Skip to content

Month: July 2022

5 Mitos tentang Profesi Pustakawan | Bagian 1

Dari kecil, aku sering dan suka datang ke perpustakaan. Saking sukanya, sampai-sampai aku membuat keputusan buat bekerja di tempat ini. Tapi, sejujurnya, tidak pernah sekalipun terpikir soal orang-orang yang selama ini menyambung hidup di perpustakaan sebelum aku sendiri mengambil bagian di dalamnya. Banyak hal yang baru aku temukan setelah aku mencoba jadi pustakawan.

Mumpung sedang momen Hari Pustakawan (7 Juli), aku akan mencoba melihat mitos-mitos yang selama ini dipercaya orang soal profesi pustakawan dan memberi penjelasan mengapa anggapan-anggapan tersebut kurang tepat.

Karena aku sendiri pemula di bidang ini, mohon saran dan koreksi dari sejawat pustakawan dan siapapun yang lebih kompeten.

#1 Pustakawan adalah tukang jaga buku

Ketika orang bicara soal perpustakaan, pasti yang terpikir adalah sebuah meja dengan rak berisi buku-buku di belakangnya serta seseorang yang duduk di antara meja dan buku tersebut. Orang inilah yang biasa dipanggil “penjaga perpustakaan.” Waktu dulu kuliah, aku hampir tiap hari datang ke perpustakaan dan bertemu orang-orang ini. Akupun menyebut mereka sebagai “penjaga perpustakaan.” Persepsi penjaga perpustakaan ini berarti orang memandang mereka layaknya orang-orang yang jaga toko (dan bukan yang punya toko): kalau ada pelanggan syukur, kalau tidak ada pelanggan ya nganggur.

Setelah terjun langsung ke dunia isekai perpustakaan, persepsiku berubah total. Banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan para “penjaga” ini, yang sering kali tidak kelihatan dari sudut pandang pembaca atau pengunjung biasa. Misalnya, buku-buku di perpustakaan tentu tidak serta-merta ada di rak. Untuk pasal beli buku saja banyak yang harus diurus, seperti buku apa yang harus dibeli? Mengapa perlu membelinya buat perpustakaan tersebut? Bagaimana cara untuk meyakinkan penyandang dana bahwa buku-buku tersebut pantas dibeli? Kalaupun sudah dibeli, bagaimana cara memastikan agar buku-buku ini bisa dimanfaatkan seluruhnya oleh para pembaca dan tidak ada yang sia-sia dibeli? Bagaimana cara agar seorang pembaca bisa menemukan buku yang dia inginkan, bahkan kalaupun orang tersebut tidak tahu judul buku yang dia cari? Buat yang mencarikan pun, bagaimana petugas memberi rekomendasi atau menemukan buku yang diinginkan pembaca padahal koleksi di perpustakaan sangat banyak (bisa ribuan, ratusan ribu, hingga jutaan) dan petugas sendiri tidak mungkin tahu semua judul buku tersebut? Bagaimana kalau bukunya tidak ada? Apakah cukup kalau petugas bilang “tidak ada”? Bagaimana kalau buku-bukunya sudah diganti buku digital dan sumber-sumber dari internet? Apakah sumber yang valid cuma buku? Kalau nggak hanya buku, apalagi sumber informasi yang bisa kita percaya? Bagaimana cara membuktikan kalau informasi tersebut bisa dipercaya? Bagaimana cara menarik orang untuk datang ke perpustakaan? Lagipula, buat apa ada perpustakaan? Apakah kita masih butuh perpustakaan? Kalaupun iya, bagaimana kita meyakinkan orang lain, terutama masyarakat dan para pemangku kepentingan yang punya sumber daya, bahwa kita masih butuh perpustakaan?

Semua pertanyaan ini terkesan sederhana. Namun, ketika menjawab satu pertanyaan, banyak lagi pertanyaan yang muncul. Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut pun memerlukan disiplin ilmu tersendiri untuk menjawabnya. Orang-orang yang bisa menjawab keraguan-keraguan di atas inilah yang disebut pustakawan.

Dari pertanyaan-pertanyaan di atas juga terlihat bahwa pustakawan pun sebenarnya tidak hanya duduk diam menunggu pembaca. Mereka harus juga menulis laporan-laporan, salah satunya untuk mempertanggungjawabkan anggaran untuk pembelian buku dan koleksi lainnya. Ada pula laporan lain dalam bentuk pantauan sehari-hari, misalnya untuk mencatat kendala yang terjadi selama pelaksanaan layanan perpustakaan. Pustakawan juga ikut menjaga keamanan perpustakaan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan atau orang-orang yang membuat keributan. Selain itu, banyak pula pustakawan yang harus mempersiapkan kegiatan di perpustakaan supaya lebih banyak orang tertarik untuk berkegiatan di sana. Salah satunya adalah dengan pertunjukan dan storytelling buat anak-anak. Bisa juga pustakawan mengadakan kegiatan book club atau kelas komputer atau seminar-seminar terkait cara menggunakan sumber ilmiah dengan narasumber dirinya sendiri. Belum lagi harus terus-menerus memastikan bahwa katalog buku dalam bentuk database harus selalu terbarui dan isinya akurat. Siapapun yang pernah ngurus database pasti akan paham bahwa hal ini nggak semudah yang dibayangkan. Intinya, banyak sekali hal yang dilakukan oleh pustakawan selain duduk di meja pelayanannya. 🙂

Pustakawan tidak hanya sekadar “penjaga perpustakaan” atau “tukang jaga buku.” Sama halnya dengan apoteker yang tidak bisa hanya dianggap sebagai “penjaga apotek” atau “tukang obat.” Bahkan, mereka perlu sekolah profesi tersendiri setelah kuliah 4 tahun lamanya sebelum pantas disebut sebagai farmasis alias apoteker.

Rujukan

The Rambling Librarian. 2005, 27 September. “Questions about becoming a librarian.” http://ramblinglibrarian.blogspot.com/2005/09/questions-about-becoming-librarian_27.html

Tentang Gambar

Ilustrasi di pos ini berasal dari serial novel, manga, dan anime Honzuki no Gekokujou atau Ascendance of a Bookworm. Karakter utamanya adalah seorang calon pustakawan yang mati tertimpa robohan rak buku dan bereinkarnasi jadi anak kecil bernama Main. Walaupun sangat suka buku, Main kesulitan mencarinya karena ia sekarang hidup di dunia abad pertengahan di mana buku sangat langka. Ia juga terlahir kembali warga kelas rendahan, yang dianggap tidak pantas buat membaca buku. Oleh karena itu, Main bertekad memanfaatkan yang sudah dia dapat dari bacaan-bacaannya untuk bisa membuat dan menerbitkan buku dengan caranya sendiri.

Menurutku baik novel dan anime ini cukup bikin nagih. Ceritanya ternyata jauh lebih seru kalau mengingat sinopsisnya yang nggak membuat orang semangat nonton kayak di atas. 😅 Walaupun judulnya berbau-bau perbukuan, tapi isi ceritanya banyak sekali yang nggak menyangkut buku, kok. Pokoknya seru buat diikuti.

Ascendance of a Bookworm bisa ditonton gratis di Muse Indonesia (Takarir Bahasa Indonesia) dan dibaca versi novelnya di aplikasi Storytel (dengan sistem langganan aplikasi per bulan seperti Spotify).

2 Comments
In word we trust