Skip to content

Month: March 2016

Review: HBR’s 10 Must Reads on Leadership

HBR's 10 Must Reads on Leadership
HBR’s 10 Must Reads on Leadership by Harvard Business School Press

My rating: 4 of 5 stars

Who deserves to be called a leader? Why should it be him or her? And what do leaders do anyway?

People have been arguing about the ideal leader. It’s normal. If we all agreed on the concept of leadership, then we would not have to hold elections or support one person over the other to represent us. This book illuminates my understanding of leadership and leaders.

In essence, each article in this compilation gives differing and sometimes competing definitions of leadership. Daniel Coleman sees that a leader has higher emotional intelligence than others, while Kotler maintains that the work of a leader is to steer people through change. According to Jim Collins, truly great leaders face their lives with humility and don’t draw attention to themselves, but Goffee and Jones insists that a leader should put forward some characteristics that set them apart from other people. Peter F. Drucker, interestingly, throws away the notion of a “leader” and believes that everyone should be able to be an executive (i.e. completing tasks in an organization) regardless of their personality or interpersonal influence if they followed several rules.

After repeatedly reading each chapter, though, I have begun to understand that what makes a leader is very dependent on the situation. There is no perfect leader for all things to all peoople. Rather, there are leaders for particular organizations, particular peoples, and particular times and places. Perhaps we should be satisfied sticking to those various definitions of leadership because they seem to represent these differing contexts.

This book is not intended as a “how to be a leader” for leaders or anyone who seeks to gain a position of leadership. Rather, the readings should give them an insight on how they should dedicate their effort and exercise their influence over their organizations and people. In that case, I found this book really enlightening.

View all my reviews

Leave a Comment

Housekeeper’s Notes #02 : Sumbangan Hidup

Pada suatu titik, saya merasa jenuh dengan semua pekerjaan yang harus ditunaikan. Buat apa, misalnya, pagi-pagi saya harus bangun, berdoa, lalu seolah dikejar polisi ngebut ke kampus. Sepulang itu, larut malam, aku masih harus membaca buku-buku dan materi sembari mengerjakan tugas yang tampak hanya jadi tumpukan tulisan saja. Di antara berangkat dan pulang pun, saya masih harus mengurus keperluan yang sebetulnya tidak perlu-perlu betul saya lakukan dan bisa saja saya tolak. Buat apa capek-capek berpikir cara mengadakan acara yang belum tentu orang tertarik ikut atau memutar otak mencari dalih untuk mengajak satu-dua teman untuk ikut kegiatan? Mengapa saya harus tahan mendengar protas-protes dan keluhan tanpa henti yang mestinya bisa saya hindari?

Dengan keluhan di atas, tentu saya juga sadar bahwa semua orang juga pada dasarnya mengalami kesulitan yang tak kalah pelik. Toh, sejujurnya, saya masih jauh lebih beruntung ketimbang jutaan orang lain yang lebih naas. Sementara saya punya cukup uang untuk membeli makanan yang enak-enak, ada penjual koran yang kebingungan bagaimana cara menghabiskan jajaannya sehingga keluarganya tidak kelaparan. Ketika saya bisa tidur nyenyak di kamar sendiri, banyak orang di Suriah yang mungkin tidurnya di gua-gua sembari menghitung hari sebelum dipancung atau dibakar hidup-hidup. Orang yang bisa membaca tulisan ini mestinya juga sudah jauh lebih beruntung dari, setidaknya, orang yang tunanetra ataupun tunaaksara. Intinya: kita ini harus bersyukur masih diberi tangguh untuk hidup sebagaimana biasanya.

Tapi, kita pakai buat apa hidup kita yang “biasa” ini? Mau kita apakan kesempatan kita? Apa hidup ini hanya sekadar sekolah/kuliah/bekerja di hari Senin-Jumat lalu bersenang-senang hari Sabtu-Minggu, begitu terus sampai ajal tiba? Cukupkah kita menerima tugas dan perintah dari atasan atau menulis makalah suruhan dosen dan menjadi puas dengan itu? Nyatanya, orang cenderung bosan dengan hal-hal biasa dan ingin sesuatu yang membuat mereka puas. Kita cenderung ingin punya keunikan dan tidak mau sama dengan orang lain. Agaknya, tidak ada yang bakal menyangkal nasihat Steve Jobs, “Waktu Anda terbatas, jadi jangan pergunakan waktu itu untuk menghidupi hidupnya orang lain.”

Oleh karena itulah kepuasan dan keunikan sering dijadikan orang sebagai tujuan hidupnya. Kafe-kafe, bioskop-bioskop, pusat-pusat perbelanjaan sampai gunung-gunung, hutan-hutan, dan lautan dijajaki untuk mencari kepuasan dan kebanggaan diri. Semua orang ingin punya pengalaman yang berbeda dari orang lain. Itulah mengapa kita sekarang terus-terusan dibombardir ratusan check-in, foto, video, dan cerita di linimasa media sosial kita, demikian juga kita sendiri ingin menunjukkan sesuatu yang berbeda dari yang dimiliki orang lain. Orang berlomba-lomba mencari reputasi, kekayaan, dan kekuasaan. Mahasiswa berusaha memanjang-manjangkan CV-nya dengan sederet kegiatan dan pekerjaan.

Tidak ada salahnya itu, sebab kita sebagai manusia memang punya kebutuhan yang perlu dipuaskan.Tapi, dari situ jugalah orang mulai berpikir bahwa makna hidup ini adalah mencari kepuasan demi kepuasan. Dalam proklamasi kemerdekaannya, orang Amerika berusaha untuk hidup, bebas, dan mengejar kebahagiaan. Akhirnya, orang lupa bahwa yang namanya kepuasan dan kebahagiaan itu hanyalah suatu keadaan yang bisa datang dan pergi, sama seperti rasa lega dan kenyang. Ketika mereka tidak lagi merasa puas atau bahagia dengan yang mereka peroleh sekarang, maka mereka mencari kepuasan-kepuasan yang lebih tinggi lagi, yang juga semakin susah untuk didapatkan. Jadilah orang bertambah serakah dan berebut satu sama lain. Yang menang akan jadi makin rakus, sementara yang kalah akan kembali menjadi tidak puas dan tidak bahagia. Ketika kepuasan yang jadi tujuan hidup itu hilang, maka seketika itulah orang mulai merasa bahwa hidup mereka tidak lagi diperlukan. Itulah mengapa kita sebagai umat manusia semakin maju dan semakin hidup layak, tapi semakin banyak pula orang yang mengakhiri hidupnya sendiri.

Lantas, kita harus punya tujuan hidup yang seperti apa?

Pastor Rick Warren, seperti kita, juga bergelut dengan masalah tujuan hidup. Namun, beliau akhirnya sampai pada kesimpulan yang ia tulis dalam buku The Purpose-Driven Life. Karangan yang laku keras itu diawali dengan pernyataan, “It’s not about you.” Hidup itu bukan soal dirimu. Sebaliknya, hidup ini adalah soal apa yang kita lakukan untuk orang lain, untuk sesama. Dengan begitu, kita tidak terjebak rasa tamak karena kita tidak menjadikan diri sendiri sebagai patokan.

Tidak heran jika orang-orang yang purpose-driven atau bertujuan hidup untuk orang lain memiliki daya tahan yang luar biasa terhadap masalah dan kesulitan. Jika orang hanya mencari kekayaan atau ketenaran diri semata, maka ia akan patah semangat dan kehilangan arah begitu hartanya ludes atau nama baiknya dirusak. Orang yang membaktikan hidupnya demi orang lain tidak bakal surut berpantang meski reputasi, orang terkasih, atau bahkan nyawanya sendiri terancam. Orang semacam ini punya ikrar, manifesto, atau komitmen untuk berjuang demi orang lain dan bukan dirinya sendiri.

Bung Karno punya apa yang ia sebut dedication of life atau sumbangan hidup yang sempat terkenal beberapa waktu lalu saat dibacakan oleh (waktu itu) calon presiden Joko Widodo. Bunyinya:

Saya adalah manusia biasa
Saya tidak sempurna
Sebagai manusia biasa, saya tidak luput dari kekurangan dan kesalahan
Hanya kebahagiaanku ialah dalam mengabdi kepada Tuhan, kepada Tanah Air, kepada bangsa
Itulah
dedication of life-ku
Jiwa pengabdian inilah yang menjadi falsafah hidupku, dan menghikmati serta menjadi bekal hidup dalam seluruh gerak hidupku
Tanpa jiwa pengabdian ini saya bukan apa-apa
Akan tetapi, dengan jiwa pengabdian ini, saya merasakan hidupku bahagia dan manfaat.

Sumbangan hidup seperti inilah yang membuat saya tersadar dari kejenuhan sehari-hari. Saya diingatkan bahwa segala jerih payah yang saya kerjakan itu bukanlah kembali ke diri sendiri, namun yang lebih penting, adalah demi kebaikan orang lain.

Tumpukan tugas yang saya kerjakan atau kelelahan saya mengejar kelas-kelas itu bukan buat diri saya, tapi paling tidak demi keluarga yang telah membesarkan saya dengan sungguh-sungguh. Gelar sebagai orang terdidik, yang semoga nanti saya dapat, harus dibaktikan untuk masyarakat yang sudah berinvestasi pajak atau bahkan sumbangan untuk memelihara sistem pendidikan di negara ini.

Ketika saya dilanda kelelahan dan kejenuhan saat bekerja untuk meyakinkan orang lain, saya sadar bahwa itu bukanlah untuk nama saya sendiri. Tujuan saya semata-mata hanyalah untuk menyadarkan bahwa mereka punya arti lebih dari sekadar hidupnya sendiri dan bahwa mereka dibutuhkan oleh sesamanya.

Saya mungkin belum bisa menuliskan sumbangan hidup sendiri, sebab itu butuh pertimbangan dan pengalaman yang sangat panjang. Namun, bolehlah jika sekarang ini saya sekadar mengutip dan meminjam semangat dari petikan ujaran senior-senior saya semasa SMA dulu:

Saya belajar untuk menjadi apa yang saya mau,
bukan untuk diri saya, tapi untuk mereka dan dunia […]
Jalanku adalah panjang dan berliku,
sementara langkahku hanya mampu satu demi satu.
Tapi, tekadku tidak pernah ragu.
Bahkan, jika nanti aku terkalahkan takdir,
akan kupastikan pengorbanan itu membuka jalan untuk penerusku.
Aku bukan pemimpin terbesar, bukan manusia terhebat.
Tapi, pasti ‘kan kutulis kebajikan-kebajikan di atas pasir,
agar angin keikhlasan menerbangkannya jauh dari ingatan,
agar ia terhapus, menyebar bersama butir pasir ketulusan,
karena aku bukanlah apa-apa melainkan seorang hamba.

Dengan nama Tuhanku, aku memulai perjuangan ini.

4 Comments
In word we trust