Negeri Senja by Seno Gumira Ajidarma
My rating: 2 of 5 stars
Ide dasarnya eksotis dan asli, sayang tidak dibarengi dengan world-building yang kuat.
Fiksi fantasi memang cukup sulit dibuat walalupun pengarang punya segala kekuasaan untuk membuat apapun yang dia mau. Tapi, perlu diingat bahwa para pembaca hidup di dunia yang nyata. Tidak ada masalah dengan membuat negeri yang mataharinya tidak kunjung bisa terbenam, tapi kurang bisa dipahami kalau orang bisa membuat partai politik di zaman musafir masih berkelana naik keledai. Mungkin di sini Seno Gumira Ajidarma sedang terobsesi dengan beberapa latar atau karakter, semisal negeri di tengah padang pasir yang selalu diliputi senja atau pengawal kembar yang bisa membunuh sepasukan petarung dengan sekali serang. Sayangnya, mungkin beliau tidak merasa perlu memperluas obsesinya itu menjadi sebuah dunia yang utuh. Tampaknya seluruh novel ini adalah wadah bagi karakter-karakter sakti atau pemandangan-pemandangan eksotis sang pengarang yang tidak mungkin tertampung di dunia nyata.
Deskripsi dalam novel ini tampaknya memang kuat di latar Negeri Senja sendiri (meski tak selalu kohesif) dan pihak-pihak yang bertarung di dalamnya. Namun, tampaknya saya membutuhkan sesuatu yang lebih dari itu: suatu fantasi yang bisa membuat pembaca tidak sekadar jadi penonton di dalam dunia rekaan, namun juga membayangkan dirinya menjadi seorang manusia di dalam dunia itu. Buat saya, lebih menarik sebuah fantasi yang tidak hanya membuat saya membayangkan jadi raja dan pengembaranya, tapi juga kaum fakir dan hamba sahayanya. Tampaknya, agak sulit membayangkan menjadi seorang manusia yang utuh di Negeri Senja, seperti sulitnya membayangkan wajah Tirana, Sang Penguasa Buta.
Alur ceritanya juga masih membuat saya bingung. Ada misteri yang tidak terjawab bukan karena sang pengarang tidak membukanya, namun semata-mata karena ia tidak menceritakannya sebagai sebuah misteri, semisal kotak senja yang hanya jadi barang bawaan sang pengembara saja dan tak pernah dijelaskan mengapa ia begitu berharga. Jujur saya bingung ketika sang pengarang menyebut-nyebut Alina dan Maneka tanpa tahu siapa mereka sebenarnya. Lebih terperanjat lagi ketika saya masuk Bab IV, ketika sang pengarang bercerita tentang perempuan-perempuan di Negeri Senja yang pernah ditemuinya tanpa ada sangkut-pautnya dengan cerita Negeri Senja. Meski demikian, konflik antara Tirana yang bisa memberangus dan memenjarakan orang sampai roh-rohnya dan Partai Hitam serta Komplotan Pisau Belati yang tak pernah kelihatan tampak masuk akal dan menarik perhatian saya.
Novel ini mungkin tidak akan jadi populer, tapi saya bisa memahami mereka yang membacanya (dan menulis fantasi seperti ini) untuk menggambarkan dunia-dunia yang tak pernah ada di pikiran kita atau orang-orang yang takkan pernah mengembuskan napas di bumi.
Be First to Comment