Skip to content

Month: January 2018

Review: Tidak Ada New York Hari Ini

Tidak Ada New York Hari Ini
Tidak Ada New York Hari Ini by M. Aan Mansyur

My rating: 2 of 5 stars

Catatan (agak) penting: saya belum pernah nonton AADC, bahkan filmnya yang pertama sekalipun.

Puisi cinta memang mudah memancing perasaan, sebab semua orang pasti mengalaminya. Karena itu pulalah ia cepat jadi membosankan. Walau ada satu dua rangkai kata yang cukup saya ingat (misal “Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang” yang sangat sering dikutip itu), tapi sisa-sisanya walaupun sentimental tapi cenderung membosankan. Entahlah, saya tidak begitu suka puisi-puisi cinta Aan Mansyur walau saya tak memungkiri kecakapannya dalam merangkai kata. Saya sempat membaca terjemahan beliau atas Puisi XX karya Pablo Neruda yang elok dan saya pakai sebagai acuan membuat terjemahan saya sendiri.

Mungkin gaya berpuisi seperti kumpulan ini memang sudah sangat formulaik, contohnya pada puisi Kahlil Gibran dan Pablo Neruda yang mengkiaskan cinta dengan peristiwa-peristiwa alam seperti siang dan malam atau panas dan dingin. Sama dengan bukunya Boy Candra yang dari judulnya (“Senja, Hujan, dan Cerita yang Telah Usai”) saja sudah tampak pasaran dan mencomot gaya berjudulnya Goenawan Mohammad (“Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai”). Oke, ini ngelantur.

Oh ya, saya kurang suka pula ketika buku kumpulan puisi dicampurkan dengan buku kumpulan foto. Kesannya seperti membatasi ruang imajinasi pembaca dengan menampilkan gambaran peristiwa yang ingin disampaikan sekalian. Barangkali ini karena keharusan dari filmnya, ya. Naasnya saya tidak paham karena belum (dan tidak berminat) menonton film yang memuat kumpulan ini.

Dari sampul depan sampai sampul belakang buku ini, saya tidak menemukan puisi yang betul-betul orisinal. Elok, iya. Mengena, iya. Tapi, saya tidak merasakan rasa-rasa sastra di kumpulan ini. Tidak masalah menikmati buku ini, sayang ia bakal dingin di kenangnya.

View all my reviews

Leave a Comment

Review: Catatan Seorang Demonstran

Catatan Seorang Demonstran
Catatan Seorang Demonstran by Soe Hok Gie

My rating: 3 of 5 stars

Apa yang ada di benak seorang demonstran? Itu pertanyaan yang saya ajukan sebelum membaca buku ini. Selama ini, dalam hemat saya, demonstrasi hanya tindakan sia-sia yang merusak dan tak jarang berbuntut perkara. Apa pikiran yang melandasi tindakan konfrontatif para mahasiswa? Cara terbaik untuk mengenal pemikiran seseorang adalah dengan membaca tulisannya. Oleh karena itu saya mencoba menemukan jawabannya di sini.
Agak kecewa sebenarnya saat saya menemukan bahwa buku ini bukanlah sepenuhnya “catatan seorang demonstran”. Buku ini lebih merupakan sebuah memoar perjalanan hidup Soe Hok Gie, dengan segala kerumitan pikirannya. Bagian yang benar-benar saya suka hanya bab Catatan Seorang Demonstran di mana Soe Hok Gie menuturkan jalannya demonstrasi-demonstrasi tahun 1966 dari sudut pandang mahasiswa.
Tapi sosok Soe Hok Gie sendiri bukannya sosok yang tidak menarik. Sedari kecil dia sudah menolak mentah-mentah pakem keagamaan dan mengikuti sastra dan pemikiran barat. Dia juga mengolok-olok guru bahasa Indonesianya yang dianggapnya tidak mengerti sastra. Di masa mahasiswa, dia adalah seorang idealis tangguh yang benci dengan agenda komunisme. Menjelang akhir hidupnya yang singkat, bisa dikatakan bahwa Soe Hok Gie seorang humanis tulen (bedakan humanis dengan humanitarian) yang menentang segala bentuk militansi.
Walau titik penting buku ini adalah gagasan politiknya, tapi buku ini lebih banyak memuat sisik-melik kehidupan Soe Hok Gie. Soal hidup, cinta, dan aktivitas pecinta alam yang digeluti juga ditulisnya. Semua ini dituliskan dengan pemikiran dan renungan yang dalam sehingga tidak terkesan remeh.
Banyak mahasiswa yang mengaku pernah membaca Catatan Seorang Demonstran tapi banhkan tindakannya amat jauh dari apa yang dicita-citakan Soe Hok Gie. Entah mereka menghayati apa yang dipikirkan Soe Hok Gie dengan sungguh-sungguh atau hanya sekadar mencari pembenaran untuk berdemo saja.

View all my reviews

Leave a Comment

Mengapa Kita Akan Menikah dengan Orang yang Salah

Menyusul ramainya berita soal dua orang yang sedang dalam proses perceraian, rasanya cocok kalau artikel teratas The New York Times 2016 ini dibaca sekarang. Ini terjemahan bahasa Indonesia dari artikel Why You Will Marry the Wrong Person.

Artikel asli dan sumber gambar: https://mobile.nytimes.com/2016/05/29/opinion/sunday/why-you-will-marry-the-wrong-person.html

Mengapa Kita Akan Menikah dengan Orang yang Salah
Alain de Botton, The New York Times 28 Mei 2016

Ada satu hal yang kita sangat takuti terjadi pada diri kita. Kita berusaha sekuat tenaga untuk menghindarinya. Namun, kita toh tetap juga akan sampai pada hal yang sama: kita menikah dengan orang yang salah.

Bisa dibilang, ini terjadi karena banyaknya kecamuk masalah yang muncul saat kita berusaha mendekati orang lain. Kita hanya terlihat biasa di depan mata orang yang tidak begitu mengenal kita. Seandainya masyarakat kita lebih sadar diri ketimbang sekarang, mungkin di kencan pertama orang akan lazim bertanya: “Lalu, kegilaan yang kamu punya itu seperti apa?”

Barangkali kita punya kecenderungan tak sadar untuk marah saat seseorang tidak sependapat dengan kita atau hanya bisa tenang saat kita sedang bekerja. Barangkali kita goyah soal kedekatan setelah seks atau merundung ketika merasa dipermalukan. Tidak ada orang yang sempurna. Masalahnya, sebelum menikah, kita jarang menyelami kerumitan-kerumitan yang ada dalam diri kita sendiri. Saat keburukan-keburukan kita terancam terbongkar dalam hubungan yang belum serius, kita menyalahkan pasangan kita dan segera menjauhinya. Teman kita pun tidak cukup peduli untuk memberitahu kita yang mana yang benar. Karena itu, salah satu kelebihan menjadi sendiri adalah bahwa kita bisa menganggap diri kita mampu-mampu saja menjalani hidup sendirian.

Pasangan kita tidak sesadar itu terhadap dirinya sendiri. Tentu saja, kita mencoba-coba untuk memahami mereka. Kita kunjungi keluarga mereka. Kita lihat foto-foto mereka. Kita temui teman-teman mereka waktu kuliah. Semua hal ini memberi kesan seolah-olah kita sudah cukup banyak mencari tahu. Nyatanya, tidak. Pernikahan sejatinya adalah suatu taruhan yang penuh harapan, penuh kasih, dan penuh kerendahan hati yang diambil dua orang yang tidak tahu siapa mereka dan siapa pasangan mereka, guna menambatkan diri mereka ke suatu masa depan yang tidak bisa mereka bayangkan dan berusaha mereka hindari dengan hati-hati.

Sepanjang sejarah, orang menikah karena alasan-alasan rasional: karena petak tanah dia berhimpit dengan petak tanah kita, karena keluarganya punya usaha yang sukses, karena ayahnya seorang pejabat, karena ada kerajaan yang harus dilindungi bersama, atau karena kedua orang tua pasangan punya pemahaman yang sama terhadap suatu kitab suci. Lalu, dari pernikahan yang berdasarkan akal itu, lahirlah kesepian, perselingkuhan, penganiayaan, kerasnya hati, dan teriakan-teriakan yang dapat terdengar dari kamar bayi. Pernikahan berdasar akal, pada akhirnya, sama sekali tidak masuk akal. Sifatnya banyak mengakali, bernalar sempit, penuh kecongkakan, dan sarat pemerasan. Oleh karenanya, pengganti dari konsep ini, yaitu pernikahan berdasarkan rasa, sering kali dianggap tidak perlu dipertimbangkan dengan seksama.

Yang penting dalam pernikahan berdasarkan rasa hanyalah bahwa dua orang tertarik satu sama lain berdasar perasan mereka yang menggebu-gebu dan tahu dari hati mereka bahwa perasaan itu benar adanya. Oleh karenanya, semakin tidak hati-hati kelihatannya sebuah pernikahan (mungkin baru enam bulan mereka bertemu; salah satu dari mereka tidak punya pekerjaan, atau mereka baru beranjak dewasa), rasanya justru hubungan itu lebih aman. Kecerobohan sering kali dianggap sebagai pengimbang dari semua cacat dari sikap mengedepankan akal, yang menimbulkan bencana-bencana yang disebutkan sebelumnya, oleh karena terlalu banyaknya perhitungan. Menangnya rasa dari akal merupakan reaksi trauma dari lintasan sejarah manusia yang dipenuhi dengan permainan akal yang sebetulnya tidak masuk akal.

Namun, meski kita meyakini bahwa kita menikah untuk mencari kebahagiaan, kenyataannya tidak segampang itu. Hal yang sebetulnya kita cari adalah kenyamanan, yang bisa merumitkan tujuan kita untuk mencapai bahagia. Dalam hubungan kita di masa dewasa, kita hanya ingin menciptakan kembali perasaan yang akrab dengan kita saat kanak-kanak. Rasa cinta yang kita alami pada saat masih kecil sering kali tertukar dengan perasaan-perasaan lain yang sifatnya merusak: rasa ingin menolong orang dewasa yang tidak bisa mengendalikan dirinya, rasa kekurangan kasih sayang dari atau takut kepada orang tua, atau rasa tidak nyaman dalam menyampaikan keinginan kita. Tentunya masuk akal kalau kita sebagai orang dewasa menolak calon pasangan bukan karena mereka tidak sempurna tapi justru karena terlalu sempurna- terlalu stabil, terlalu dewasa, terlalu pengertian, terlalu bisa diandalkan– mengingat dalam hati kita, orang yang seperti itu rasanya aneh. Kita menikahi orang yang salah sebab kita tidak mengaitkan rasa dicintai dengan rasa bahagia.

Kita juga membuat kesalahan sebab kita merasa begitu kesepian. Tidak ada seorang pun yang pikirannya jernih untuk memilih pasangan saat kesendirian itu tampaknya sangat tidak tertahankan. Kita harus mampu menerima bahwa kita perlu sendiri selama bertahun-tahun agar bisa betul-betul memilih dengan jernih. Jika tidak begitu, maka kita akan lebih cinta pada tidak lagi sendirinya kita ketimbang pada pasangan yang sudah menyelamatkan kita dari kesendirian itu.

Pada akhirnya, kita menikah untuk mengabadikan perasaan yang menyenangkan. Kita membayangkan bahwa pernikahan akan membantu kita untuk mengemas rasa senang yang kita alami pada saat lamaran. Mungkin terbayang ketika kita berbulan madu di Venesia, menyusuri laguna di atas sebuah kapal motor, dengan kilau sinar matahari senja di ufuk lautan, sembari berbincang-bincang tentang relung-relung jiwa kita yang tak pernah orang pahami sebelumnya, disusul jamuan makan malam yang mewah. Kita menikah agar kesan seperti itu menjadi abadi, namun kita sendiri lupa bahwa tidak ada hubungannya perasaan semacam ini dengan lembaga pernikahan.

Bahkan, pernikahan pada umumnya akan membuat kita mengurus hal-hal yang sifatnya monoton, semisal mengurus rumah, pulang-pergi kantor, dan mengatur anak-anak yang menjengkelkan kita sampai-sampai kita lupa anak-anak itu lahir berkat kehendak kita juga. Yang bisa menemani kita dalam saat-saat begitu hanya pasangan kita. Bahkan, bisa jadi dia adalah teman yang salah.

Di sini, ada kabar baik: tidak masalah kalaupun kita menikahi orang yang salah.

Jangan kita abaikan pasangan kita. Yang harus kita abaikan adalah gagasan tentang Romantisisme yang membentuk pemahaman Barat atas pernikahan selama 250 tahun belakangan: bahwa ada seseorang yang bisa memenuhi semua kebutuhan kita dan memuaskan semua keinginan kita.

Kita perlu menukar Romantisisme dengan suatu kesadaran tentang tragedi (dan juga terkadang komedi) bahwa setiap manusia akan membuat kita marah, jengkel, murka, dan kecewa—dan kita sendiri pun (tanpa maksud buruk) akan melakukan hal yang sama kepada mereka. Rasa hampa dan kekurangan dalam diri kita tidak akan pernah habis. Namun, semua ini tidak aneh, dan bukan pula alasan yang baik untuk berpisah. Memilih orang yang akan terikat dengan kita sebetulnya hanyalah soal memilih wujud penderitaan mana yang paling mampu kita hadapi dengan pengorbanan.

Pemikiran pesimis ini menunjukkan sebuah jalan keluar atas banyaknya keresahan dan kebimbangan soal pernikahan. Meski kedengaran aneh, sikap pesimis justru mengangkat tekanan batin yang ditimpakan budaya romantis kita terhadap pernikahan. Tidak berhasilnya pasangan kita menyelamatkan kita dari dukacita dan kesedihan bukan pertanda kekurangan dia, dan bukan berarti bahwa ikatan kita akan gagal atau harus diperbaiki.

Orang yang paling cocok bersama kita bukanlah orang yang seleranya sama persis dengan kita (orang itu tidak akan pernah ada). Yang ada adalah orang yang mampu menengahi perbedaan selera secara cerdas—orang yang terampil dalam menyatakan ketidaksetujuan. Orang yang cocok bagi kita bukanlah orang yang bisa “melengkapi”, namun orang yang “tidak terlalu keliru” buat kita, yang bisa menanggapi ketidaksamaan dengan murah hati. Kecocokan adalah pencapaian dari cinta, bukan syarat untuk meraih cinta.

Romantisisme tidak membantu kita, sebab ia adalah pemikiran yang rupanya sangat keras. Gagasan ini membuat kejadian-kejadian yang kita alami dalam pernikahan tampak begitu besar dan memuakkan. Kita akan menjadi kesepian dengan menganggap bahwa ikatan kita, dengan segala ketidaksempurnaannya, sudah tidak lagi “normal.” Kita mesti melatih diri kita untuk menerima “kekeliruan” dalam hidup kita dan selalu berusaha memiliki pandangan yang penuh dengan kemaafan, kejenakaan, dan kerendahan hati dalam menanggapi ketidaksempurnaan pada diri kita dan pasangan kita.

Catatan akhir:

Terjemahan ini dibuat sendiri, dengan menyederhanakan banyak bagian yang kurasa rumit. Teks aslinya, dan gaya menulis pengarangnya, memang cukup ruwet. Seperti biasa, mohon saran kalau ada yang bisa disempurnakan.

Apa yang ditulis di sini nggak harus disetujui, bahkan aku sendiri nggak sepenuhnya setuju. Tapi, menurutku gagasan semacam yang ditulis Alain de Botton ini perlu lebih banyak dibahas untuk menyegarkan pemahaman kita selama ini soal cinta dan pernikahan.

2 Comments
In word we trust