Bisa dibilang, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma adalah karya berlatar penjajahan Jepang yang pertama kali kubaca. Meski kumpulan cerita tulisan Idrus ini tergolong sebagai karya klasik, aku sendiri belum terlalu mengenal pengarangnya. Apalagi, karya-karya dari era Angkatan ’45 memang tidak setenar dan sebanyak angkatan sebelum maupun sesudahnya (Pujangga Baru dan Angkatan ’66). Tentu saja karena pada tahun-tahun itu Indonesia lebih sibuk untuk mempertahankan kemerdekaan daripada mengembangkan sastra.
Buku ini memiliki tiga bagian, yang menceritakan tiga periode yang berbeda di sekitar zaman penjajahan Jepang. Pada bagian Zaman Jepang, Idrus memasukkan cerita Ave Maria dan naskah drama Kejahatan Membalas Dendam. Di bagian ini, Idrus memasukkan unsur-unsur idealismenya, misalnya nasionalisme dan patriotisme yang sangat kentara dalam Ave Maria. Bagian kedua, Corat-Coret di Bawah Tanah berisi beberapa cerita yang intinya menceritakan hal yang serupa: penderitaan rakyat dan kebijakan ketat penjajah Jepang. Bagian ketiga, Setelah 17 Agustus 1945 banyak bercerita soal prahara rakyat Indonesia setelah kemerdekaan.
Semakin mendekati akhir, cerita-cerita Idrus yang semula cerah dan penuh idealisme berubah menjadi gelap dan realistis. Contohnya di cerpen Surabaya yang terletak di bagian akhir. Sebagai orang awam yang hanya tahu sejarah lewat pelajaran sekolah, persepsiku soal perjuangan kemerdekaan benar-benar dijungkirbalikkan. Di sana diceritakan tentang para pemuda yang tidak ragu-ragu menghabisi saudara sebangsanya sendiri karena dianggap mata-mata. Atau tentang kondisi para pengungsi dari perang di Surabaya yang terlunta-lunta, sampai-sampai ada yang harus tinggal di kandang anjing. Walaupun demikian, cerita terakhir Jalan Lain ke Roma kembali lagi ke kesan idealistis yang ada di cerita-cerita awal.
Setelah membaca ini, aku jadi punya banyak pengetahuan baru soal suasana pada masa penjajahan Jepang. Misalnya, tindakan polisi Jepang yang arogan namun terkadang juga manusiawi. Demikian pula kegiatan a la ibu-ibu PKK di perkumpulan Fujinkai yang serbadiatur pemerintah. Kebanyakan cerita mengupas tentang sisi gelap penjajahan Jepang dan penderitaan rakyat pada masa itu. Tidak heran kalau ada ceritanya yang sempat dibredel oleh pihak penjajah. Idrus sendiri juga menceritakan tentang betapa ketatnya kontrol penjajah pada saat itu (maaf, aku lupa di bagian mana).
Oh ya, soal bahasa, buku ini nggak serumit Layar Terkembang apalagi Sitti Nurbaya. Di zaman Jepang, bahasa Indonesia (bukan Melayu) sudah banyak dipakai, jadi ya nggak bakal jauh beda dengan bahasa sekarang.
Jadi kesimpulannya, jangan lewatkan buku ini kalau kalian menemukannya tergeletak. Akan susah mencari buku yang bertema seperti ini, apalagi yang bagus. Karena seperti kubilang tadi, karya-karya yang ditulis dan berlatarkan sekitar zaman Jepang memang tidak banyak jumlahnya.
Hoo, udah lama aku ga main ke blogmu.
Thanks. Ini postingan yang buatku beneran menarik. 😀
eh, maaf baru sadar.
Yah, mungkin beberapa waktu ke depan aku akan sering nulis “bukan-resensi” semacam ini. Mungkin lho ya. – -a