakinya sudah menopang dirinya sebagaimana mestinya, dan bumi ini sudah kembali berputar sesuai kodratnya.

Mark mematikan pipanya dan kembali ke dalam. Di kamar tidurnya, ia melepas pakaiannya, membungkus tubuhnya dengan selimut, lalu mematikan lampu. Seharusnya dengan mudah ia dapat tertidur, tapi tidak begitu. Dan begitu ia dapat terlelap, kelelapan itu datang sedikit demi sedikit bersama dengan mimpi-mimpi yang menggoda.

“Kemarin lusa, saya melihat seekor kelinci,” begitulah gadis itu berkata, “Kemarin, seekor rusa. Hari ini, Anda.”

(bersambung)

9 Comments

Gadis Dandelion – 1

Catatan dikit:

  1. Cerita ini adalah terjemahan serampangan saya dari The Dandelion Girl karangan Robert F. Young. Aslinya ini bukan cerita bersambung, tapi untuk mengurangi prokrastinasi saya memecahnya jadi enam bagian. Selain itu, cerita ini diterjemahkan bersambung biar yang baca penasaran supaya saya juga terpacu untuk menyelesaikan.
  2. Seperti yang sudah dibilang tadi, ini terjemahan serampangan. Akan banyak perbedaan diksi dan gaya bahasa antara terjemahan ini dengan cerita aslinya. Maklum masih amatiran. Jadi, tolong kasih saran dan kritik, ya. 😉
  3. Bagian-bagian lain dari terjemahan ini:
    Bagian 1

    Bagian 2
    Bagian 3
    Bagian 4
    Bagian 5-6

Gadis Dandelion

Robert F. Young

Gadis yang berdiri di bukit itu mengingatkan Mark pada Edna Saint Vincent Millay. Barangkali karena caranya berdiri di tengah matahari senja dengan rambutnya yang berwarna kuning dandelion. Barangkali pula karena gaun putihnya yang ketinggalan zaman itu menari-nari di sekitar kakinya yang panjang semampai. Bagaimana pun juga, ia merasa seolah-olah gadis itu telah muncul dari masa lampau. Dan anehnya, seperti nanti akan ia ketahui, gadis itu rupanya tidak muncul dari masa lalu melainkan masa depan.

Ia berdiri beberapa langkah di belakang gadis itu sambil tersengal-sengal karena lelah mendaki bukit. Gadis itu belum melihatnya, dan ia berpkir keras bagaimana cara untuk menghampiri tanpa harus membuat gadis itu terkejut. Sembari berpikir, ia mengeluarkan pipa rokoknya lalu mengisi dan menyalakannya. Tangannya memegang ujung pipa dan ditiupnya hingga tembakau dalam pipa itu merah menyala. Waktu ia memandang gadis itu lagi, rupanya gadis itu telah berbalik dan memandang dirinya keheranan.

Perlahan ia berjalan mendekati gadis itu sembari menikmati langit yang terlihat amat dekat dekat, juga angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya. Harusnya aku lebih sering pergi mendaki bukit, katanya pada dirinya sendiri. Ia sudah menerobos hutan untuk sampai di atas bukit, dan sekarang hutan itu menghampar di belakangnya. Daun-daun pepohonan yang merah pucat di awal musim gugur ini membuat hutan itu terlihat seperti lautan api. Di balik hutan itu ada danau kecil lengkap dengan sebuah rumah kabin dan dermaga. Setelah istrinya dipanggil untuk melaksanakan tugas juri di pengadilan, di tempat itulah ia terpaksa menghabiskan sisa dua minggu libur musim seminya sendirian. Siangnya ia memancing di dermaga dan malamnya ia habiskan untuk duduk membaca buku di sisi perapian besar dalam kabinnya. Selang dua hari, ia sudah merasa bosan dan memutuskan untuk pergi memasuki hutan tanpa arah dan tujuan, hingga ia sampai ke atas bukit dan melihat gadis itu.

Mata gadis itu biru, sama birunya dengan langit yang melatarbelakangi tubuh semampainya. Wajahnya lonjong, muda, halus lagi manis. Ia tiba-tiba merasa terserang deja vu, sampai ia harus menahan diri untuk tidak meraih dan menyentuh pipi gadis itu. Meski ia urung berbuat begitu, jari-jarinya tetap terasa kelu.

Huh, umurku empat-empat, pikirnya. Dan dia tak mungkin lebih dari dua puluh. Demi apa dia datang ke sini? “Kau suka pemandangannya?” ia bertanya dengan suara yang terang.

“Oh, iya,” jawabnya sambil berbalik dan mengayunkan kedua tangannya dengan girang. “Menakjubkan sekali, bukan?”

Ia mengikuti pandangan gadis itu. “Ya,” timpalnya, “tentu saja.” Di bawah mereka terlihat lagi hamparan hutan yang merambah sampai ke dataran rendah yang berwarna kehangatan, lalu melintasi suatu perkampungan, dan akhirnya mulai menghilang di pos perbatasan dekat pinggiran kota. Di kejauhan, tampaklah siluet Cove City yang tersamarkan kabut seperti kastil abad pertengahan dalam dongeng-dongeng. “Kau datang dari kota juga?” ia bertanya.

“Yah, semacam begitu,” gadis itu menjawab. Gadis itu melempar senyum pada Randolph lalu meneruskan, “Saya datang dari Cove City dua ratus empat puluh tahun dari sekarang.”

(bersambung)

Leave a Comment

1333

Jadi beberapa saat yang lalu aku sedang mencari-cari bahan untuk “tugas” dari Fitria (nggak punya blog tah, nak? -w-). Setelah beberapa saat menskrol dan mengubek-ubek isi buku, aku mulai mentok. Saat itulah aku menemukan kutipan pepatah ini.

THE BEST THINGS IN LIFE ARE FREE. YOU ALWAYS HURT THE ONE YOU LOVE. TIME AND TIDE WAIT FOR NO MAN!

*brb tambah mentok*

3 Comments

Menulis dan Keberanian

Lagi-lagi aku harus curhat tentang masalah menulis.

Jadi ini sudah dua bulan di tahun 2014 dan aku belum menghasilkan sepotong tulisan pun. Dua tulisan yang di-publish sebelumnya itu berasal dari blog privat, jadi, yah begitulah. Kemudian aku melihat sebuah tulisan di internet yang cukup bagus dari blogger lain. Isinya sama, yaitu keluhan tentang masalah menulis. Blogger termaksud berujar bahwa ada tiga fungsi menulis. Pertama, untuk mengendapkan pengetahuan. Kedua, sebagai suatu memento atas pengalaman kita. Ketiga, sebagai sarana untuk menyempurnakan sarana berpikir kita. Cukup masuk akal. Aku jarang menulis dan aku sangat pelupa.

Tidak salah jika orang bilang menulis itu susah. Dalam menulis, kita dituntut untuk mengekspresikan kehendak, pikiran, atau pengalaman ke dalam bentuk yang dapat dimengerti orang lain. Sama seperti berbicara? Tidak. Kita berbicara umumnya dengan seseorang atau sekelompok orang yang kita tahu persis, misalnya orang tua atau teman. Ketika kita menulis, kita tidak tahu siapa nantinya yang akan membaca tulisan kita. Meski yang ditulis itu hanya surat untuk teman atau memo untuk sekretaris pribadi, misalnya, tetap saja ada kemungkinan tukang pos atau office boy juga turut membaca. Jika kita kesulitan untuk mengekspresikan sesuatu sehingga bisa dipahami semua orang, maka menulis akan jadi sangat sulit.

Itu baru salah satu contoh kesulitan dalam menulis. Dalam masalahku sendiri, aku menyadari bahwa sebenarnya masalah terbesarku dalam menulis bukanlah soal teknik menulis, pemahaman bahasa, atau tetek bengek lainnya. Persoalannya terletak pada keberanian untuk menulis. Ya, menulis utamanya memang perlu keberanian. Itulah sebabnya hampir semua penulis menyarankan agar orang belajar dengan langsung menulis, tanpa terlalu khawatir dulu dengan pengetahuan-pengetahuan teknis soal menulis. Banyak orang yang punya kemampuan menulis yang baik tapi tidak cukup berani untuk menulis. Tapi memangnya apa sih yang harus ditakutkan dari sekadar menulis?

Jacques Derrida, seorang tokoh filsafat terkemuka yang mencetuskan istilah dekonstruksi, pernah mengaku bahwa ia kerap dilanda mimpi buruk gara-gara tulisan yang ia karang. Dalam mimpi-mimpinya itu ia kerap terbayang, “Betapa bodohnya dirimu menulis seperti ini, menyerang gagasan itu, dan menentang si fulan dan fulanah!” Pada saat menulis, Derrida tidak merasakan ketakutan apa-apa selain kebutuhan untuk menuangkan gagasannya. Tapi sesudah itu, ia diserang perasaan takut. Aku paham betul perasaan seperti itu, dan lama-kelamaan akhirnya aku malah merasa takut untuk menulis karena terbayang perasaan yang akan kualami selepas menulis.

Sekali lagi, menulis butuh keberanian. Bisa kita katakan bahwa menulis adalah suatu bentuk perlawanan atas rasa takut. Keberhasilan kita dalam menulis, entah benar atau salah, juga dapat dinilai sebagai suatu kemenangan atas rasa takut kita. Sedikitnya ada tiga hal yang mesti kita lawan saat menulis.

Pertama, rasa takut terhadap apa yang kita tulis. Kasus Prita Mulyasari yang santer tahun 2009 silam menunjukkan pentingnya hal ini. Aku yakin, dalam benak Prita saat menulis bukannya tak pernah terbesit perasaan gentar untuk mengkritik apa yang dia rasa tidak adil. Tapi ia tetap maju. Tulisannya tersebar luas dan ia harus menghadapi serentetan konsekuensi atas keberaniannya menulis dari mulai diancam, digugat, hingga dipenjarakan. Toh pada akhirnya semua orang tahu dan mengerti apa yang salah dari penegakan hukum di negeri ini.

Kedua, rasa takut terhadap orang yang membaca tulisan kita. Kita sudah mengerti bahwa pada dasarnya semua orang akan membaca apa yang kita tulis. Tentunya tidak semua orang akan mengerti dan sepakat dengan apa yang kita tulis. Sebanyak apapun disclaimer atau referensi yang kita bubuhkan dalam tulisan, pada akhirnya kita akan harus bertanggung jawab atas apa yang kita tulis. Contohnya bisa kita amati di kasus yang populer belakangan: Anggito Abimanyu harus mundur dari jabatan akademiknya gara-gara ia lupa menambahkan referensi pada tulisannya.

Ketiga, rasa takut terhadap diri sendiri. Sebenarnya inilah rintangan utama yang harus diatasi saat menulis. Lawan utama dari menulis sebenarnya tidak lain adalah diri kita sendiri. Mungkin tidak semua orang merasakan rasa takut itu, karena rintangan menulis dari diri sendiri itu bentuknya macam-macam. Ada yang mungkin merasakan keengganan, kemalasan, atau semata-mata berpikir bahwa dirinya tidak mampu menulis. Tapi pada hakikatnya semua itu bermula dari rasa takut: takut kehabisan waktu, takut tidak bisa menarasikan sesuatu dengan baik, takut untuk mencari informasi yang benar, dan lain-lain.

Aku teringat sebuah saran dari seorang profesor University of Birmingham yang meski di luar konteks tapi tetap relevan: “feel the fear, then do it anyway.”

Leave a Comment
In word we trust